Be-songo.or.id

Kajian Fikih “Bisnis Multi Marketing (MLM)

Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin derasnya arus globalisasi, mengakibatkan semakin kom-pleksnya permasalahan yang berkembang di masyarakat. Sa-lah satunya yaitu dalam bidang fiqih. Berikut wawancara kru Al-Qalam dengan pakar Fiqh, Abah Ahmad Ali Munir Basyir :

Pertenyaan 1:

Bagaimana fiqih memandang bisnis multi level marketing (MLM) yang marak terjadi saat ini? (Sani_B.9)

Jawaban:

MLM hukumnya Tidak Boleh (Haram). Karena di dalamnya terdapat banyak kemadhorotan daripada maslahatnya. Didalam MLM itu,

  1. Mengandung unsur riba fadl dan nasi‟ah. Setiap anggota menyerahkan uang dalam jumlah kecil untuk mendapatkan uang dalam jumlah yang lebih besar. Ini berarti uang ditukar dengan uang yang nominalnya tidak sama dan tidak tunai. Inilah riba yang diharamkan berdasarkan teks Alqur‟an dan Hadis, beserta Ijmak.
  2. Sistem MLM mengandung unsur gharar (spekulasi) yang diharamkan syariat. Karena, setiap orang yang ikut dalam jaringan ini, ia tidak tahu apakah akan ber-hasil merekrut anggota (downline) dalam jumlah yang diinginkan atau tidak.
  3. Sistem MLM mengandung unsur memakan harta manusia dengan cara yang batil. Karena, yang mendapat keuntungan dari sistem ini hanyalah perusahaan MLM dan sejumlah kecil anggota dalam rangka mengelabui orang-orang untuk ikut bergabung. Dalam hal ini teks Alqur‟an sangat jelas mengharamkan praktik ini. Allah Ta‟ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل

  1. 4. Sistem MLM mengandung unsur penipuan, menyembunyikan cacat dan pem-bohongan publik. Dari sisi penyertaan barang/produk dalam jaringan, seolah-olah ini adalah penjualan produk, padahal sesungguhnya yang terjadi bukanlah demikian. Dan dari sisi menjanjikan bonus yang sangat besar, namun jarang diperoleh setiap anggota. Ini adalah penipuan yang diharamkan syariat. Kalau menurut saya sendiri jika kita ingin berbisnis itu yang wajar – wajar saja. Sesuai dengan sunnatullah, karena segala sesuatu itu kalau tidak sesuai dengan suna-tullah tidak bakal langgeng.

 

Pertanyaan 2:

Berapa persenkah kadar alcohol yang boleh dipakai saat beribadah? ( Eka_C.9 )

Jawaban :

Hukum asal wewangian itu sebenanya halal, kecuali kalau diketahui ada sesuatu yang mencegah penggunaan-ya dikarenakan kondisinya memabukkan, memabukkan bila mana sudah banyak. Bila seseorang mengetahui ada parfum yang mengandung bahan yang memabukkan atau najis maka hendanya menghindari penggunaanya. Sebenarnya parfum-parfum yang telah dihalalkan oleh Allah itu sudah ada contohnya. Seperti parfum kayu cendana, kasturi, ‘anbar dll. Dalam hal ini kaedah yang berlaku adalah

اذا اجتمع والحرام غلب الحرام

“Apabila halal dan haram kumpul, maka yang dimenangkan adalah haram”. Kalau kita tidak bisa menghindari parfum – par-fum yang sekarang dijual bebas di pasaran, maka yang menjadi ukurannya adalah ma-buk atau tidak memabuknya parfum itu karena kadar alkoholnya. Parfum dengan bentuk minyak dengan kadar alkohol ren-dah bukanlah najis, tetapi bisa menjadi haram. Hukumnya menjadi haram jika ka-dar alkohol pada minyak wangi ini tinggi sehingga bisa memabukkan.

 

Pertanyaan 3:

Bagaimanakah hukum Bank ASI ? (Aniq_B.9)

Jawaban:

Praktek bank ASI adalah praktek penyampaian susu dari ibu donor kepada anak yang membutu kan, khususnya melalui akad hibah, secara tidak langsung atau melalui perantara. Pada dasarnya, hibah dan memberi susu kepada anak orang lain adalah perbuatan yang mubah. Ketika air susu diminum oleh anak yang berusia kurang dan atau sama dengan dua tahun, maka air susu tersebut menimbulkan hubungan hukum, baik susu tersebut dicampur dengan susu dari banyak perempuan/ibu atau pun dari satu perempuan/ ibu saja. Hubungan hukum yang timbul adalah terjadinya larangan menikahi sebagaimana larangan un-tuk menikahi saudara berdasarkan hubungan nasab. Maka dari itu hukum bank ASI itu cenderung tidak diperbolehkan. Karena berimplikasi panjang terhadap hubungan per-susuan ibu dan anak susu sehingga menimbulkan resiko terjadi per-nikahan terlarang yang membawa madharat.