Ngaliyan-Selasa, 27 Mei 2014 Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Falah (Dafa) Be¬_Songo Ngaliyan Semarang adakan “Story Telling Competition”, sebagai rangkaian kegiatan akhirussanah periode 2013/2014. Akhirussanah yang diadakan setiap tahun sekali ini berlangsung kurang lebih selama satu bulan sejak 24 Mei s.d. 21 Juni 2014.
Dalam sambutan pembukaan akhirussanah (24 Mei 2014), Imro’atus Sholihah, ketua panitia, memaparkan bahwa kegiatan akhirussanah ini merupakan bagian dari evaluasi seluruh program kegiatan selama satu tahun. Program intensif bahasa baik bahasa Arab maupun bahasa Inggris yang telah berjalan itulah kemudian dievaluasi dalam perlombaan Story Telling. Peserta lomba merupakan perwakilan kelompok yang telah dibentuk berdasarkan kebijakan masing-masing asrama (A7, B5, B9, dan C9). Terdapat empat belas kelompok yang terdaftar sebagai peserta sehingga jumlah keseluruhan peserta ada dua puluh delapan.
“Keseluruhan peserta Story Telling Arab berjumlah 14 santri,” papar Laila Fathiyah, penanggung jawab lomba ST Arab.
Kedua lomba yang diadakan secara bersamaan tersebut, dibagi dalam dua tempat. Story telling Inggris diadakan di Madrasah Diniyah Raudlotul Jannah Ngaliyan Semarang dan Story Telling Arab diadakan di aula asrama B9.
Lomba yang dimulai pukul sembilan itu berlangsung meriah. Beberapa peserta lomba cukup kreatif dengan berdandan ala karakter dalam cerita yang akan diceritakan. Titik, salah satu peserta mengatakan bahwa ia akan menceritakan tentang Timun Mas.
“Do you know me? I’m Mbok Sarni,” kata Titik dengan logat Inggris sambil mengenakan selendang yang diikatkan di kepala ala janda zaman dulu.
Tema-tema yang diusung kali ini diangkat dari kearifan lokal (local wisdom) Indonesia. Walaupun berada di lingkungan pesantren namun peserta diajak bernusantara lewat cerita-cerita yang berkembang di masyarakat. Misalnya cerita Timun Mas, Roro Jonggrang, Rawa Pening, Jaka Tarub, dan Danau Toba.Dengan adanya lomba Story Telling ini, diharapkan para santri dapat berperan dalam percaturan dunia. Dikarenakan bahasa tidak dapat dielakkan lagi keberadaannya di era globalisasi ini.
“Pandangan kolot dan jadul terhadap santri harus diluruskan. Para santri mempunyai kesempatan yang sama dalam mengembangkan dirinya, terlebih dalam bidang bahasa yang dianggap sangat perlu pada zaman sekarang ini,” tutur salah satu santri yang tidak ingin disebut namanya.
Dengan demikian, selain lomba ini dijadikan sebagai ajang ekspresi, para santri secara tidak langsung diberi kesempatan berlatih untuk memperkenalkan Indonesia di kancah internasional dengan modal kedua bahasa, baik Inggris maupun Arab.
(Dina Kamalia)