Sumber : suara.com
Oleh: Azizah Azzahra
Suara rintikan hujan menemani malamku, aku memilih duduk di balkon menikmati irama hujan, di temani dengan secangkir teh hangat. Aku hanyut dalam kenangan masa lalu, kenangan satu tahun lalu.
_@_
Satu tahun lalu
“Dek, besok ada yang mau mengkhitbah kamu”
“Beneran Ma?” tanya ku masih dengan nada tidak percaya
“Ya lah, kapan mama pernah bohong? Kamu bilang kamu tidak ingin pacaran. Katanya mau langsung nikah aja”
“Ya sih Ma, tapi kan Adek masih kuliah” jawabku mengelak
Malam ini suasana sedang sangat bersahabat, aku naik ke lantai dua menuju ruangan tepat disebelah tangga, yaitu kamarku. Aku memilih duduk di balkon memandangi bintang-bintang, aku bertanya-tanya kenapa mama tiba-tiba mengatakan jika ada yang ingin mengktitbahku, dan siapa dia? Udara malam terasa sangat dingin, aku memutuskan untuk tidur lebih awal.
…….
Mentari pagi menapakkan diri di ufuk timur, melelehkan embun pagi. Ditemani dengan suara kicauan burung aku bersama keluarga menikamti sarapan pagi.
“Dek, gimana sudah siap?” Tanya mama saat selesai sarapan pagi.
“Ma, Zahra takut, deg-degan nih”
“Santai saja Sayang, sana siap-siap sebentar lagi datang loh yang mau ngekhitbah. Anak mama yang satu ini udah mau jadi milik orang aja” Kata mama sembari memelukku.
“Mama, apaan sih, godain Zahra terus” rengekku dengan wajah cemberut.
“Ma, siapa sih yang mau ngekhitbah Zahra?”
“Nanti kamu juga tahu Sayang”
Setelah sarapan pagi, aku memilih diam di kamar, hatiku bimbang memikirkan siapa yang akan mengkhitbahku. Sekitar pukul 10 aku mendengar bunyi klakson mobil, aku mulai menduga-duga itu adalah orang yang akan mengkhitbahku.
“Zahra ayo keluar Sayang, itu yang mau menghitbah sudah datang”
“Ya Ma” kubuka pintu kamar dan berjalan di belakang mama menuju ruang tamu.
Setibanya di ruang tamu aku terkejut bukan main. Di hadapanku ada Abah dan Umi, beliau adalah pengasuh pondok pesantren al-Hidayah tempat ku dulu menghafal al-Qur`an. Segera aku menyalami beliau dengan ta`dzim. Di sebelah Abah ada laki-laki yang wajahnya belum pernah ku temui, aku tidak pernah tahu Abah dan Umi punya putra selain Gus Fathur.
Ku kira ini hanya perkenalan, ternyata ini lamaran. Aku semakin khawatir, aku merasa belum pantas bersanding dengan putra pengasuh pondok pesantren, beliau adalah Zainal Arifin, biasa disapa Gus Zain. Di hari ini juga keluargaku dan keluarga Gus Zain menentukan tanggal pernikahan, setelah bermusyawarah disepakatilah pernikahan akan diadakan dua minggu kedepan.
…….
Dua minggu kemudian.
Gema lantunan ijab kabul terdengar syahdu, hatiku terenyuh, tanpa kusadari air mataku telah mendarat di pipiku, segera kuseka. Tak lama ada suara ketukan pintu, aku membukanya.
Kini di hadapanku berdiri seorang kesatria yang sangat gagah, kusalami tangannya, dia mengecup keningku, kemudian kami keluar menyalami keluarga dan tamu undangan.
Acara berjalan dengan sempurna, hingga malam menyapa. Aku dan Mas Zain membersihkan diri. Setelah itu kami saling bertukar cerita.
“Bagaimana Mas Zain mengenal Zahra?” Tanya ku penasaran, karena aku tidak pernah bertemu dengannya sebelum lamaran hari itu.
“Di hari aku pulang dari Yaman, saat itu ada khataman al-Qur`an di aula pondok. Hari itu kamu membaca surat ar-Rahman dan aku menyukai bacaanmu, kamu membaca dengan sangat tenang juga wajahmu meneduhkan. Sejak saat itu, aku selalu mencari mu, bahkan aku mengatakan pada umi perihal perasaanku, dan beliau menyarankan untuk menunggumu selesai study di Jakarta, aku setuju untuk menunggu mu. Tapi ternyata aku gagal, aku takut kamu mencintai orang lain. Tapi sekarang kamu sudah jadi milikku”. Dia memeluk ku erat sekali.
