Be-songo.or.id

Besongo Online Gelar Acara Bedah Buku Jejak Kaum Sufi

(Semarang, 24/ 02), Besongo Online menggelar bedah buku berjudul “Jejak Kaum Sufi dalam Kitab-Kitab Hadis Induk”. Bedah buku kali ini bertempat di Madin Raudlatul Jannah, Perumahan Bank Niaga (PBN). Pada kesempatan ini, mengangkat tema “Merajut Keseimbangan Spiritual dalam Keberagaman.” Besongo Online menghadirkan penulis buku, Dr. Ahmad Tajudin Arafat M.S.I. dan Agus Imam Kharomen. M.Ag sebagai pembandingnya.

Ahmad Tajudin Arafat merupakan salah satu ustaz Besongo yang cukup aktif menghidupkan literasi, khususnya kajian hadis dan tasawuf. Pada pemaparannya, Tajuddin -sapaan akrabnya- memaparkan tentang tradisi sufi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah keilmuan Islam. Lebih lanjut, ia menyampaikan latar belakang menulis buku, di mana banyak anggapan antara ahli hadis dan kaum sufi bersebrangan.

“Buku ini hasil konversi dari disertasi saya. Di sini, saya ingin mengatakan bahwa hadis-hadis yang disampaikan dari Rasul kepada para sahabat, kemudian tabiin, tabi’ tabiin dan seterusnya hingga dikodifikasi oleh Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan yang lainnya, adalah bagian dari internalisasi pengalaman keagamaan, bukan sekadar kisah-kisah yang diceritakan,” ujar sekretaris jurusan S2 al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo.

Religious Experiences Kaum Sufi dalam Periwayatan Hadis

Tajuddin mengungkapkan bahwa proses periwayatan hadis tidak mungkin kosong akan makna. Apalagi bagi kaum sufi, ketika mendapatkan hadis, mereka tidak sekadar transmisi matan, namun juga memuat pengalaman keagamaannya (religious experiences). Hal ini yang menarik untuk diungkap lebih detail.

“Saya berangkat dari kitab-kitab yang banyak mengungkap biografi para rawi, lalu saya baca pengalaman keagamaan mereka. Siapa yang dikatakan sufi? Di sini saya mengkonstruksi melalui term-term yang masuk dalam tradisi kesufian. Term seperti al-zuhd, al-qowwam, al-ju’, al-showwam, dan yang lain saya telusuri lebih jauh”, terang ustaz favorit Besongo tersebut.

Penulis buku Jejak Kaum Sufi tersebut menggambarkan perilaku sufi tercermin dalam kitab hadis 9 (kutubut tis’ah). “Perilaku orang-orang seperti ini memengaruhi cara mereka meriwayatkan hadis. Karena hadis-hadis (yang mereka riwayatkan) itu berdasarkan pengalaman hidupnya,” jelas doktor bidang hadis tersebut.

Tajuddin juga mengilustrasikan pengalaman keagamaan dengan tradisi di lingkungan pesantren. “Saat seorang santri mendapatkan pengetahuan dari gurunya, apa yang dia sampaikan kepada murid-muridnya setelah menjadi guru? Pengalaman agama tidak hanya dibawa dalam teks, tapi juga dalam laku, situasi dan pengalaman hidup,” tambahnya.

Tajuddin menemukan perilaku-perilaku perawi sufi yang terdapat dalam kitab mengandung dimensi spiritualitas yang mendalam. Salah satu contoh yang disoroti adalah sikap seorang perawi hadis bernama Zakaria yang terkenal karena tidak pernah keluar sepatah kata kecuali yang ia alami. Ada lagi sufi yang belajar untuk qolilul kalam (sedikit bicara) sampai puluhan tahun.

Tajuddin juga menemukan bahwa sejumlah perawi hadis memiliki karakteristik yang unik, seperti puasa, sedekah tanpa diketahui orang lain, termasuk Uwais al-Qarani yang sama sekali tidak mau diminta hadisnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman hidup mereka sangat memengaruhi cara mereka meriwayatkan hadis.

