Tulisan ini hanya khayalan. Sekali lagi, saya menulis hanya untuk berbagi cerita omong kosong. Entah apa yang menjadikan saya berani menuliskannya mungkin kita perlu bersama. Ya, bersama. Apalagi? Kamu mulai bertanya, bersama dalam hal apa?. Saya kira kita tak bisa diam saja. Apakah kamu sanggup? Lagi-lagi kamu bertanya; sanggup dalam hal apa? Kita akan mulai, kata saya. Bersiap, ya.
Pohon beringin berumur seratus tahun itu mulai berbicara. Suara kicau yang kudengar ternyata bukan dari burung di rumah-rumah, katanya. Ia berasal dari bunga anggrek. Entah apa dasarnya. Saya tidak bisa memastikan namun pelan-pelan kudekati anggrek itu. Suaranya merdu dan kelopaknya mekar sangat indah seperti seekor merak hendak mencari perhatian pasangannya.
Saat ini kita sedang berbaring di sebatang daun teratai, dengan bunganya yang besar dan menjulang. Cukup untuk menjadi peneduh di siang terik. Tanganmu mulai bergerak. Sedari tadi tubuh kita bergeming. Awalnya hanya jari-jari saja. Tidak lama kamu mengangkat dan menunjuk ke arah langit biru. Kamu memilih awan bebentuk aneh. Seperti kucing tetapi mempunyai belalai dan berkaki dua. Kamu hanya senyum-senyum sendiri sembari memejamkan mata. Apa yang kamu pikirkan?
Angin berembus pelan menggoyangkan rambutmu. Air danau juga bergoyang sejenak. Udara sejuk mengalir. Kamu termangu begitu dalam. Setelah kepergiannya, hidupmu agak berantakan. Saya hanya mengetahui itu saja, selebihnya tidak. Dia siapa, dia kenapa, saya tidak tahu. Tapi kamu tetap menutup erat, menabur pupuk dalam kepedihan.
Sedikit lebih kamu menceritakannya dengan tenang. Saya mendengarmu cukup segan menyela. Ceritamu penuh haru, cukup menggebu, dan tidak buru-buru. Adalah tentang seseorang yang kamu sebut dia. Dia yang bernyawa tetapi tidak pernah satu kata dibuat untuk mengeluh. Di hatinya ada banyak berton-ton kasih namun di pundaknya tersedia banyak sekali ceruk kesah yang panjang nan lebar.
Sungguh, saya ingin menghibur. Setidaknya saya harus melihat kamu senyum sebentar. Baru saya buka bibir membentuk huruf vokal a, kamu mulai mengatupkan jari telunjuk ke arah bibir yang condong ke depan. Ssstt.
Perasaan sedihmu cukup mengganggu. Saya tidak mau terganggu dengan itu. Walaupun kamu belum pernah meneteskan air mata, tapi saya paham bagaimana rasanya.
Seumur-umur, saya belum pernah tuh ditinggalkan. Apa seberat itu? Raut wajahmu mulai berubah. Sedetik kemudian kamu bercucuran air mata. Saya takjub. Air matamu berubah menjadi sesuatu yang cantik. Saya benar-benar tidak bisa menjelaskannya di sini. Setelah kamu mengusapnya dengan tangan saya, dari situ saya mengaminkan. Tentang air mata duka yang subur. Lalu tanpa kata, kamu mengangguk perlahan. Kita beranjak dan berpegang tangan. Terpejam lalu bersama-sama saling mendoakan. Doa yang panjang dan tidak pernah lalai.
Oleh: Zeyla adillati (Santriwati Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang)