Berita

PSB

Aji Mumpung

Bernostalgia dengan masa kanak-kanak

Masih ingat lirik lagu Balonku Ada Lima? Atau lagu dolanan Jawa Gundul-gundul Pacul? Atau mungkin kisah-kisah heroik Ksatria Baja Hitam dengan Kotaro Minami-nya? Sepertinya sebagian besar orang masih mengingatnya dengan baik. Kalau ada orang yang menyentil sedikit dari lirik lagu tersebut atau menukil potongan kisah yang dulu sewaktu kecil sering kita dengar, tiba-tiba secara reflek kita bisa meneruskan lirik lagu atau melengkapi cerita tersebut. Begitu membekasnya lagu-lagu dan kisah-kisah yang dahulu kita dengar sewaktu kecil sampai-sampai tanpa muraja’ah bertahun-tahun pun, kita masih dapat mengingatnya dengan baik.

Apa sih yang membuat lirik lagu dan cerita tersebut sulit dilupakan? Apa mungkin dulu pencipta lagunya menggunakan jampi-jampi atau ilmu pelet? Tidak juga. Lalu apa rahasianya?

 

Keajaiban otak anak kecil

Jangan mentang-mentang sudah bukan anak kecil lagi lantas suka menjaili anak kecil lho ya, anak kecil itu punya banyak kelebihan. Selain menggemaskan ternyata anak kecil lebih kuat hafalannya dibandingkan orang tua. Ada sebuah kisah yang cukup terkenal yaitu

وقد حكي عن الأحنف بن قيس أنه سمع رجلا يقول : التعلم في الصغر كالنقش على الحجر

Artinya: Dikisahkan dari Al-Ahnaf bin Qais bahwasanya ia mendengar seseorang berkata, “Belajar pada masa kecil seperti memahat di atas batu”

Pernah lihat prasasti? Setidaknya pernah lihat fotonya saat belajar sejarah di SD atau SMP dulu. Tentu membuat tulisan di atas prasasti yang caranya dengan memahat batu jauh lebih sulit dibanding sekedar menggoreskan pena di atas kertas. Namun jangan tanya jika tulisan itu telah berhasil dibuat. Kira-kira lebih awet mana tulisan di atas kertas atau tulisan yang terpahat di atas prasasti? Tentu saja prasasti. Tulisan di atas kertas jika terkena air akan langsung luntur. Tapi tulisan di atas batu, dalam hal ini kita sebut prasasti, jangankan terkena air, terkena api pun tidak apa-apa. Ini adalah ilustrasi kemampuan otak anak kecil dan orang dewasa atau orang tua. Mengajar orang berumur 40-an untuk menghafal tiga baris dalam al-Qur’an akan terasa lebih mudah dibanding mengajar anak kecil berumur 7 tahunan. Seperempat jam bisa selesai. Sedangkan  mengajar anak umur 7 tahunan, bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Memang, sekali lagi membuat tulisan di atas batu itu tidak segampang membuat tulisan di atas kertas. Orang tua yang di pagi harinya telah hafal tiga baris al-Qur’an, sebelum matahari tenggelam di sore hari, boleh jadi hafalannya sudah menguap terlebih dulu. Tapi bagaimana dengan anak kecil yang menghabiskan berjam-jam untuk menghafal? Ternyata hafalannya lebih tahan lama bahkan bisa tetap melekat di kepalanya sampai punya anak istri, insyaAllah.

Secara umum anak TK lebih kuat hafalannya dibanding anak SD, anak SD lebih kuat hafalannya dibanding anak SMP atau SMU, anak SMU lebih kuat hafalannya dibanding para mahasiswa S1, mahasiswa S1 lebih kuat hafalannya dibanding mahasiswa S2 atau S3, dan tentunya mahasiswa S2 atau S3 lebih kuat hafalannya dibanding kakek-kakek atau nenek-nenek yang sudah mulai pikun. Jika dirumuskan, “Semakin muda umur semakin bagus untuk belajar dan menghafal, atau semakin tua semakin susah untuk belajar dan menghafal”.  Salah satu dari lima sebelum lima dalam hadist Rasul adalah, “Manfaatkan mudamu sebelum tua”. Jadi, mumpung masih muda, banyak-banyaklah belajar dan menghafal sebelum tua, mumpung masih muda efektifkan waktu untuk belajar dan membaca sebelum pikun, naudzubillah. Inilah Aji Mumpung yang harus dipraktekkan.

 

Yang muda, yang produktif

            Rasulullah SAW pernah bersabda:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: عَنْ عُمُرُهِ فِيمَا أَفْنَاهُ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ؟ وَعَنْ علمهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟

Artinya: “Tidak bergeser kaki seorang hamba di hari kiamat (saat di padang mahsyar) sampai ia ditanya empat perkara: Tentang umurnya untuk apa ia gunakan?; tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan?; tentang hartanya darimana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan?; tentang ilmunya yaitu apa yang telah ia amalkan?” (HR.Thabrani, shahih)

Betapa malunya saat kita ditanya tentang apa saja yang telah kita lakukan saat masa muda kita, jawabnya adalah, “Ya Allah, saya gunakan masa muda saya untuk foya-foya, nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan bersenang-senang dengan pacar tiap malam sambil nonton di bioskop…”. Namun betapa bangganya jika kita bisa menjawab, “Ya Allah, saya gunakan masa muda saya untuk belajar, pontang-panting cari buku di perpus dan toko buku loakan untuk saya ambil faedahnya, saya gunakan waktu muda saya untuk menghafal Al-Qur’an, saya gunakan untuk banyak beribadah kepadaMu, ya Allah….”

Kenapa yang ditanyakan adalah masa muda, bukan masa tua saja? Karena masa muda itu masa serta bisa atau masa-masa produktif. Gampangnya, mau apa aja bisa. Waktu muda juga merupakan waktu yang paling digandrungi oleh setan karena kondisi kejiwaan anak muda masih labil sehingga mudah dipengaruhi. Oleh karena itu, buatlah setan-setan menangis dengan cara mengoptimalkan muda untuk banyak belajar dan beribadah kepada Allah serta berkarya demi memberikan manfaat bagi alam semesta.

 

Petuah Imam Syafi’i

Sebagai penutup, ada petuah yang sangat bagus dari Al-Imam Asy-Syafi’i yang harus kawula muda resapi baik-baik. Dalam sebuah syairnya, beliau berkata:

و من فاته التعليم وقت شبابه   فكبر عليه أربعا لوفاته

Artinya: ”Barangsiapa yang terlewatkan untuk belajar pada masa mudanya, maka bertakbirlah empat rakaat atas kematiannya.”

Ini adalah sindiran yang sangat halus dari Imam Syafi’i untuk generasi muda. Artinya, masa muda adalah masa keemasan, yaitu masa yang sangat pas untuk belajar. Di masa muda itulah, seseorang akan menyerap banyak ilmu yang susah didapatkan ketika beranjak tua. Sehingga arti sebuah kehidupan yang indah adalah belajar di saat muda, sehingga jika masa muda terlewatkan dari belajar, seolah-olah hidup ini kosong tanpa makna bagai orang yang sudah meninggal yang sudah tidak mampu lagi memberi manfaat. Jadi ya, “…bertakbirlah empat rakaat atas kematiannya…”, artinya dishalatkan saja dengan “shalat jenazah”.  Mari belajar dengan tekun agar kelak dapat memberi manfaat untuk umat. Allahu a’lam.

 

(Yun Setiadi)