Be-songo.or.id

Bagaimana Islam Menanggapi Fenomena Flexing di Medsos?

Di era serba digital saat ini, dapat dipastikan hampir semua orang menggunakan media sosial. Anak-anak, dewasa hingga orang tua, baik untuk membangun sistem komunikasi, hiburan, menjadi sarana untuk menggali sebuah informasi tak luput juga memanfaatkannya sebagai bentuk ruang ekspresi diri. Namun, tidak sedikit tindakan tersebut menadi pisau bermata dua.

Belakangan ini ramai beredar di media sosial, terutama dengan kasus tentang anak pejabat yang tersandung kasus kekerasan dan memamerkan harta kekayaan orang tua.

Fenomena memperlihatkan kekayaan dan kehidupan mewah agar mendapatkan pengakuan dari masyarakat ini dikenal dengan istilah “Flexing”. Flexing ini dapat didefinisikan sebagai tingkah laku menyombongkan diri disertai memamerkan sesuatu yang berhubungan dengan kekayaan atau kemewahan. Flexing dapat dilakukan oleh orang yang gemar memamerkan kekayaan yang sebenarnya tidak mereka miliki. Seringnya pelaku memalsukan dan memaksakan gaya supaya diterima dalam pergaulan.

Penyebab timbulnya fenomena flexing

Terdapat beberapa yang melatarbelakangi seseorang melakukan flexing, diantaranya;

  • Tekanan sosial

Tidak sedikit seseorang melakukan flexing adalah karena tekanan sosial. Demi gengsi dan diterima dipergaulan, seseorang rela menghamburkan uang membeli barang-barang mewah hanya untuk diakui kekayaannya di lingkungannya.

Padahal, seringnya barang yang dibeli tidak sesuai dengan daya beli yang dimiliki. Oleh karena itu, mereka merasa tertekan dan tidak tenang.

  • Insicure

Fenomena pamer kekayaan ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepercayaan diri yang rendah. Seseorang itu membutuhkan pengakuan dengan cara membeli barang mewah untuk mengatasi perasaan tersebut.

  • Menunjukkan eksistensi

Faktor lain dikarenakan memiliki keinginan untuk diakui keberadaanya. Hal ini mungkin dapat terjadi karena manusia ada yang mendefinisikan kebahagian dapat terpenuhi dengan hal-hal yang berbau materialistik.

Media sosial dan perilaku flexing

Seperti yang telah disampaikan penulis, bahwa media sosial ibarat pisau bermata dua, satu sisi dapat dijadikan untuk media silaturahmi, misalnya bertemu sahabat yang telah lama hilang kontak. Di sisi lain, media sosial dapat menghancurkan martabat seseorang, seperti rusaknya akidah dan moral seseorang serta hancurnya kehidupan rumah tangga.

Kejahatan yang terjadi di media sosial terkadang lebih kejam daripada realitas sosial umumnya. Misalnya, pelecehan nama baik, pemalsuan identitas, dan lain sebagainya. Semuanya dapat mudah terjadi dalam media sosial.

Media sosial kerap juga dijadikan sebagai ajang pamer. Baik itu memamerkan kekayaan maupun perbuatan. Misalnya, memamerkan foto ketika hendak melakukan salat, mengaji dan bersedekah. Perilaku ini tentu akan menimbulkan sebuah perbincangan dan kritik. Selain itu, hal ini tidak mencerminkan etika yang baik dan norma yang ada di masyarakat.

Apabila fenomena ini terus dibiarkan, hal ini dapat menggeser fungsi utama dari media sosial yakni, menyampaikan berbagai informasi yang bermanfaat untuk orang lain.

Flexing dalam Kacamata Islam

Salah satu kebutuhan manusia adalah harta. Setiap orang boleh memiliki dan memanfaatkannya demi kebutuhan hidup, tetapi tentunya harus sesuai dengan tuntunan Islam, dijaga dan dimanfaatkan demi kemaslahatan hidupnya. Harta dalam kacamata Islam, dijadikan sebagai sarana untuk tujuan hidup manusia dan demi mendapatkan ridha Sang Ilahi, bukan dijadikan sebagai tujuan esensial kehidupan manusia.

Makna Flexing jika ditinjau dari ajaran Islam disebut sebagai perilaku memamerkan harta dan bagian dari bentuk kesombongan. Perilaku flexing ini sangat dilarang, sebagaimana dalam Al-Qur’an, bahwasanya Allah SWT berfirman;

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Luqman : 18).

Islam sebagai agama yang selalu mengajarkan akhlak mulia melarang umatnya mendekati akhlak tercela, dalam hal ini termasuk perilaku riya’, terlebih lagi ketika merasa dirinya lebih mulia dari orang lain, yang kemudian menghina dan merendahkan orang lain, baik itu dengan perbuatan atau perkataan.

Namun, yang juga perlu dipahami, tidak ada larangan untuk menjadi kaya. Justru harta kekayaan sangat penting karena dapat menunjang kehidupan manusia, memenuhi kehidupan hidupnya. Tetapi, penerapannya perlu dilakukan dengan etika-etika, salah satunya tidak untuk pencitraan dan popularitas yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka buruk orang lain.

Etika Bermedia Sosial

Maraknya pelanggaran praktik dalam bermedia sosial, maka dalam penggunaannya perlu adanya upaya untuk mengurangi permasalahan tersebut, yakni diperlukanlah etika yang dalam bahasa Arab disebut adab atau tata krama. Banyak permasalahan sosial terjadi disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat dalam tata krama bersosial media. Bahkan, tidak sedikit seseorang terjerat hukum karena kurangnya kehati-hatian dalam mengaplikasikan media sosial.

Etika bermedia sosial dapat dilakukan dengan menjaga komunikasi, menggunakan bahasa yang sopan, tidak mengeluarkan kata-kata kasar yang dapat menimbulkan permasalahan sosial. Perlu adanya pembiasaan untuk melakukan hal ini, bukan hanya saat bermedia sosial, tetapi termasuk pada saat kita berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Selain itu, hindari informasi yang di dalamnya mengandung kekerasan, terlebih lagi unsur SARA (Suku, Agama dan Ras). Hal ini juga sangat penting, agar tidak ada terjadinya konflik antar sesama.

Oleh karena itu, dalam bermedia sosial seseorang perlu memiliki pengetahuan dan kemampuan etis. Seperti sekarang ini, yang telah marak budaya flexing atau pamer harta perlu kita sikapi dengan bijak. Budaya ini dinilai tidak etis karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Islam harta hanyalah titipan Allah SWT, bukan untuk menjadi tolak ukur menilai manusia mulia atau hina. Harta yang dibanggakan, hanya untuk kebutuhuan eksis dan sekadar mencari pengakuan bukanlah suatu perilaku yang baik. Alangkah baiknya dimanfaatkan untuk kebaikan, berbagi rezeki kepada sesama yang membutuhkan.

Oleh: M. Raif Al Abrar (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)