“Dia yang mengajarkan dengan qalam. Mengajari manusia apa-apa yang tidak tahu”.
(QS. al-Alaq: 4-5)
Berangkat dari narasi firman di atas, ada pesan khusus yang ingin Tuhan sampaikan terkait urgensi menulis kepada manusia. Pesan tersebut termaktub dalam kata ”al-Qalam”, yang berarti “pena”. Buya Hamka dalam tafsirnya menyebutkan bahwa “Itulah kemulianNya yang tertinggi, yaitu diajarkanNya berbagai ilmu, dibukanya berbagai rahasia, dan diserahkannya berbagai kunci yang membuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam, (menulis).
Di samping lidah nuntuk berucap, Tuhan pun menakdirkan pula bahwa dengan qalam (menulis), ilmu pengetahuan dapat dicatat, gagasan atau pemikiran dapat termuat dan aspirasi dapat terdokumentasi dengan cermat. Menulis adalah bekerja untuk keabadian, begitu kira-kira kata Pram. Ihwal tersebut juga diamini oleh Nadirsyah Hosen yang mengatakan bahwa, meskipun kalimat boleh terhapus, gagasan boleh dibungkam, tetapi imajinasi akan tetap abadi. Itulah sebabnya penulis akan tetap hidup di benak para pembacanya meski penulisnya sudah meninggal ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.
Di dalam dunia pesantren khususnya kaum sarungan (baca: santri) kita mengenal sosok Gus Dur. Seorang santri yang juga pernah menjabat sebagai Presiden ke- 4 RI, adalah seorang yang gila baca, gencar menulis dan paling banter menyuarakan semangat berliterasi. Terbukti dari berbagai tulisan yang telah dihasilkannya terdapat berbagai pokok masalah yang berkaitan dengan agama, kebudayaan, ideologi hingga modernisasi pun tak luput ia soroti. Bahkan akibat keseriusan dan keuletannya dalam literasi, Gus Dur sampai mendapat julukan sebagai “Juru bicara pemikiran kaum santri”.
Sebuah tulisan tidak jarang menimbulkan kontroversi, pro-kontra dikalangan masyarakat yang majemuk. Hal tersebut pernah dialami Gus Dur, dimana tulisan dan opininya tentang pesantren dan berbagai tema yang terkait dengannya tampil bergelora dan mengentak ditengah masyarakat kaum tradisionalis dan modernis. Pemikirannya yang terkesan nyeleneh dan melampaui zamannya sehingga tak sedikit berbagai kalangan, baik ulama yang berlatar belakang tradisionalis maupun yang berasal dari golongan modernis, tidak sejalan dengan pemikiran-pemikiran progresifnya. Tetapi hal itu tidak menyurutkan semangatnya dalam menulis. Ia justru semakin getol menelurkan karya-karya yang lain.
Seorang penulis terkadang kudu idealis dalam menuliskan gagasannya. Tidak perlu terpaku, atau bahkan ragu menuangkan pemikirannya yang tidak koheren atau cocok dengan kondisi sosial masyarakat saat ini, seperti yang telah dilakukan oleh Gus Dur. Yang harus kita lakukan adalah menyalakan semangat literasi, dengan cara apa? “Menulis, menulis, dan menulis!” Begitu kira-kira kata seorang narasumber pada sebuah acara workshop kepenulisan.
Konon, diantara ijtihad seorang santri salah satunya adalah dengan menulis. Tidak harus langsung menulis segelondong buku, namun menambal makna kitab-kitab yang masih kosong pun termasuk ijtihad menulis. Sayang, belum banyak yang menyadari hal yang satu ini. Mindset kita kadung mengimani bahwa belum dikatakan santri kalau tidak bisa berdebat dengan sederet dalil, atau lancar berkhotbah, hingga keliling surau untuk menyuarakan dakwah. Tidak, tidak cukup hanya itu. Jika menarik kembali pada surat al-Alaq ayat 4-5 di atas, Allah menegaskan dengan kalimat, “alladzi ‘allama bil qalam (menulis)”, bukan “alladzi ‘allama bil lisan (berbicara)”.
Lebih jauh lagi jika kita menilik para ulama zaman dulu yang rajin menerbitkan tulisannya sampai berjilid-jilid dalam berbagai disiplin keilmuan, bahkan telah dierjemahkan dalam berbagai bahasa dan tidak jarang menjadi rujukan kampus-kampus yang cukup beken di seantero eropa bahkan dunia. Dan karya-karyanya sampai sekarang pun masih eksis diajarkan, ditelaah dan dikaji khususnya di kalangan pesantren. Selaras dengan pernyataan Pram sebelumnya “Bahkan dengan menulis, kita tidak hanya bekerja untuk hidup kita yang sementara, lebih dari itu, menulis adalah bekerja untuk keabadian!”.
| Aniq Muhammad | Penulis adalah Santri Besongo Asrama B17 |