Sains dan bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa kondisi bumi saat ini menjadi lebih panas. Selain suhu bumi yang semakin panas, permukaan air laut menjadi lebih tinggi, banjir diberbagai tempat, tanah longsor, dan cuaca ekstrem yang diyakini disebabkan oleh perubahan iklim. Jika hal ini diteruskan dengan membiarkan pemanasan global, maka diperkirakan suhu bumi akan terus naik 1,5 derajat Celcius. Sebuah penelitian memperkirakan jika kondisi yang seperti saat ini tidak dibatasi maka pada tahun 2025, kemungkinan suhu bumi menjadi lebih panas 1,5 derajat Celcius setidaknya dalam setahun dibandingkan masa pra-industri tahun 1800-an.
Dampak perubahan iklim memang tidak langsung terasa, namun jika tidak dicegah akan berdampak sangat luas bagi kehidupan. Perubahan iklim tentunya akan berdampak bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. perubahan iklim juga merupakan ancaman katastropik bagi keberlanjutan dan kemakmuran semua penduduk bumi. Lebih jelasnya, perubahan iklim tidak hanya berdampak pada kenaikan temperatur bumi, tetapi juga mengubah siklus iklim yang akan mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2023 sampai tanggal 18 september 2023 tercatat sebanyak 2.897 kejadian bencana alam. Lebih dari 99 persen merupakan bencana hidrometeorologi dan kejadian bencana geologi yang kurang dari 1 persen. Bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim dan cuaca ekstrem, sedangkan bencana geologi merupakan bencana yang disebabkan karena faktor tenaga dari dalam bumi.
Demi keberlanjutan hidup yang lebih baik, manusia sebagai bagian dari makhluk yang menghuni bumi harus melakukan langkah mitigasi. Apalagi ditegaskan dalam Al-Quran bahwa manusia merupakan Khalifah dibumi yang bertanggung jawab untuk terus menjaga kelestarian planet yang dihuninya. Di dalam QS. Al-A’raf ayat 56 Allah melarang manusia agar tidak membuat kerusakan di muka bumi.
Jika kita lihat, praktik pembangunan yang dijalankan oleh negara-negara maju maupun berkembang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengesampingkan sustainability of life. Eksploitasi sumber daya alam secara terus menerus, pembangunan tinggi karbon, penggunaan energi berbahan bakar fosil dan penggunaan yang tidak efisien, telah berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan. Model pembangunan yang eksploitatif dan ekstraktif telah menyebabkan meningkatnya bencana ekologis dan hidrometeorologi
Inilah waktu yang tepat untuk menggunakan pendekatan green living sebagai suatu amal peradaban manusia dan alam di masa yang akan datang. Green Living merupakan konsep gaya hidup “hijau” dengan mengurangi dampak-dampak negatif terhadap lingkungan. Hijau yang dimaksud disini merupakan gaya hidup yang memprioritaskan kesehatan alam, ramah lingkungan, dan kesuburan. Lebih jauh lagi, Candice Batista seorang jurnalis lingkungan dan pendiri The Eco Hub berpandangan bahwa green living bukan hanya sebagai gaya hidup belaka, tetapi menjadi filosofi hidup.
Kita bisa mempraktikkan green living dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya untuk melestarikan alam. Diantara yang bisa kita lakukan yaitu, pertama menghemat penggunaan listrik. Pemborosan listrik merupakan salah satu faktor penyumbang emisi gas karbondioksida terbesar. Proses pembangkitan listrik membutuhkan batubara. Batubara dibakar sehingga menghasilkan gas buangan yang berupa karbon dioksida. Semakin banyak penggunaan listrik, semakin banyak pula batubara yang diperlukan. Kedua, meminimalisir penggunaan plastik. Plastik merupakan senyawa yang sulit terurai didalam tanah. Butuh berpuluh-puluh tahun untuk dapat mengurai satu plastik. Ketiga, menerapkan recycle. Benda-benda yang sudah terpakai dapat digunakan kembali dengan mengambil nilai manfaatnya.
Dibutuhkan kolaborasi aktor untuk mengurangi perubahan iklim. Kerja-kerja pelestarian alam dan mengurangi perubahan iklim tidak bisa hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga harus didukung dan dilakukan oleh pemerintah. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa sektor industri dan proyek pembangunan memiliki andil yang sangat besar dalam perubahan iklim.
Dibutuhkan solusi yang jitu untuk menekan laju pertumbuhan perubahan iklim. Sesuai dengan kesepakatn dalam Sidang Umum PBB pada september 2015 yang membahas penyusunan agenda pembangunan pasca-2015 yang berupa Agenda 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability Development Goals, SDGs). Selain itu, corak pembangunan juga harus memperhatikan net zero emission dengan mendorong dan menerapkan pembangunan rendah karbon.
Sektor swasta juga mempunyai peran dalam melaksanakan “industri hijau”. Pihak perusahaan tidak bisa serta merta menebang pohon untuk membuka lahan industri. Data deforestasi yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2015-2020 mencapai 3,06 juta hektar atau 60 kali luas DKI Jakarta. Jika hal ini diteruskan hutan yang ada akan terus berkurang dan kemudian habis menjadi lahan industri. Selain itu, juga diharapkan sudah tidak ada lagi kasus jual-beli Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai syarat untuk mendirikan sebuah usaha.
Semua aktor harus sama-sama mempunyai integritas dalam menjaga keberlangsungan hidup, menjaga kualitas lingkungan hidup, dan menjaga peningkatan kesejahteraan.
Wallahu a’lam bi shawab
Oleh: Ahmad Faisal Huda (Santri Ponpes Darul Falah Besongo dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)
Editor: Ahmad Nizar Zuhdi