Be-songo.or.id

Implementasi Kaidah Al ‘Aadatun Muhakkamah dalam Tradisi Sunda Wiwitan

Upacara Seren Taun sebagai ekspresi syukur masyarakat Sunda Wiwitan di Cigugur. (Foto: Kompas/Arbain Rambey

Budaya Sunda merupakan kebudayaan yang seharusnya dilestarikan, yang mana budaya tersebut merupakan salah satu kekayaan negara yang sangat berharga. Salah satu budaya sunda yaitu tradisi Sunda Wiwitan yang masih dilakukan oleh masyarakat Badui. (Aulia Nanda Irawan, 2019)

Tradisi yang dilakukan berupa sebuah kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes berupa Arca Domas, masyarakat Badui sendiri merahasiakan lokasi keberadaan arca tersebut karena dianggap paling sakral. Masyarakat Badui mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan ke lima.

Karena tradisi tersebut yang juga dilakukan oleh agama Hindu, para peneliti mengemukakan tentang agama yang dianut oleh masyarakat Sunda Wiwitan. Perbedaan pendapat tersebut juga mengakibatkan perseteruan diantara mereka, apakah kepercayaan tersebut merupakan ajaran agama atau hanya sebuah tradisi yang dilestarikan.

Sunda Wiwitan merupakan sistem kepercayaan asli masyarakat Sunda pada zaman dahulu, sebelum datangnya Hindu, Budha, dan Islam ke Indonesia. Ada beberapa versi menyebutkan bahwa raja-raja Sunda dulu sudah menganut agama Hindu seperti Tarumanagara, versi lain juga menyebutkan bahwa raja-raja dulu masih menganut ajaran agama ‘asli’ masyarakat sunda, yaitu Sunda Wiwitan ( Ira Indrawan, 2014).

Sunda Wiwitan merupakan sebutan bagi sekumpulan masyarakat Sunda yang masih memegang adat kepercayaan yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya. Kepercayaan tersebut berupa ajaran Monoteitis yang merupakan sebuah upacara penghormatan terhadap roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada suatu kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan Tuhan YME dan biasa mereka sebut sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau yang disebut juga Barata Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib), serta yang bersemayam di Buwana Nyungcung (Buana Atas). Selain itu kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) juga merupakan ajaran yang dianut oleh ajaran Sunda Wiwitan.

Ajaran penghormatan terhadap nenek moyang bukan bermaksud menyekutukan Tuhan, tetapi melestarikan sebuah adat istiadat yang telah dilakukan sejak dahulu. Mengingat masyarakat sunda wiwitan merupakan masyarakat yang sangat menghormati alam dan pendahulunya. Pada dasarnya ajaran monotheis yang dilakukan oleh masyarakat Sunda Wiwitan merupakan ajaran Islam itu sendiri. Hanya saja penyebutan atau pengistilahannya saja yang berbeda, mereka percaya bahwa hanya ada satu kekuasaan yaitu sanghyang keresa atau Gusti nu Maha Agung, Gusti nu Maha Suci atau Sang Hyang Tunggal yang tidak lain adalah Allah SWT.

Al ‘Adatun Muhakkamah dan Sunda Wiwitan

Penulis melihat  tradisi ini sudah bisa diterima dalam ajaran Islam sesuai dengan ‘Urf dalam ilmu fikih. Urf yang diartikan sebagai apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Selain itu ‘Urf atau adat juga menjadi kajian dalam kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah Al-adatu Muhakkamah (adat adalah hukum). Singkatnya, Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan (Fathurrahman Azhari, LPKU, 2015).

Sunda Wiwitan dalam kaitanya dengan kaidah fiqhiyyah yaitu Al – ‘Adatun Muhakkamah. Kaidah tersebut bermakna sebuah kebiasaan (baik berupa ucapan atau kegiatan) pada objek tertentu, yang dilakukan secara berulang kali oleh suatu individu atau kelompok di masyarakat, yang bisa dijadikan dasar penetapan hukum terhadap hukum khusus dan tidak ada penentangan, meskipun secara umum hal tersebut menjadi kebiasaan di luar hukum umum yang berlaku di masyarakat.

