Mengenal Tajalli
Tiga tahapan bagi seseorang dalam mendalami dunia tasawwuf, yaitu: takhalli, tahalli dan tajalli. Ketiga tahapan ini merupakan proses seseorang untuk menjadi insan kamil atau manusia yang sempurna. Takhalli merupakan proses penjernihan hati dari segala penyakit hati. Dalam tahapan ini seseorang dituntut dengan sepenuh hati untuk dapat menyadari dirinya sendiri (muhasabah) dan kembali ke jalan Illahi.
Dengan hati yang jernih setelah proses takhalli, seseorang kemudian memasuki tahapan tahalli. Tahapan ini merupakan proses pengisian hati dengan meningkatkan dzikrullah maupun dengan meningkatkan kualitas ibadah. Dengan begitu, tidak menjadi beban hidup ketika kehilangan kesibukan dunia maupun hal-hal yang berbau keduniaan. Tahapan tahalli juga sebagai proses menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik Allah SWT.
Tahapan yang ketiga dan merupakan proses puncak dari tahapan tasawuf yaitu tajalli. Tajalli merupakan sebuah tahapan dimana hijab (tabir penghalang) yang membatasi hati seseorang dengan Tuhannya tersingkap. Dengan terbukanya hati, maka nur Allah SWT berupa hidayah, taufik, karomah dan lain sebagainya masuk sampai ke hati nurani. Seseorang dalam tahapan ini lebih mengedepankan nilai hakikat sehingga dia mengetahui siapa yang dia imani, kepada siapa dia beribadah dan mengabdi, yaitu Allah SWT yang Maha Agung dan Maha Tinggi dengan kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
Menuju Ma’rifatullah
Dalam al-Quran dikisahkan bahwa Nabi Adam a.s memakan buah khuldi sehingga dikeluarkan dari surga. Seseorang dalam tahapan tajalli meyakini bahwa apa yang dilakukan Nabi Adam a.s hakikatnya merupakan perintah Allah SWT. Sebagaimana diterangkan dalam al-Quran surat Al Baqarah ayat 30 bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Nilai pemahaman akan hakikat ini mengantarkan manusia dalam menyingkap hijab pemisah dengan Tuhannya. Hati manusia yang tertutup oleh lingkaran dunia, dosa, kelalaian dan syahwat menjadi hijab yang menggelapkan dan menutupi hati, sehingga nur (cahaya) Allah SWT terhalang untuk sampai kepadanya. Ketika seseorang sudah terbuka pintu hatinya, dia akan lebih mengenal dan mengetahui Tuhannya, Allah SWT (ma’rifatullah).
Ma’rifatullah adalah tingkatan dimana seseorang sudah mengenal Allah SWT yang Maha Suci dengan segenap hati dan meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya (Q.S. Sajdah: 9). Ma’rifatullah dapat dicapai setelah seseorang dengan sempurna menjalankan syari’at dan hakikat (al Baqarah: 282). Dengan kata lain, ketika seseorang sudah melalui tahapan takhalli, tahalli dan tajalli maka seseorang akan dapat mencapai ma’rifatullah.
Dalam tasawwuf akhlaki, ma’rifat terbagi menjadi dua, yaitu ma’rifat khawash dan ma’rifat ‘awam. Ma’rifat khawash merupakan ma’rifat yang sudah sampai pada tahap waliyullah dan kekasih Allah SWT. Ma’rifat ini merupakan ma’rifat hak dimana objeknya adalah Allah SWT semata. Seseorang dalam tahapan ini dituntut untuk memiliki kesadaran “Laa Maujuda Illa Allah” atau tiada wujud selain Allah SWT. Artinya, segala sesuatu di alam semesta diyakini merupakan wujud manifestasi dari Allah SWT. Nilai ke-aku-an sudah tidak terasa lagi karena sudah meyakini bahwa semuanya milik Allah SWT semata.
Sedangkan ma’rifat ‘awam merupakan nilai ma’rifat dalam tahapan yakin dan bersifat umum. Artinya, sebatas membedakan baik dan buruk, benar dan salah maupun indah dan jelek saja. Seseorang dalam tahapan ini dituntut memiliki kesadaran “Laa Ma’buda Illa Allah wa Laa Maqsuda Illa Allah.” Dalam mencapai tingkatan ma’rifat ‘awam, seseorang harus melalui beberapa tahapan.
Dr. KH. Amin Syukur, MA dalam halaqah Kajian Tasawwuf Akhlaki menyampaikan bahwa, ma’rifat ‘awam dapat dicapai melalui tiga tahapan, yaitu: 1) Ma’rifatun nafs, merupakan tahapan seseorang yang dituntut untuk lebih mengenal diri sendiri sebagaimana termaktub dalam Q.S. Az Zariyat: 21, 2) Ma’rifatul kaun, merupakan tahapan seseorang memahami, mengenal alam semesta dan segala ciptaanNya sebagaimana termaktub dalam QS. Fusilat: 53, 3) Ma’rifatun nass merupakan tahapan dimana lebih mengenal manusia dan lingkungan sosialnya. Q.S. al Hujurat: 13
Dengan peningkatan ma’rifatullah, maka indra ruhaniyah manusia akan semakin terasah untuk lebih mengenal Tuhannya. Indra ruhaniyah ini yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Dengan berlandaskan iman dan ilmu, seseorang dapat mengasah indra ruhaniyahnya untuk dapat mencapai insan kamil. Yaitu, seseorang yang menghayati akan tujuan penciptaan, meyakini adanya hikmah dan kemashlahatan yang senantiasa harus dikembangkan dan dijaga kelestariannya.
*Diintisarikan dari halaqoh PKU ponpes Darul Falah Be-Songo Semarang bersama Dr. KH. Amin Syukur, MA pada Selasa malam (25/03), oleh Abdullah Hasan.