Be-songo.or.id

GALERI MANUSKRIP

روضة العلماء ٢

Pendidikan Ideal; Integrasi Sistem Perguruan Tinggi dan Pondok Pesantren

Paradigma yang beredar di masyarakat, PTAI dan pesantren merupakan dua hal yang tak bisa disatukan. Sebab, keduanya memiliki perbedaan dalam objek kajian. Padahal, jika ditilik keduanya justru saling me-nyempurnakan. Lantas jika begitu, seperti apakah langkah integrasinya?

Tak sedikit yang mengungkapkan bah-wa Perguruan tinggi dan pesantren bak dua sisi dari keping mata uang. Seperti paradig-ma yang berkembang saat ini bahwa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan Pondok Pesantren merupakan entitas yang berbeda . Tak ayal, jika keduanya memiliki banyak perbedaan dalam model pendidi-kannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya obyek kajian, pendekatan, penyelenggaraan institusinya ataupun sistem yang digunakan.

Hal senada dikemukakan oleh Malik Fajar (2004: 1) bahwa perguran tinggi merupakan gejala kota dan pesantren meru-pakan gejala desa. Perguruan tinggi identik dengan kemodernan dan pesantren identik dengan ketradisionalan. Perguruan tinggi lebih menekankan pendekatan-pendekatan yang bersifat liberal, sedangkan pesantren lebih menekankan sikap konservatif yang bersandar pada figure sang Kyai.

Padahal, jika ditilik dari sisi historis, keduanya memiliki keterkaitan. Sebab, tak jarang kiai yang ikut andil dalam membidani lahirnya PTAI yang didirikan untuk me-nutupi kebutuhan pascapesantren. Namun pada perkembanganya, kedua entitas tersebut memiliki kecenderungan yang berbeda. Pe-santren condong pada materi keruhanian yang menekankan pada „ibadatullah. Se-dangkan PTAI cenderung pada materi jas-maniah dan mencetak „imarotul ardh. Lantas apa sebenarnya yang melatarbelakangi hal tersebut?

 Akar Masalah

Jika ditelaah lebih lanjut, perbedaan corak pendidikan pesantren dan perguruan tinggi tak dapat terlepas dari landasan filoso-fis ilmu dan agama. Hal ini bermula dari adanya dikotomi antara ilmu agama dan non agama yang berkembang di masyarakat. Musahadi, salah satu pejabat di kalangan UIN Walisongo, Semarang menjelaskan bahwa Paradigma keilmuan yang berkem-bang di Indonesia adalah paradigma yang dikotomis. “Jadi, paradigma yang sudah menyebar seakan-akan memang mem-benarkan adanya dikotomi ilmu”, imbuhnya saat ditemui crew al-Qalam.

Menanggapi hal tersebut, Abdul Muha-ya‟ yang saat ini berstatus sebagai Dosen UIN Walisongo mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada dikotomi ilmu, sebab keduanya saling melengkapi. “Sebenarnya yang berbeda hanyalah objek kajiannya, tapi bukan berarti dua entitas tersebut berbeda”, imbuhnya. Pernyataan ini diperkuat oleh Bukhori Masruri, Kyai dan juga seniman Indonesia. Ia mengatakan bahwa semua ilmu adalah ilmunya Allah, jadi tak ada yang ber-beda

Senada dengan keduanya, Musahadi menambahkan bahwa ilmu-ilmu yang bersi-fat wahyu dan ilmu-ilmu yang berasal dari ayat-ayat kauniyah dan qouliyah itu sebenarnya satu atau tunggal. Untuk melihatnya, dapat menggunakan pendekatan teoantroposentris, yaitu dengan humanisasi ilmu-ilmu keislaman dan spiritualisasi imu-ilmu modern serta revitalisasi local wisdom.

Berkaca pada fenomena tersebut, Musa-hadi menjelaskan lebih lanjut bahwa untuk membenahi paradigma masyarakat, maka di-perlukan unity of science . Paradigma ini digunakan mengembalikan dan menjadi alter-natif paradigma keilmuan yg menyatakan ilmu itu tunggal, yaitu berasal dari akar yg sama.

 Langkah Integrasi

Menanggapi fenomena tersebut, nampak-nya integrasi sistem pendidikan perguruan tinggi dan pesantren merupakan model sistem pendidikan yang ideal untuk membangun karakter bangsa. Hal senada disampaikan oleh Abdul Muhayya‟, “PTAI dan pesantren mem-iliki peran yang saling melengkapi untuk mencetak manusia intelek yang berbudi luhur”. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa idealnya PTAI harus memiliki pesantren un-tuk proses pembiasaan character building. Sebab, character building itu lebih banyak ditemukan dlm pembiasaan akhlak bukan pengetahuan.

Hal senada diungkapkan oleh Musahadi, ia mengatakan bahwa kekuatan pesantren ter-letak pada character buildingnya. Sehingga integrasi antara ilmu, amal, dan etika tak dapat terpisahkan. “Maka, idealnya PTAI dan pe-santren dapat berjalan bersama untuk mewujudkan manusia dengan public ethics dan berpengetahuan tinggi”, imbuh pria yang saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor UIN Walisongo.

Gus Rozin, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI) pimpinan wilayah Ja-wa Tengah mengatakan bahwa langkah integrasi yang dapat dilakukan adalah tidak memisahkan ilmu dan amal, tidak terjebak pada ontologis dunia dan akhirat. Selain itu, juga perlu membangun metode berpikir yang kritis dan dialektis, dan juga memadukan dalil ‘irfani, burhani, waqi’i. “Sehingga keseimbangan antar keduanya tercapai dan tidak hanya menempatkan agama pada ranah privat saja”, paparnya saat mengisi halaqoh di Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo.

Untuk mewujudkan integrasi terse-but, Pak Muhayya’, begitu beliau akrab disapa menanggapi bahwa keduanya harus disatukan dalam satu sistem. Seperti halnya, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. UIN Malang mendirikan perguruan tinggi kemudian pesantren. Hal ini bertujuan untuk membentuk mahasiswa yang memiliki kemantapan akidah, keagungan akhlak, dan kemantapan professional. Tujuan ini jelas termaktub dalam Visi UIN Ma-lang pada pasal pertama.

Selain itu, juga ada Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Gontor. ISID didirikan dengan harapan para santri yang berada di Pondok Modern Gontor (PMG) dapat melanjutkan pendidikann-ya ke jenjang yang lebih tinggi. Sehingga, bisa menutup kebutuhan santri pascapesantren atau kuliah nyambi nyantri atau nyantri nyambi kuliah.

“Jadi, dapat dikatakan bahwa peran perguruan tinggi dan pesantren itu sal-ing melengkapi sebab keduanya mem-iliki kelebihan dan kekurangan masing-masing”, papar Abdul Muhayya’. Harapannya, pada praktek ke depannya, kedua entitas tersebut saling menyatu. Sehingga, terwujud Pesantren dengan open-minded dan perguruan tinggi dengan akhlakul karimah yang baik. “Pun begitu dengan dukungan pemerintah pada hal tersebut sangat dibutuhkan”, pungkas Muhayya’ di penghujung wawancara dengan crew redaksi al-Qalam.

(Rep. Isvana, Riska, Tsani, Umi/Red.)

*Tulisan ini pernah diterbitkan di Buletin Al Qalam Edisi I/ Februari 2015*