Para ulama telah banyak yang mengkritisi kaidah tersebut dan menyesuaikan dengan dalil-dalil yang ada dalam Al qur’an maupun Hadits. Salah satunya adalah Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abdullah r.a yang artinya :

“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah. Apa yang dipandang tidak baik oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi Allah”. (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani, dalam kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas’ud).

Sesuai dengan dalil diatas, kebiasaan merupakan suatu hal yang dilakukan secara berulang kali oleh masyarakat secara umum, yang tentu saja hal tersebut dipercaya oleh masyarakat sebagai hal yang baik, karena pada hakikatnya manusia akan melakukan hal yang ia percaya sebagain kebaikan, dan sebaliknya mereka akan meninggalkan hal tersebut jika merupakan sebuah keburukan. Kebaikan disini diartikan bukan sebagai suatu ibadah, tetapi lebih luas lagi, yaitu suatu hal yang jika dilakukan oleh orang tersebut, maka akan menimbulkan suatu kesenangan pada dirinya.

Sunda wiwitan merupakan salah satu ‘urf yang shohih. Sebab dalam ajaran sunda wiwitan tidak terdapat ajaran yang bertentangan dengan ajaran islam. Hal ini yang menyebabkan penullis menganggap bahwa Sunda Wiwitan sesuai dengan nilai nilai keislaman yang ada.

Ada sebuah sebuah slogan sunda yang popular dikalangan masyarakat sunda sendiri berbunyi “Sunda teh Islam, Islam teh Sunda” yang berarti Sunda tidak lain adalah Islam itu sendiri, begitupun sebaliknya. Jalin kelindan antara Islam dan Sunda sudah menjadi sebuah akulturasi budaya dan agama yang melahirkan sebuah kebiasaan baru, seperti kebudayaan Seren Taun yang sering diadakan oleh masyarakat Badui.

Sunda Wiwitan merupakan bukti bahwa dua unsur kehidupan manusia – agama dan budaya – bisa menyatu tanpa menghilangkan ciri antara keduanya. Bukti ini tercantum dalam pengamalan antara penghambaan masyarakat sunda wiwitan terhadap Tuhan YME dengan penghormatan atau bentuk rasa syukur terhadap kebiasaan yang telah dilakukan oleh Karuhun (sebutan masyarakat Sunda bagi nenek moyang mereka).

Pikukuh atau ketentuan-ketentuan masyarakat Sunda menjadi pedoman dasar bagi mereka untuk menjalani kehidupan. Pikukuh tersebut merupakan implementasi penghormatan kepada para pendahulu. Pikukuh berisi tentang aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh karuhun, dan juga menyesuaikan dengan aturan syari’at keagamaan.

Salah satu contoh tradisi Sunda Wiwitan adalah upacara Seren Taun. Seren Taun merupakan sebuah upacara yang dilakukan atas ungkapan rasa syukur masyarakat atas hasil panen yang mereka hasilkan. Dilakukan dengan upacara adat oleh seuluruh warga dengan membawa hasil panen mereka sendiri, di sebuah tempat atau pendopo.

Dalam perspektif keagamaan, kegiatan tersebut merupakan ungkapan rasa syukur terhadap segala kenikmatan dan keberkahan yang telah Tuhan berikan kepada mereka, dengan cara berdoa, karena Allah SWT berfirman dalam Surat Ad-Dhuha ayat 9 yang artinya:

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).” (QS. Ad Dhuha:11)

Selain itu implementasi terhadap rasa syukur dilakukan dengan merayakan upacara adat yang bertujuan melestarikan tradisi Karuhun yang sudah ada sejak dulu.

Ajaran islam masyarakat adat Sunda wiwitan bukan berarti membolehkan melakukan ritual pemujaan terhadap roh nenek moyang. Namun ajaran-ajaran yang telah diatur dalam pikukuh ini merupakan bentuk kepedulian masyarakat Sunda wiwitan untuk menjaga kelestarian alam. Islam juga mengajarkan umatnya untuk menjaga alam dan tidak merusaknya. Penghormatan yang dilakukan masyarakat sunda wiwitan bukanlah kegiatan menyekutukan tuhan melainkan suatu bentuk rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Sang Hyang Tunggal atau Allah swt.

Penulis            : Panpan Alwi

Editor              : Azkiya Tsany