Be-songo.or.id

Pendidikan Anak, Jangan Sembarang Dititipkan

Pendidikan merupakan investasi bagi masa depan seorang anak. Tak terkecuali bagi siapapun. Semua orang tua pasti menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Bahkan seburuk apapun orang tuanya ia akan tetap berharap kelak keturunannya harus lebih baik.

Mendidik anak memang bukan hal mudah. Maka, lembaga pendidikan layaknya pondok pesantren menjadi pilihan bagi para orang tua untuk menitipkan anaknya. Namun, persoalan kini muncul sebagai akibat dari ambisi orang tua. Terkadang anak harus mengalami masa kecilnya di lingkungan pondok pesantren yang jauh dari kasih sayang orang tuanya. Keinginan orang tua untuk menjadikan anaknya hafal al-quran ataupun ahli agama di usia dini telah merenggut hak anak untuk merasakan belaian kasih sang ibu hingga usia baligh.

Seorang ibu dalam keluarga adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Hal ini harus menjadi pegangan bagi calon orang tua siapapun ia. Dalam Islam, kita bisa bercermin dari kehidupan para ulama besar yang mempunyai pemikiran jauh melampaui zamannya, dengan visi dan keputusan-keputusan yang revolusioner hingga keberadaannya tetap diakui sampai sekarang.

Imam Syafi’i menjadi salah satu diantaranya. Seorang yang tidak hanya ahli fiqh, beliau juga diakui sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh. Kitab fenomenalnya, Ar-Risalah menjadi acuan berbagai lembaga pendidikan hingga kini. Kehebatan beliau ini tak lepas dari peran seorang ibu beliau yang bernama Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah. Keinginan agar anaknya menjadi figur yang bermanfaat bagi orang lain mendorong kesabaran dan ketangguhan beliau dalam mengasuh dan mendidik anakya.

Dalam usia 0-6 tahun merupakan masa terbaik (golden age) bagi orang tua mendidik anaknya. Pada masa itulah harusnya orangtua yang sangat berperan dalam menanamkan karakter seorang anak dengan baik

Menitipkan anak di lembaga pendidikan utamanya pesantren memang akan memberi kemampuan ilmu agama yang lebih, namun hal itu bukan saja beresiko. Psikologis menjadi resiko terbesar yang dialami oleh seorang anak. Penelitian Herry Harlow, psikolog dari Universitas Wisconsin, Medison, menyatakan bahwa keterikatan bayi manusia pada ibunya memiliki pengaruh besar.

Yaitu pengaruh rasa aman yang diperlukan oleh bayi untuk bereksplorasi dengan lingkungannya. Keterikatan itu membentuk dasar hubungan antar pribadi di kemudian hari, yang menjadikan anak lebih peka dan suka meneliti terhadap sesuatu yang membuatnya penasaran.

 Kegagalan membentuk keterikatan ini di tahun pertama sang anak, akan berakibat pada ketidakmampuan anak mempererat hubungan sosial yang akrab dikemudian hari. Sesuai dengan Hadist Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Ibn Majah Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.  Jelaslah, bahwa pendidikan oleh seorang ibu secara langsung kepada anaknya lebih baik bila dibandingkan oleh orang lain. Meski ilmu yang didapat tidak sebanyak pendidikan di lembaga, namun keterikatan yang terjalin pada keduanya sesungguhnya lebih baik dari apapun.

Penelitian tentang ini juga telah banyak dibuktikan oleh ilmuwan dunia. Kesulitan kepengasuhan dan perilaku durhaka yang sering kita lihat akhir-akhir ini merupakan akibat dari kegagalan orang tua dalam membentuk keterikatan terhadap anaknya di usia emasnya (golden age). Penelitian Baltes dan rekannya (1998) menunjukkan bahwa anak yang dipisah dari ibunya pada usia emasnya akan merasa terganggu dengan hal-hal kecil disekitarnya.

Ketika anak tersebut berkumpul lagi bersama ibunya, biasanya ia akan menunjukkan sikap tidak begitu peduli bahkan mereka cenderung menghindari ibunya. Ia lebih nyaman terhadap dunia yang telah ia temukan sendiri, termasuk di lembaga pendidikan dimana ia dititipkan.

Sebagai renungan kita bersama, anak merupakan salah satu anugrah yang diamanahkan Allah kepada para orangtua. Semua yang dilakukan orang tua kepada anaknya seperti mendidik, merawat, dan membesarkannya akan dimintai pertanggung jawaban oleh-Nya.

Ibarat kertas putih, orang tuanya menjadi pelukis pertama untuk menghasilkan suatu perpaduan warna yang memang benar-benar indah. Maksudnya, Apapun kehidupan anak kelak, orang tua tetap harus menjadi peletak dasar pendidikan anaknya. Sedangkan guru di lembaga pendidikan maupun pondok pesantren hanyalah sebagai pemandu yang dipercayai oleh orang tua untuk mengembangkan potensi anaknya. Nggeh tah?_ (AINAL/red)

***Artikel ini pernah diterbitkan di Buletin Al Qalam Edisi 3, September 2016 PP Dafa Be-Songo***