Semarang (14/4), sebanyak 250 mahasiswa mengikuti diskusi bedah buku berjudul “Islam Tuhan, Islam Manusia” yang bertempat di Gedung A lantai 3, UIN Walisongo. Acara yang diselenggarakan bertepatan dengan hari libur ini mendapatkan banyak antusiasiasme dari mahasiswa. Buku karangan Dr. Haidar Bagir dan pembedah buku Dr. H Muhyar Fanani, M. Ag Dekan Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik,sukses menyedot banyak perhatian mahasiswa. Berlangsung pada pukul 13.30 WIB, oleh Luthfi Rahman, MSI, MA, selaku moderator.
Acara yang didukung oleh Rahim Bangsa dan Mizan ini berjalan dengan lancar. Islam yang dikenal dengan agama dari Tuhan nyatanya tidak serta merta murni sepenuhnya dilakukan oleh manusia. Pengaplikasian Islam sebagai manusia dilakukan atas penafsiran manusia itu sendiri. Pada poin tertentu di dalam buku ini dijelaskan bahwa perbedaan penafsiran terhadap Islam mana yang paling benar, itu hal yang wajar.
Penulis buku menjelaskan dua poin tepenting yakni variasi keislaman dijadikan korelasi dan diterima dengan sikap positif serta Islam diturunkan untuk manusia. Seperti halnya cermin yang terjatuh dari langit akan menjadi pecahan-pecahan bila jatuh dibumi. Demikian konsep tafsir islam manusia yang akan beraneka ragam, tetapi jika mampu menyatukan akan menjadi utuh dan bagus kembali.
Buku ini memuat lima bab, dimana Bab I mengambarkan tentang masalah umat manusia dan umat islam, Bab II tentang khazanah islam, Bab III dan IV menjelaskan pendekatan dan diakhiri Bab V yang diisi dengan solusi untuk permasalahan yang ada. Mengutip dari Imam Ja’far Sodiq “ Agama itu cinta, cinta itu agama”, tutur Pendiri Gerakan Islam Cinta yang mengatakan bahwa solusi dari dari permasalahan umat Islam yakni Islam tasawuf
Sesi pembedahan buku oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik mengutarakan bahwa dalam buku ‘Islam Tuhan, Islam Manusia” sangat beragam dengan topik yang sangat luas. Sehingga memungkinkan pembaca merasa berat oleh bacaannya, tetapi hal tersebut sangat wajar bagi buku dengan pemikiran yang berkualitas. Beliau mengutip pemikiran dari A. Sjafi’I Ma’arif tentang memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia menggunakan “ilmu garam, tidak ilmu gincu”, hal ini menjelaskan garam tidak akan berbekas tetapi menimbulkan cita rasa bagi makanan, bukan terbelalak pada warna di bibir tetapi tunarasa.
Rangkaian acara berakhir pada pukul 16.00 WIB dengan sesi foto bersama dan pembagian doorprize. “ Jika Tuhan hanya berwelas asih pada satu agama, maka saya tidak akan beragama” ungkapan dari Prof. Mahmud Ayub seorang sejarawan agama yang dituturkan oleh moderator di akhir diskusi bedah buku.