Be-songo.or.id

 Filterisasi Konten Digital di Era Post-truth

Pasca Liburan (Pascalib) 2024 sudah berjalan beberapa hari dan memiliki kegiatan yang beragam. Pascalib pada hari Rabu (07/02/2024) diisi dengan seminar tentang literasi digital oleh Alifa Nur Fitri, M.S.I. dengan tema Filterisasi Konten Digital di Era Post-truth. Kegiatan ini dilaksanakan di asrama B9 dan diikuti oleh para santri. Bu Alifa mengatakan, perkembangan teknologi yang cepat, perlu diimbangi dengan literasi digital bagi penggunanya.

“Perkembangan teknologi juga memengaruhi pola komunikasi, sehingga memengaruhi cara berkomunikasi kita,” lanjut Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi tersebut.

Mengutip pendapat dari Everett M. Rogers, komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi terhadap satu sama lain yang pada gilirannya akan tiba saling pengertian, bertujuan mengubah perilaku.

Bu Alifa pun menjelaskan beberapa model dasar komunikasi. Yang pertama, transaksi. Transaksi, mengacu pada pertukaran informasi yang terus-menerus di mana pengirim dan penerima terlibat dan bergiliran menyampaikan pesan. Yang kedua, interaktif, mengacu pada metode komunikasi dua arah dengan umpan balik. Yang ketiga, model linear. Model linear adalah model yang mengusulkan komunikasi hanya bergerak satu arah. Pengirim mengodekan pesan, kemudian mengirimkannya melalui saluran tertentu.

“Seiring penggunaan internet meningkat, hoax juga meningkat,” jelas beliau.

Bu Alifa melanjutkan, kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan kemampuan literasi media, berakibat muncul hoax dan banjirnya informasi. Hasil identifikasi terdapat 203 isu hoaks dengan total sebaran di platform digital sebanyak 2.882 konten. Facebook dan Instagram dilaporkan memiliki 1.325 konten dan 198 konten hoax terkait pemilu, di X/Twitter sebanyak 947 konten, TikTok 342 konten, dan pada Youtube 34 konten, menurut data dari Menteri Kominfo, Budi Arie.

“Literasi dalam berbagai bentuknya juga sangat penting,” terang beliau.

Pertama, literasi informasi, yaitu pentingnya akses dan evaluasi informasi serta secara etis memanfaatkan informasi tersebut. Kedua, literasi media, yaitu akses informasi dan kebebasan berekspresi serta kemampuan dalam memahami fungsi media dan perusahaan komunikasi digital guna melakukan evaluasi terhadap konten dan fungsi tersebut. Ketiga, literasi digital, yaitu dengan menitikberatkan pada kemampuan teknis dalam mengoperasikan teknologi digital untuk menghasilkan berbagai format konten digital.

“Selain itu terdapat juga beberapa jenis kesalahan informasi,” lanjut Dosen Komunikasi Penyiaran Islam tersebut.

Pertama, misinformasi, yaitu kesalahan yang tidak disengaja, seperti: keterangan foto, tanggal, statistik, alih-bahasa yang kurang tepat; atau ungkapan satir yang dianggap serius. Informasi yang disebarkan salah, tetapi orang yang membagikannya percaya bahwa informasi itu benar. Kedua, disinformasi, seperti konten audio atau visual yang sengaja direkayasa atau dimanipulasi. Pelaku sengaja menyebarkan rumor atau konspirasi. Penyebaran informasi yang salah dan orang yang menyebarkan informasi tahu, bahwa informasi yang dibagikannya salah.

“Pesan ini secara sengaja dengan intensi untuk merugikan pihak tertentu dan ada motivasi tertentu,” lanjut beliau.

Ketiga, malinformasi, yaitu kesengajaan menyebarkan informasi “asli” dengan, niat mencelakai target. Termasuk di dalamnya adalah pembocoran (leaks) data pribadi, pelecehan (harrashment), dan ujaran kebencian (hate speech).  Penyalahgunaan informasi menyebabkan kerusakan, provokasi, dan seringkali memindahkan informasi yang bersifat privat dibawa ke ruang publik. Malinformasi juga berarti informasi yang salah dan didasarkan pada fakta tetapi digunakan di luar konteks untuk menyesatkan, merugikan atau memanipulasi.

Bu Alifa menjelaskan juga tantangan literasi digital pemilu dengan jenis narasi disinformasi. Pertama, ketidakpercayaan kepada KPU dan Pemerintah. Kedua, kampanye hitam dan kampanye negatif terhadap lawan politik. Ketiga, fitnah dan memecah belah kelompok, ancaman media “click bait”, media mainstream yang tidak “cover all sides”, dan polarisasi di masyarakat produk kontestasi sebelumnya.

“Mis-Dis-Mal (MDM) Informasi bisa dipastikan akan ada selama Pilpres 2024,” jelas beliau.

Hoax akan seputar tokoh politik, kandidat, organisasi/ partai dan lembaga penyelenggaraan pemilu. Pelaku MDM informasi adalah publik, buzzer. Institusi dan terkadang media. Dampaknya adalah adanya distrust, polarisasi, dan instabilitas. Persiapan menangkal hoax bisa dengan hoax buster, kecepatan klarifikasi, penyiapan tim KPU, dan edukasi publik.

Oleh: Khairul Bahrul Ulum

Editor: Sholahuddin