Be-songo.or.id

Halaqoh Kubro : Polarisasi Masyarakat Madani dalam Kemajemukan Beragama

Badruzzaman sedang mentashih hasil halaqah kubro

Besongo.or.id – Santri merupakan generasi penerus yang harus mampu melanjutkan dakwah Nabi. Jadi sudah semestinya seorang santri dituntut untuk berpikir kritis, berdiskusi serta membahas suatu problematika yang sedang marak di negara kita.

Untuk melatih para santri agar berpikir secara kritis, Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang selalu mengadakan halaqoh kubro setiap tahunnya. Halaqoh kubro ini juga termasuk salah satu kegiatan pascalib. Halaqoh tahun ini memang sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena menggunakan sistem blended learning .

Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Rabu, (10/02/2021), bertempat di B9 bagi santri yang mengambil pembelajaran tatap muka, dan yang mengambil pembelajaran secara online, mereka dapat mengaksesnya melalui zoom ataupun youtube.

Tema halaqoh tahun ini membahas tentang “Polarisasi Masyarakat Madani dalam Kemajemukan Beragama”, dengan mengundang pentashih dari salah satu asatidz Dafa  Besongo yaitu M. Badruzzaman. Lalu dari tiap-tiap asrama mendelegasikan dua peserta untuk mengikuti halaqoh kubro. Total peserta halaqoh kubro yaitu 8 kelompok dengan dua peserta pada tiap kelompoknya.

Pada sesi akhir, pentashih memberi kesimpulan serta meluruskan pembahasan pada halaqoh kubra. Beliau menjelaskan kata demi kata dari tema halaqoh. Pentashih mengutip definisi polarisasi dari KBBI, beliau mengutarakan bahwa polarisasi merupakan pembagian atas dua bagian kelompok atau kelompok yang berkepentingan.

“Polarisasi tidak hanya terkenal di dunia politik, bahkan dalam persoalan agamapun sering terjadi. Salah satu penyebabnya yaitu karena adanya perbedaan pendapat yang diambil dari para ulama.” Tutur Badruz.

Untuk masyarakat madani, beliau memaparkan beberapa pendapat, salah satunya yaitu dari K.H. Said Aqil Siradj yang mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat mutamaddin yang memiliki arti manusia yang berperadaban.

Tema yang dibahas pada halaqoh menjurus pada toleransi terhadap umat beragama, dengan mengangkat isu yang sedang hangat diperbincangkan di Indonesia yaitu isu tentang SKB (surat keputusan bersama) 3 menteri.

Surat tersebut pada intinya berisi tentang tidak diperbolehkannya melarang dan mewajibkan mengenakan atribut / seragam kekhususan agama di sekolah. Yang melatarbelakangi isu tersebut ialah kewajiban siswi nonmuslim untuk mengenakan jilbab. Menanggapi isu yang beredar di SMKN 2 Padang, pentashih mengungkapkan bahwa beliau tidak setuju dengan kasus pemaksaan hak asasi tersebut.

“Memaksakan menggunakan kerudung sesama muslimpun merupakan kekeliruan dakwah, apalagi terhadap non muslim. Beda lagi jika kasusnya non muslim memang menyukai jilbab, itu silahkan saja. Karena hal tersebut hanya sebagai model berpakaian.” Tutur Badruz.

Selain toleransi, kita juga harus tetap memperhatikan hak seseorang tanpa paksaan. Telah kita ketahui bahwa Islam telah dikenal dengan agama yang rahmatan lil alamin, dalam Islam tidak pernah ada pemaksaan. Di dalam agama juga kita tidak diperbolehkan untuk fanatik, tetapi tidak terlalu lepas juga, seharusnya kita menjadi umat yang berada di tengah-tengah, “yang dipentingkan adalah moderasi beragama, orang moderat cenderung ngademke ati lan pikir.” Sambung beliau.

Tak bisa kita pungkiri bahwa perbedaan itu nyata kebeberadaannya. Tidak jarang adanya konflik disebabkan karena perbedaan tersebut. Padahal perbedaan bisa diharmonikan dengan cara toleransi dan dialog antar umat.

“Terkait perbedaan itu adalah sunnatullah. Kita tidak bisa mengelak, menolak bahkan bersembunyi di perbedaan itu, karena kita hidup di Indonesia yang majemuk.” Ungkap pentashih halaqoh kubro.

Di dalam Islam kita diperbolehkan untuk berhubungan baik dengan non islam, dengan tetap mengedepankan sikap toleransi. Tetapi toleransi disini tidak mencakup segala hal. Toleransi tidak boleh diterapkan dalam hal aqidah. Karena toleransi itu bagian dari ranah sosial, bukan aqidah.

Pada akhir pemaparan materi, Badruz memberikan pesan,“Alangkah indahnya tuhan menganugerahkan perbedaan. Alangkah sempurna bila kita menyadari dengan tulus bahwa perbedaan mampu menjadi kekuatan nasional melalui nilai-nilai kemanusiaan  yang mendamaikan.”

Hal tersebut menjadi penegasan bahwa harmoni dalam perbedaan memang hal yang indah. Kekuatan nasional harus dijunjung tinggi dengan adanya nilai-nilai kemanusiaan  yang mendamaikan.

Reporter          : Syifa Urrachmi Nurul Alfi

Editor              : Ati Auliyaur Rohmah