Frasa ‘NKRI Harga Mati’ sudah menjadi kata yang familier di telinga masyarakat Indonesia, dan bukan hanya dari golongan Nahdlatul Ulama (NU) saja. Pertanyaannya, siapakah sosok yang pertama kali mengucapkankan kata tersebut? Sehingga tidak berlebihan apabila kata tersebut telah menjadi slogan bangsa Indonesia.
Kita barangkali tidak mengira bahwa pencetusnya adalah seorang ulama. Pendiri Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti di Klaten, almarhum KH Moeslim Rifa’i Imampuro. Ulama yang akrab disapa Mbah Liem tersebut, dalam berbagai kesempatan di kegiatan pondok, pertemuan kiai, maupun acara-acara umum, dia meneriakkan ‘NKRI Harga Mati’.
Baca Juga: KH. Mohammad Shochib Bisri : Kyai istiqamah bersama umat
Mbah Liem tergolong kiai yang sederhana, nyentrik, dan sering berpenampilan nyeleneh ketika menghadiri beberapa acara. Mbah Liem bahkan jarang diketahui mengenakan atribut seperti yang biasa dipakai oleh seorang ulama; memakai jubah, imamah, sorban dan sebagainya. Saat menyampaikan pidatonya di muka umum, beliau sering berpakaian ala tentara; memakai topi, berdasi, bersepatu tentara, tapi memakai sarung.
Bahkan pada saat prosesi upacara pemakamannya juga tergolong tidak seperti pada umumnya. Mbah Liem meninggal pada 2012 saat berusia 91 tahun. Makamnya berada di sebuah Joglo Kompleks Pondok Pesantren. Bangunan Jawa itu dinamai Joglo Perdamaian Umat Manusia Sedunia. Saat jenazah Mbah Liem diberangkatkan dari rumah duka menuju makam di Komplek Pesantren, diarak dengan iringan hadrah “Sholawat Thola’al Badrun Alainaa.” Proses pemakamanya seperti Tentara, dengan menggunakan tembakan salto yang dipimpin langsung oleh TNI/Polri, yang merupakan bagian dari wasiatnya.
Mbah Liem seolah menutupi identitasnya, bahkan dari anaknya sendiri. Hingga kini, putra-putrinya tidak mengetahui persis kapan tanggal lahirnya. Salah satu putra Mbah Liem, Gus Muh mengatakan, Mbah Liem lahir pada tanggal 24 April 1924, namun begitu Gus Muh sendiri belum begitu yakin.
Baca Juga: Meneladani Kiai Sholeh Darat
Soal identitas, Mbah Liem hanya sering mengatakan bahwa beliau dulu bertugas sebagai penjaga rel kereta api. Tentang silsilah pada akhir-akhir hayatnya, menurut informasi dari Gus Jazuli putra menantunya, bahwa Mbah Liem pernah menulis di kertas bahwa ia masih keturunan keraton Surakarta.
Setelah berkelana nyantri ke berbagai pondok pesantren terutama saat menimba ilmu pada kiai Shirot Solo, Mbah Liem akhirnya hijrah ke Klaten tinggal di Dusun Sumberejo Desa Troso Kecamatan Karanganom, lalu mendirikan Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti di sana. Selain menjadi nama pesantren yang tergolong unik, pesantren ini juga merupakan bukti konsistensi Mbah Liem dalam mencintai dan menjaga NKRI serta Pancasila.
Tema-tema kebangsaan dan kenegaraan adalah salah satu judul utama yang sering disampaikan dalam pidato-pidato beliau. Kurang lebih begini kalimatnya “Mugo-mugo NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati” (Semoga NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati).
Di Masjid Pondoknya, di antara ikamah dan sholat berjama’ah, Mbah Liem selalu mengharuskan untuk mendoakan umat Islam, bangsa dan negara Indonesia terlebih dahulu, berikut doanya:
Baca Juga: KH Imam Taufiq Ajak Para Santri Cancut Taliwondo Perjuangkan Persatuan Republik Indonesia
Subhanaka Allahumma wabihamdika tabaroka ismuka wa ta’ala jadduka laa ilaha Ghoiruka.
“Duh Gusti Alloh Pangeran kulo, kulo sedoyo mbenjang akhir dewoso dadosno lare ingkang sholeh, maslahah, manfaat dunyo akherat bekti wong tuo, agomo, bongso maedahe tonggo biso nggowo becik ing deso, soho Negoro Kesatuan Republik Indonesia Pancasila kaparingan aman, makmur, damai. Poro pengacau agomo lan poro koruptor kaparingono sadar-sadar, Sumberejo wangi berkah ma’muman Mekah.”
Mbah Liem juga pernah menulis, ‘Dari manapun kebangsaannya, yang ingin mengganti dasar negara Pancasila, saya dhoif muslim (Mbah Liem) wajib mengingatkan, mengingatkan.’ Disebut dua kali artinya sebagai penekanan, bahwa tidak ada yang boleh mengganti Pancasila. Mbah Liem dikenal sangat akrab bahkan selalu mendampingi dan menjadi salah satu pembela utama Gus Dur, sejak muda hingga wafatnya.
Menurut kesaksian Habib Luthfi bin Yahya, dalam buku Fragmen Sejarah NU karya Abdul Mun’im DZ mengatakan, pada saat Panglima TNI, Jenderal Benny Moerdani datang ke Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti Klaten, Mbah Liem meneriakkan kata “NKRI Harga Mati…! NKRI Harga Mati…! NKRI Harga Mati…! Pancasila Jaya.” Sejak itulah kata tersebut dijadikan sebagai slogan tidak hanya oleh warga NU, bahkan sebagian masyarakat Indonesia, seperti misalnya TNI. Jadi slogan “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya” dicetuskan oleh KH Muslim Rifai Imampuro atau Mbah Liem.
Baca Juga: Bahtsul Masail Besongo, Ini Tiga Permasalah yang Dibahas
Oleh: Mir’atus Sholihah (Santriwati Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswi UIN Walisongo Semarang)