Be-songo.or.id

Nuansa Fiqh Sosial KH. Sahal Mahfudz

ksahal25

Sebelum berbicara mengenai Fiqih sosial, terlebih dahulu kita definisikan mengenai Fiqih itu sendiri. Menurut Al Jurjani, dalam Al Ta’rifat, seperti dikutip oleh Ahmad Hanafi bahwa fiqih secara etimologis (bahasa) adalah:

الفقه هوفى الّلغة عبارة عن فهم غرض المتكلّم مِنْ كلام

“Fiqih menurut bahasa berarti paham terhadap tujuan seorang pembicara dari pembicaraannya.”

Secara terminologis, terdapat beberapa rumusan mengenai fiqih yang meskipun berbeda namun saling melengkapi. Ibnu Subki dalam kitab Jami’al Jawami mengartikan fiqih itu dengan:

العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتها التفصيلية

“Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafsili”

Bisa dikatakan, bahwa fiqih adalah suatu produk dari ijtihad para mujtahid terdahulu tentang suatu hukum, yang diambil dari Al-qur’an dan sunnah. Kalau fiqih dihubungkan dengan perkataan perkataan ilmu, akan menjadi ilmu fiqih. Ilmu fiqih adalah ilmu yang membahas menentukan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang direkam di dalam kitab-kitab hadits.

Sedangkan fiqih sosial adalah bagaimana fiqih itu bisa memecahkan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat di era kontemporer ini dengan dasar menjunjung tinggi kemaslahatan bagi semua pihak masyarakat. Kiyai Haji Sahal Mahfuzh (1937-2014) merupakan salah satu ‘ulama di Indonesia yang menjadi pelopor fiqih sosial ini. Latar belakang beliau mencetuskan fiqih sosial berangkat dari kegelisahannya terhadap fiqih yang saat ini mengalami kondisi stagnan dan tidak mampu mengatasi suatu masalah sosial, kebangsaan dan kemanusiaan. Seharusnya hukumlah yang mengikuti peradaban manusia, bukan peradaban manusia yang mengikuti hukum.

Seperti yang pernah beliau mengatakan, “Teks Al-Qur’an maupun hadits sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai masalahnya”. Dengan pernyataan ini, Kiyai Sahal seakan ingin mengatakan, “Lakukan Ijtihad”, “Lakukan Tajdid”, atau paling tidak “Lakukan pendekatan Fiqh Manhaji” (istinbath fiqh dengan pendekatan metodologis).

Lebih jauh dari itu, Kiyai Sahal juga mencetuskan fiqh sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum Negara. Artinya, fiqih dapat menjadi jawaban atas permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat saat ini dengan dasar membawa kemaslahatan ummat. Bukan sebagai hukum/pengikat yang stagnan pada satu keadaan di masa lalu yang secara konkret jauh berbeda dengan permasalahan di masa sekarang, akan tetapi lebih menyesuaikan dengan fakta-fakta permasalahan baru yang ada di lapangan.

Contoh kecil, masalah Qashr Shalat ketika bepergian. Akan terjadi ketidakadilan ketika yang bepergian dari dua pihak yang berbeda. Misalnya, orang miskin dan orang kaya. Orang kaya yang bepergian naik pesawat udara dengan jarak lebih dari 80 km boleh meringkas jumlah raka’at shalat Zhuhur menjadi dua raka’at saja, dan dia juga boleh berbuka puasa. Sementara, orang miskin yang bepergian naik sepeda ontel dengan jarak 30 km yang melelahkan, tidak boleh qashar dan tidak boleh berbuka puasa. ”Masyaqqah” (kepayahan, lelah) tidak bisa dijadikan alasan hukum, karena sangat relatif dan tidak bisa diukur. Masyaqqah, menurut teori ini hanyalah hikmah/manfaat yang diperoleh saja. Beliau benar-benar berharap agar faktor kemaslahatan menjadi pertimbangan pemikiran para pengkaji fiqih di zaman modern ini.

Kemaslahatan sosial yang dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan sosial untuk menghargai hak-hak dasar manusia (al-Ushul al-Khamsah). Yakni: hifzh al-din (perlindungan atas keyakinan), hifzh al-nafs (perlindungan atas hak hidup), hifzh al-‘aql (perlindungan atas akal, hak berpikir dan berekspresi), hifzh al-nasl (perlindungan atas hak reproduksi) dan hifz al-maal (perlindungan atas hak milik).

Tanpa adanya kesejahteraan dunia tidak akan terwujud dan keselamatan di akhirat tidak akan diperoleh.

*Dari intisari halaqoh ponpes Darul Falah Be-Songo Semarang pada Rabu malam, (12/03), oleh kelompok 8A (Arini Sofiyani, Ni’ma Diana S., Ima Nur Halimah, Ulfatul Hasanah, Siti Nur Khoiriyah, Farida Yuliani)