Gambar Ilustrasi : KabarMakkah.com
Karya : Hansska*
Tangannya menengadah. Menguji benda cair dari langit yang semakin menderas tanpa arah. Tempias hujan sejak senja tadi kini kian membeludak. Mengukir pijakan yang semula kering menjadi tanah tanah belecak. Recikannya terus mengenai ujung selendang yang dililitkan di separuh tubuhnya sebagai pengganti rok. Sementara angin berhembus santer memasuki relung tulang dan menempel di persendian. Menggetarkan urat-urat tua yang kian dimakan usia. Dingin, kotor dan berdebu. Namun bibirnya enggan berkatup, penuh welas asih terus didendangkan pujian pada yang Maha segala Maha, berharap rinai hujan sudi mereda.
“Allahumma Shayyiban Nafii’an.”
Karung goni berisi bantal guling yang telah seharian penuh diembannya ia rengkuh perlahan. Baru satu yang sudah berpindah tangan, itupun dengan tawaran harga yang begitu murah. Mau bagaimana lagi, perutnya sudah butuh asupan dan belum sepeserpun ia terima hari ini. Nasi bungkus dalam plastik sisa tadi pagi kembali dibukanya. Menguar aroma nasi setengah basi menggandrungi penciumannya. Tempe yang masih berbaring kokoh pagi tadi mulai melayu. Warnanya hampir memudar terkena air sayur yang telah menyatu. Menciptakan makanan yang terlihat dua tiga kali lebih besar dari biasanya. Diambilah sedikit demi sedikit suapan menggunakan tangan gelambirnya, mendulang ke dalam mulut, dan mulai mengunyah dengan sisa-sisa tenaga. Guntur terus bersahutan. Mendobrak tubuh ringkih yang tinggal kulit pembalut tulang. Temaram bergulir semakin cepat, baru sekitar jam 7 tapi keadaan sekitar sudah sunyi bak kuburan. Toko dan beberapa ruko telah menutup gerbangnya. Kendaraan berlalu lalang kencang, mengejar waktu untuk cepat sampai di rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga tercinta. Beburu ia menyudahi suapan terakhirnya. Bungkus kertas minyak dibuangnya ke tempat sampah. Kembali ia panggul karung goni beserta isi, berniat pergi mencari tempat yang lebih nyaman lagi.
Namanya Mbah Sarmi. Wanita tua berumur tiga per empat abad itu masih terus siaga. Namun penyakit Osteoarthritis yang menyerangnya semakin berkuasa. Ya, Mbah Sarmi merupakan salah satu penderita penyakit ini. Penyakit yang pada umumnya memang diderita oleh wanita berusia lebih dari 70 tahun. Dan terjadi saat tulang rawan di dalam sendi terkikis atau rusak akibat penuaan. Mbah Sarmi butuh terapi untuk mengontrol nyeri dan mencegah degenerasi lebih pada sendinya. Akan tetapi semua itu tidak mudah, sebab ia memerlukan banyak biaya pasti. Dan hal itulah yang kian menggandrungi pikirannya.
“Kerjo wae tho, mak. Ojo ngandalke kiriman seko cucu anak,” omongan para tetangga memekak di telinga. Beliau tersenyum, mereka berkata demikian sebab mereka tak tau apa yang sedang Mbah Sarmi perjuangkan. Sudah separuh lebih hidupnya digunakan untuk menjadi tenaga kerja serabutan di pasar. Dan kini, tinggal tersisa kaki bersama sang penyakit yang membuatnya lebih sulit untuk beraktivitas. Anak cucunya sudah hidup makmur di kota, entah masihkah mereka mengingat keberadaan Mbah Sarmi yang tinggal seorang diri ini atau tidak. Makin kesini keadaan kakinya semakin parah saja. Ia butuh uang untuk makan sehari-hari dan juga terapi. Dan entah mengapa, tuhan seperti mendengar permintaannya. Pada sore itu ia mendapat tawaran bekerja sebagai penjual bantal dan guling. Tanpa berpikir panjang, jelas ia menerimanya. Tak peduli kondisi kaki yang tidak terlalu memungkinkan bagi pekerjaannya keliling untuk berdagang.
