Be-songo.or.id

Gus Rozin: Metode Talaqqi, sebagai Kultur yang Tak Boleh Luntur.

Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda (PMH) Kajen, KH Abdul Ghaffar Rozin

Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda (PMH) Kajen, KH Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin) mengatakan, napak tilas sejarah pesantren tertua yaitu tahun 1700 dan kini pesantren tertua masih ada yaitu tahun 1860 seperti pesantren Sidogiri. Ini merupakan salah satu bentuk-bentuk pesantren di mana negara belum berdiri.

“Pada waktu itu, pesantren mendirikan sebuah lembaga yang berupaya untuk menjaga jarak dengan kolonial lewat lembaga yang berkaitan dengan pesantren yang disebut Madrasah Diniyah. Kemudian, pemerintah kolonial mendikotomikan pendidikan ini menjadi sekolah dan madrasah. Semua berawal dari situ. Adapun untuk segi terminologi, tidak ada bedanya,” ujar Gus Rozin dalam tayangan YouTube NU CHANNEL.

Baca Juga: Peran Santri dalam Menghadapi Globalisasi di Indonesia

“Hal itu ditujukan untuk melokalisir bagi santri yang pengetahuan agamanya kuat dilokalisir di Madrasah. Adapun yang pengetahuan umumnya kuat, dilokalisir di sekolah,” imbuhnya.

Disampaikan, pesantren ‘Generasi Satu’ tidak ada kaitannya dengan industri 4.0. Karena pesantren ini ada sebelum kemerdekaan. Kemudian, pesantren ‘Generasi ke dua’ yaitu, ketika pra kemerdekaan. Setelah itu , pesantren ‘Generasi ke tiga’ yang berevolusi sekaligus ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan membangun konstitusi.

“Dan sekarang ini, kita memasuki pesantren di era ke empat di mana orang-orangnya berangkat dari lingkup yang berbeda-beda,” ucapnya.

Baca Juga: Literasi sebagai Media Dakwah Santri di Era Globalisasi

Menurut beliau, tantangan di era sekarang dapat dikatakan berat, karena bagi mereka yang telah terbiasa dengan gadget harus bisa membiasakan dirinya ketika masuk ke dunia pesantren agar tidak terbawa arus globalisasi dengan cara bisa memilah, memilih sekaligus ‘saring sebelum sharing’, supaya bisa menyesuaikan era globalisasi.

Lanjut beliau, dengan adanya metode talaqi atau ngaji langsung dengan Kiai harus terus dibudayakan sebagai kultur yang tidak boleh luntur, supaya nantinya ketika menjawab persoalan bisa sesuatu dialektika yang logis.

Baca Juga: Modalitas Pesantren dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia

“Ketika mengkomparasikan dengan masalah di era digital, pemahaman kita dari Kiai yang hanya bersifat deskriptif bisa menjadi pragmatis, karena tinggal mengamalkan apa yang sebelumnya sudah dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut,” pungkasnya.

Oleh: Abdus Salam Bariklana (Santri Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)