Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan dia atau aku, terlebih dahulu kita perlu mengenal siapa itu dia, siapa itu aku. Salah satu pepatah dalam bahasa latin berbunyi: “ad recte docendum oportet primum inquirere nomina quia rerum cognition a nominibus rerum dependet”. Artinya, agar dapat memahami sesuatu, perlu diketahui terlebih dahulu namanya, agar mendapatkan pengetahuan yang benar (Zainal Arifin Mochtar, 2021).
Dia merupakan orang lain yang tertuju dan aku merupakan diri kita sendiri. Mungkin dua kata ini sudah kenal betul kita pahami saking seringnya telinga kita mendengar pelafalannya sehari-hari. Hal ini memudahkan kita dalam memahami topik yang akan kita perbincangkan beberapa paragraf ke depan.
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Nabi kita, Baginda Nabi Muhammad SAW. pernah besabda: Yang jika diterjemahkan berbunyi: “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”
Hadist tersebut pun dibahas di dalam kitab Kimyaus Sa’adah yang dikaji pada Ngaji Sanadan bersama Dr. Ahmad Tajuddin Arafat (Pak Taju), Ahad (17/03) lalu.
“Siapa yang kenal pada dirinya maka dia kenal dengan tuhannya.” kata Pak Taju. “Siapa yang kenal dengan tuhannya maka dia sudah pasti kenal siapa dirinya”. Imam Al-Ghazali menulis:
فالواجب عليك أن تعرف نفسك بالحقيقة حتّى تدرىي أيّ شيئ أنت
“Maka diwajibkan bagi kalian untuk mengenal diri kalian masing-masing secara hakikat(benar). Sehingga bisa memahami segala sesuatu tentangmu.” (Kimiya’us Sa’adah, h. 4)
Pak Taju menjelaskan, pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh manusia siapapun itu baik yang beragama ataupun tidak adalah “siapa diri kita?”. Tetapi kebalikannya, jika yang ditanya itu orang lain, “siapa sih, dia?”, pasti kita bisa menjelaskannya panjang lebar. Orang kalau menggosip sudah pasti bisa menjelaskan orang lain, tetapi jika menjelaskan dirinya sendiri, sudah pasti mikir-mikir. Kalau bertanya “siapa ya diriku?”, bisa malu dan senyum-senyum sendiri, “siapa ya diriku (sebenarnya)?”
“Makanya orang paling malas itu ketika mengenal dirinya sendiri. Bagaimanapun orang lebih mudah lebih suka mengenal orang lain. Sehingga demikian, jatuhnya kepada meledek dan menggunjing,” papar Pak Taju.
وليس شيء أقرب إليك من نفسك. فإذا لم تعرف نفسك فكيف تعرف ربّك
“Tidak ada yang lebih dekat darimu kecuali dirimu sendiri. Maka jika kamu tidak mengenal dirimu sendiri bagaimana kamu bisa mengenal tuhanmu?” (Kimiya’us Sa’adah, h. 4)
Saking seringnya stalking dia hingga kita lupa ada sosok yang selalu menemani kita dalam segala keadaan baik suka maupun duka, ada sosok yang selalu ada di dekatnya tanpa diminta untuk mendekatinya namun sosok itu selalu melekat dan tidak mau dilepas, sosok itu adalah aku. Betapa sabar dan setianya aku menunggu penantian kita, berharap supaya diperhatikan. Seharusnya kita lebih sering stalking “aku” daripada dia. Padahal jika kita semakin stalking aku kemudian semakin mengenal aku pula, maka secara tidak langsung kita sedikit demi sedikit semakin mengenal Tuhannya aku.
Bukan malah sebaliknya, seperti halnya Qays yang kehilangan dirinya sendiri demi lebih mengenal dan bertemu orang lain. Hal ini dibuktikan dengan keadaan Qays yang bertelanjang kaki dan menyamar sebagai pengemis demi bertemu perempuan yang dicintainya yaitu Layla. Saat berada di dekat rumahnya yang jarak antara dirinya dengan Layla hanya terpisah oleh dinding, Qays menggaungkan syair:
Duhai, betapa besar bahaya yang menghadang agar dapat berjumpa denganmu
Kukorbankan semua yang aku miliki
Kuubah diriku, hingga engkau pun tidak mengenaliku
Kuayunkan langkah dengan tetes air mata
Dan setelah memasuki perkampunganmu
Kubuang semua tanda-tanda yang membuat orang mengenaliku
Kuikat diriku dengan rantai, bagai budak belian
Berjalan sambil menengadahkan tangan, meminta sedekah
Dan bocah-bocah itu tidak suka melihatku
Mereka berkumpul mengelilingiku
Menghardik dan melempariku, seperti anjing berbahaya.
Kini aku datang di dekatmu
Duhai Layla, tak mampu kutahan air mata yang menetes
Kasihanilah kelemahanku
Karena begitu berat penderitaanku
(Syaikh Nizami, Layla Majnun, 2020)
Oleh sebab itu, mari kita bersama-sama untuk tidak bosan berintrospeksi diri dengan merenungkan kembali perasaan, emosi, pikiran, maupun pengalaman yang kita alami. Semoga kita bisa menjadi orang yang selalu mempertanyakan “siapa aku” bukan “siapa dia” karena ketika kita semakin stalking diri kita kemudian semakin pula mengenal diri kita seperti pemaparan diatas kita dapat semakin mengenal tuhan kita yaitu Allah SWT, sehingga dengan semakin mengenal Allah mudah-mudahan dalam kehidupan sehari-hari kita dapat diberi petunjuk, mendapatkan ridhanya, dan diberikan nikmat berupa kebahagiaan yang sesungguhnya tanpa ada intervensi dari orang lain.
Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin…
Referensi:
Abu Hamid ibn Muhammad ibn Muhammad Al- Ghazali, Kimya’us Sa’adah, h.4
Nizami Syekh. (2020). Layla Majnun. BUKU BIJAK.
Zainal Arifin Mochtar, eddy O.H. (2021). Teori, Asas dan Filsafat Hukum Zainal Arifin Mochtar Eddy O . S Hiariej.
Oleh: Ulumul Akhwal (Santri Ponpes Besongo dan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum UIN Walisongo Semarang)
Editor: Ilham Mubarok