Manusia dalam hidupnya memiliki emosi, rasa, cinta dan lain sebagainya yang bersifat batiniyah dan ruhiyah yang semua itu, disebut berasal dari hati. Disebutkan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum ad-Din pada bab aja’ib al-qalb bahwa hati memiliki dua makna. Yang pertama secara bahasa, hati adalah daging yang terletak dalam dada sebelah kiri yang memiliki tugas mengalirkan darah dan merupakan sumber dari kehidupan manusia. Definisi yang pertama ini ditujukan al-Ghazali untuk qalb-nya (hati) hewan dan mayyit anak adam.
Kemudian yang kedua, Imam al-Ghazali mendefinisikan hati sebagai lathifah rabbaniyyah, yakni sesuatu yang halus dan bersifat ketuhanan atau dekat dengan tuhan dan hal ini berhubungan dengan dengan hati secara jasmani. Maksud dari hati dalam definisi kedua ini menggambarkan hakikat diri manusia yang mana hati berfungsi untuk merasa, mengenali dan mengetahui tentang suatu perkara atau ilmu. Menurut al-Ghazali lagi, hati secara jasmani sangat berkaitan sekali dengan hati secara spiritual. Namun, beliau tidak mengulas panjang mengenai hubungan hati secara jasmani dengan hati secara spiritual karena itu termasuk di bawah ilmu yang bersifat mukasyafah dan hanya diberikan kepada orang-orang khawas.
Hal ini sudah disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dalam haditsnya:
أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ. رواه البخاري ومسلم.
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hati adalah raja yang menguasai seluruh badan sekaligus penentu dari segala amaliyah kita sehari-hari. Oleh karena itu, dalam menjalankan esensinya sebagai pemimpin, hati memiliki bala tentara yang ditempatkan oleh Allah dalam diri kita. Hal ini diisyaratkan oleh Allah dalam Qur’an
وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ اِلَّا هُوَ ۗ
“Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri”.
Al-Ghazali mengibaratkan, bahwa hati sebagai pemimpin memiliki berbagai macam pelayan yang kemudian disebut sebagai bala tentara yang patuh kepadanya. Bilangan tentara hati ini yang mengetahui hanya Allah, namun secara garis besar, tentara hati dibagi menjadi dua, yakni yang bersifat dapat dilihat secara langsung dan tidak dapat dilihat kecuali menggunakan mata hati.
Tentara hati yang dapat dilihat dengan mata kepala yakni adalah seluruh anggota badan seperti tangan, kaki, mata dan seluruh anggota badan lainnya yang diluar maupun di dalam. Hati adalah penggerak dan pemimpin yang menguasainya secara penuh, oleh karena demikian, maka hati sepenuhnya tidak akan mampu untuk memberontak atau membantahnya. Imam al-Ghazali menyebutkan dalam Ihya’ Ulum ad-Din 2/860
وتسخير الأعضاء والحواس للقلب يشبه من وجه تسخير الملائكة لله تعالى، فإنهم مجبولون على الطاعة لا يستطيعون له خلافاً، بل لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
“Kepatuhan anggota badan dan panca indera lainnya kepada hati itu dapat disamakan dengan kepatuhan Malaikat terhadap perintah Allah ﷻ, karena sesungguhnya Malaikat itu diciptakan untuk tunduk dan mereka tidak kuasa menyalahi. Mereka tidak pernah mendurhakai Allah ﷻ akan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka dan senantiasa patuh dan melaksanakan perintah-Nya.”
Kemudian, tentara hati yang bersifat bashair adalah diantaranya emosi, nafsu syahwat, ilmu, kebijaksanaan dan akal fikiran. Nafsu dan syahwat ini terkadang tunduk dan patuh pada hati sehingga sempurna perjalanan hati menuju destinasi yang dituju. Namun, pada waktu yang lain keduanya memberontak dan mengingkari hati sehingga terputus perjalanan hati kepada destinasi yang dituju yaitu kebahagiaan yang hakiki. Oleh yang demikian, saat itu perlunya hati kepada tentera Allah atau disebut sebagai hizbullah yaitu ilmu, kebijaksanaan dan akal pikiran untuk melawan nafsu syahwat dan marah. Hal ini karena terkadang, kedua tentara tersebut adalah tempat terbitnya segala sifat tercela bagi manusia. Nafsu dan syahwat, apabila tidak diurus dengan baik, maka akan menyebabkan seseorang terus melakukan dosa dan maksiat lalu menjauhkan hati dari Allah. Allah berfirman dalam Q.S al-Jatsiyyah ayat 23,
اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِه وَقَلْبِه وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِه غِشٰوَةًۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah?
Dari seluruh keterangan tersebut bisa kita sadari bahwa hati merupakan kunci dari seluruh perbuatan apapun yang dilakukan manusia mengenai asas rasa, cinta, perilaku, dan lain sebagainya bisa dikatakan bersumber dari hati. Dan kita semua hendaknya dapat menjaga hati dari segala hal yang dapat merusaknya dan menjadikan hati kita gelap, seperti lirik lagu laskar cintanya Ahmad Dhani, Wahai, jiwa jiwa yang tenang… berhati-hatilah dirimu… kepada… Hati hati yang penuh… dengan… kebencian yang dalam. Wallahu’alam bisshowab
Oleh: Ulis Syifa’ Muhammadun (Santri Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)