“Zahra aku ingin kamu menyelesaikan kuliahmu, sebelum kamu menjalankan tugas sebagai istriku. Aku tidak ingin menjadi beban bagimu”
“Aku istrimu, dan aku punya kewajiban sebagai istri. Aku tidak kebaratan melayanimu itu sudah menjadi kewajibanku”
“Tidak Zahra, ku mohon. Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membebanimu. Kelak sebelum kamu wisuda dengan gelar S.Pd, aku akan mewisudamu menjadi istriku seutuhnya, aku janji. Aku mencintai mu Zahra, sekarang esok dan selamanya” bisiknya di telingaku.
Malam menjadi saksi janji kita, aku bahagia sangat bahagia. Aku beruntung laki-laki tampan dihadapan ku adalah suami ku.
…….
Musim telah berganti, menyisakan kenangan disetiap detiknya. Hari ini aku punya dua kebahagiaan, pertama besok aku diwisuda dan resmi mendapat gelar S.Pd di belakang namaku, Zahra arinska febriana S.Pd. Kedua, aku akan diwisuda oleh suamiku.
“Zahra, Mas mau menghadiri undangan teman lama, nanti sore Mas pulang dan akan menepati janji Mas” pamit Mas Zain
“Ya Mas, Zahra tunggu Mas Zain pulang”
Hari semakin sore dan Mas Zain belum pulang, aku sedikit cemas. Kutepis pikiran-pikiran negative yang menghampiri. Aku mulai memoles wajahku dengan makeup tipis, hari ini aku ingin terlihat lebih cantik dari biasanya.
Hingga mentari terbenam Mas Zain belum juga pulang, aku benar-benar gelisah, kucoba menelpon tapi hasilnya nihil. Tak lama terdengar bunyi klakson mobil Mas Zain, aku hafal betul. Buru-buru aku keluar kamar menuju teras untuk menemuinya. Aku menyambutnya dengan deraian air mata, kudapati dia bersama seseorang, yang tidak lain adalah sopirnya. Dia datang kepada ku dalam keadaan berlumuran darah, aku menangis, kupeluk dia dengan erat.
“Zahra”
“Ya Mas” jawabku dengan nada masih terisak
“Zahra jangan menangis, maaf aku tidak bisa menepati janji ku” dia mengusap air mataku dengan tangannya yang berlumuran darah.
“Jangan menagis Zahra, esok aku tidak bisa mengusap air matamu lagi”
Aku makin terisak, aku tidak sanggup menjawab setiap perkataannya, aku hanya ingin memeluknya.
“Mas, ayo kita ke rumah sakit, kita obati luka-lukanya”
“Zahra aku tidak butuh rumah sakit. Dokterku ada disini, obatku juga ada disini. Kamulah dokter dan obat ku Zahra”
Dia memeluk ku erat sekali, seakan setelah ini ia tidak bisa memelukku.
“Zahra maafkan aku, izinkan aku lebih lama dalam pelukan mu”
Aku mendengar dia melafalkan dua kalimah syahadat, tubuhku bergetar. Dia sudah tidak bernafas. Kutemui seseorang yang bersamnya dalam mobil, darinya ku tahu bahwa Mas Zain mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang, dan Mas Zain tidak menginginkan untuk dibawa ke Rumah sakit, dia memilih pulang untuk bertemu dan menepati janjinya untuk pulang padaku.
_@_
Tangisku terhenti ketika menyadari seseorang memelukku dari belakang, tanpa ku toleh sekalipun aku mengenalinya, wangi parfumenya membuat aku betah berlama-lama dalam pelukannya. Dia adalah suamiku Fathur Rohim, kakak dari seseorang yang sedari tadi bersarang dalam pikiranku.
“Menangislah jika dengan menangis membuatmu merasa lebih baik” ujarnya masih dengan memelukku.
“Maafkan Zahra Mas”
“Setiap orang memiliki kenangan yang tidak mudah dilupakan Zahra, jangan bersedih”
Ku tatap orang yang memelukku, dia balik menatapku, tatapannya menghangatkan membuat aku takut kehilangan untuk kedua kalinya. Aku memelukanya erat.
…….
Setelah Mas Zain meninggal Umi menyuruhku untuk tetap tinggal di Pesantren untuk mengajar para santri, hampir setiap hari aku bertemu dengan Mas Fathur, hingga suatu hari aku dan Mas Fathur bertemu di balkon, kami saling bertukar cerita. Sejak hari itu, aku tahu jika Mas Fathur mencintaiku sebelum aku menikah dengan Mas Zain, bahkan dia melupakan cintanya demi adiknya yang juga mencintaiku. Dengan izin Umi dan Abah Mas Fathur dan aku menikah.