Diawali pada pagi hari ini. Dipikulnya sekarung besar berisi bantal dan guling kapuk dengan selendang lusuh dililitkan di punggung. Ia mulai berkeliling menjajakan dagangannya. Meski tungkainya beberapa kali terseok, tak peduli ia. Sekarang perihal usaha dan tawakkal pada apa yang akan didapatnya. Dan benar, mentari semakin meninggi saja. Tenaganya melemah, sang kaki rupanya sudah setengah lelah. Ia beristirahat sebentar di depan warung makanan. Sambil sesekali mengusap bulir keringat yang sedari tadi mengalir di keningnya.
“Jangan duduk disini, Mbah. Mengganggu para pelanggan yang mau lewat,” seorang ibu paruh baya menegur Mbah Sarmi.
“Oh nggeh, ngapunten,” Mbah Sarmi bangkit, dengan bertumpu rasa nyeri yang menjalari kaki bergegas ia pergi meninggalkan warung makan tersebut.
“Mana laku jualan kaya gitu mbah, sekarang zamannya sudah beda. Mana ada yang pakai bantal guling seperti itu lagi,” samar-samar terdengar omongan sang ibu pemilik warung. Mbah Sarmi terdiam sambil terus berusaha berjalan, meski tertatih. Sakit hatinya, namun ia mencoba tegar. Percaya pada do’a yang selama ini dipanjatkan pada yang Maha Kuasa.
Terik matahari mengukir bercak kemerahan di sekujur tubuhnya, membakar kulit dan persendian yang semakin menua. Hingga seseorang membeli bantalnya, menciptakan rasa syukur yang teramat dalam.
“Matur nuwun.”
“Nggih Mbah. Sami-sami,” uang tiga belas ribu diterimanya dengan ikhlas. Masih separuh dari harga yang ditentukan atasanya. Ia rugi, jelas. Namun ia niatkan sisanya sebagai sedekah. Ia yakin, Allah sudah siapkan gantinya. Mbah Sarmi terus berjalan, mengiringi aspal-aspal hitam berselimut asap kecut. Namun perjuangannya sementara harus terhenti ketika lembayung tiada terlihat senja ini, sementara sebentar lagi malam tiba dan mendung sudah beburu menggandrungi. Hujan turun beriringan, menyisakan petrikor yang menguap terbawa angin lalu lalang. Membawanya ke tepi jalan, sendiri bersama karung goni beserta sisa-sisa makanan. Sudah jam 7 lewat 10 menit. Nampaknya hujan sedikit mereda. Bergegas ia meringkasi barang-barang dan menuju langgar untuk mendirikan sholat isya. Kemudian, kembali ia berkeliling, mencari seseorang yang mau membeli bantal guling misalnya. Genangan air keruh menyebar dimana-mana, tanah tanah belecak juga sandal kumuh yang bersatu dengan lumpur tak menyiutkan keyakinanya untuk terus berkelana, baginya tiada usaha yang sia-sia.
“Bantal bantal.. silahkan gulingnya mbak, mas,” sambil terseok terus ia berdzikir tiada henti sepanjang jalan. Satu menit, dua menit, tiga menit. Begitu seterusnya hingga ia mendapati empat sosok mendekat ke arahnya.
“Darimana mbah?”
“Grobogan kulo.”
“Jauh ya mbah. Jualan apa ini mbah, berapaan?” Ujar satu diataranya.
“Iyo le, ini bantal guling, dua puluh lima ribuan. Monggo dibeli.” Empat perjaka yang terlihat seumuran mahasiswa itu berpandangan, entah bicara apa lewat mata antar mata. Kemudian mereka tersenyum.
“Saya ambil empat ya mbah,” Mbah Sarmi menatap empat perjaka tersebut bergantian, sorot matanya menggambarkan kegembiraan yang teramat dalam. Ia menerima selembar uang seratus ribuan. Dan tak lama setelah itu, beberapa orang datang bergantian. Rimbun memadati karung goni Mbah Sarmi yang masih padat berisi. Bercakap yang entah apa, mungkin semacam negosiasi antara penjual dan pembeli, kemudian memilah milih lalu pergi dengan dagangan dan uang yang sudah bertukar tangan. Hingga pada akhirnya, isi karung goni yang Mbah Sarni bawa sudah habis tak bersisa. Dan benar saja, binar mata Mbah Sarmi tak bisa disembunyikan lagi. Bulir-bulir suci mengalir membanjiri si tua pipi, tak henti-hentinya beliau mengucap syukur pada-Nya. Tak menyangka bahwa Allah telah sudi mendengar dan mengabulkan do’anya.
*Santri putri asrama B9 angkatan 2018