“Fenomena ini memang menjadi salah satu tantangan dalam penelitian saya. Tetapi, dari hal ini justru hadis nabi itu syiarnya masih hidup sampai sekarang dan islam bertahan karena ada orang-orang (perawi sufi) seperti itu,” jelas Tajuddin.

Keseimbangan Spiritual dalam Keberagaman

Periwayatan hadis yang ada dalam kaum sufi, pada giliranya memberikan ibrah tentang keseimbangan spiritual. Ahli hadis misalnya yang cenderung kaku diimbangi dengan dimensi spiritual kaum sufi. Hal ini seperti yang diungkapkan Agus Imam Kharomen sebagai pembanding.

“Kalau kita baca buku ini memang akan melihat keseimbangan yang tersajikan dalam transmisi periwayatan hadis. Kaum sufi yang berkontribusi dalam riwayat hadis mengungkap pengalaman keagamaannya, laku hidupnya, menjadi hadis-hadis yang memiliki dimensi spiritual,” papar dosen Ushuluddin UIN Walisongo tersebut.  

Agus Imam Kharomen, selaku pembedah buku, menyampaikan bahwa buku ini memberikan penjelasan yang runtut dan jelas mengenai kontribusi kaum Sufi dalam berbagai aspek keilmuan Islam. Menurut Gus Men (akronim nama Agus Kharomen) stigma laku hidup sufi diangap nyeleneh, tidak perhatian dengan ilmu, dan anti sosial seperti khumul berdampak pada kurang perhatianya pengkaji hadis yang sebenarnya banyak di antara kaum sufi melakukan periwatan hadis Nabi. Padahal para sufi ini sedang mengambarkan pentingnya dimensi spiritual dalam menjalani hidup.

“Ada pesan menarik yang dapat kita ambil dalam buku ini. Meskipun mungkin berat kalau dibaca, namun kita akan menemukan bahwa kaum sufi yang meriwayatkan hadis, secara langsung memberikan nasihat melalui hadis-hadis yang mereka sampaikan. Pengalaman keagamaan yang mereka lalui, yang termuat dalam hadis-hadisnya, mengajarkan dimensi spiritual,” terang Gus Men.

Lebih lanjut, para sufi lebih banyak memberikan interpretasi teks dengan pendekatan batiniah. Gus Men kemudian mencontohkan ayat tentang golongan yang menerima zakat, ditafsirkan oleh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari dengan pendekatan yang lain. Bagi penulis al-Hikam tersebut, ayat ini memberikan pesan bagi umat manusia untuk membantu (mengeluarkan) kaum papa, fakir miskin, untuk keluar dari kesulitannya. Pembacaan kaum sufi dengan model batini melampaui yang dipahami para ahli fikih yang lebih banyak melihat zahir nash.

Melalui bedah buku ini, Tajuddin mengungkap pentingnya keseimbangan dalam pengamalan beragama. Perlu bagi para santri mengintegrasi kajian hadis dari ahli fikih dan ahlussuffah (kaum sufi). Buku Jejak Kaum Sufi menjembatani dikotomi yang selama ini banyak terjadi.

Sambutan Pengasuh Pesantren Darul Falah Besongo, KH. Imam Taufiq, yang diwakilkan oleh Nabilatus Sa’adah (lurah pondok), memperjelas urgensi keseimbangan spiritual dengan dimensi material, dalam menghadapi keberagaman.

“Besongo adalah Pondok yang fokus pada Tafaqquh fiddin. Tetapi (para santri) tidak bisa melepaskan diri dari tradisi sufi, tradisi tasawuf, seperti mujahadah, bersungguh-sungguh dalam beribadah, bersungguh-sungguh dalam menjalankan riyadhoh. Besongo tidak hanya menjadi tempat mengaji, tetapi juga melatih tradisi sufistik, terang lurah pondok.

Oleh: Prisilia Maya Safa (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo dan Mahasiswi UIN Walisongo Semarang)

Editor: Ahmad Nizar Z.A