Be-songo.or.id

Kelabu di Genggam-Nya

Seringkali aku ditanya oleh teman satu kamarku mengenai kiat-kiat agar bisa terjaga di malam hari dengan cukup lama, bisa belajar lebih lama, dan sering menjadi juara kelas hingga menjadi santri kesayangan para ustadzah. Di situlah mulutku terkunci, mendadak menjadi bisu tanpa bisa menjawab. Jika boleh menjawab dengan jujur, alasannya adalah rasa takutku yang berlebihan mengenai kenangan buruk di masa lalu.

Pada suatu malam saat usiaku dua belas tahun, aku tidak bisa tidur semalaman karena paginya akan ada piknik tahunan di sekolah. Aku sangat tidak sabaran hingga malam itu aku terjaga, padahal ibu sudah menyuruhku untuk tidur lebih awal agar paginya aku tidak mengantuk. Tiba-tiba suara pintu kamarku berdecit dan terbuka dengan pelan. Aku langsung pura-pura memejamkan mataku sambil memeluk boneka beruangku. Kukira itu ibu, mengecek apakah aku sudah tidur atau belum. Ternyata itu ayah, dan hal yang membuat hidupku hancur hingga kini pun terjadi. Sosok yang kupanggil ayah itu melakukan kejahatan asusila kepada anaknya sendiri. Pikiranku sudah tidak menentu waktu itu, otakku sudah tidak bisa berpikir waras. Bukannya bangun dan teriak, aku memilih tetap pura-pura tidur karena tidak tahu harus berbuat apa. Entah pukul berapa orang bejat itu keluar dari kamarku, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Membekap isak tangisku sendiri dengan boneka kesayanganku.

Hidupku sungguh hancur sejak malam itu. Aku sangat membencinya walaupun aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Sungguh, aku ingin bercerita kepada ibu, namun akankah ada yang mempercayai cerita semacam itu dari mulut anak SD? Aku berkali-kali mengutuk dan membunuhnya di dalam pikiranku setiap melihat wajahnya itu. Sorenya, aku terpaksa membakar boneka kesayanganku. Kejadian malam itu selalu melintas jika aku melihat bonekaku itu. Lupakan soal piknik yang menyenangkan. Seharian itu aku diam tanpa bicara dengan siapapun di tempat piknik. Hingga detik ini, aku membencinya sebagai seorang ayah. Hingga detik ini juga, aku merasa jijik dengan diriku sendiri.

Aku belum bisa menerima dan memaafkan diriku, walau bukan aku yang salah.

Namaku Elliana, usiaku 19 tahun kurang 34 hari, dan aku… adalah korban dari kejahatan asusila di usiaku yang ke-12 tahun. Mirisnya, oleh sosok yang biasa kupanggil ayah.

#

Enam tahun aku tinggal di pesantren sejak lulus dari sekolah dasar dan hatiku belum juga tenang. Aku belum bisa berdamai dengan rasa traumaku itu. Walaupun masa remajaku dihabiskan di pesantren, tak jarang pula aku melihat teman-temanku berpacaran. Bertanya padaku, apakah aku tidak apa-apa jika berpergian bersama mereka yang berpasang-pasangan, sedangkan aku hanya sendiri. I feel really okay. Sebelum aku memahami dengan betul bahwa berpacaran memang dilarang oleh agama, aku lebih dulu dihadang oleh tragedi malam itu yang membuat kepercayaanku kepada lelaki manapun hilang.

Sosok yang kusebut ayah saja bisa melakukan kejahatan asusila terhadap darah dagingnya sendiri, apalagi laki-laki luar yang bukan siapa-siapaku?

Sudah tiga hari ini perasaanku tidak enak. Rasanya aku ingin sekali bertemu dengan ibu. Entah bagaimana kabar ibu, namun pikiranku selalu tertuju padanya. Masih satu hari lagi menuju Jumat-jadwal layanan elektronik, mulai dari smartphone, komputer, dan lain sebagainya.

Paginya, satu setengah jam sebelum koperasi buka, aku sudah menunggu di depan pintu agar tidak mengantri. Saat dibuka, aku langsung mengambil nomor antrian. Ya, tentunya dapat nomor antrian pertama. Langsung saja kuketik nomor ibu yang sudah kuhafal di luar kepala. Terdengar suara nada sambung dari sana. Ringing…

“Assalamualaikum, nak. Tumben sekali nelpon jam segini. Ada apa?”

“Tidak apa. Perasaanku hanya tidak enak saja tiga hari ini dan selalu kepikiran kabar ibu. Ibu baik-baik, kan?” Terdengar hembusan nafas berat ibu dengan pelan.

“Baik, nak.” Suara ibu bergetar. Aku langsung tahu bahwa ibu sedang tidak baik-baik saja. Aku membiarkannya menutupi sedihnya dariku, melanjutkan mengobrol mengenai banyak hal. Kuharap, ini bisa sedikit mengurangi kesedihan ibu, entah sedih karena hal apapun. Aku menutup telepon setelah hampir satu jam berbincang dengan ibu. Aku diam-diam merencanakan kepulanganku ke rumah. Hari ini aku mulai mengurus perijinan ke pengurus dan ndalem.

Dua hari setelah menelpon ibu, akhirnya aku sampai di terminal dekat rumah. Aku memilih untuk naik ojek supaya cepat sampai. Sepanjang jalan aku senyum-senyum sendiri, membayangkan reaksi ibu yang tahu tiba-tiba anak perempuannya pulang. Namun, apa yang kulihat ketika sampai di rumah membuatku lemas tak berdaya. Rumah sangat berantakan sekali isinya, ibu duduk melamun di atas sofa, dan pandangannya kosong. Aku langsung berlari memeluk ibu.

“Tidak apa-apa, bu. Liana tau ini bukan salah ibu.” Tangis ibu mengeras, air matanya deras membasahi kerudungku. Aku sendiri tidak tahu apa yang baru saja terjadi, namun bukan saat yang tepat menanyakan apa yang terjadi.

Aku mengambilkan air hangat dan membantu ibu untuk meminumnya sambil terus mengelus pundak dan tangannya.

“Ayahmu, El…” Tangis ibu yang sudah mereda kembali terdengar. Ia menarik nafas dengan sulit sambil memukul dadanya. Hidung dan matanya sudah memerah. Aku sendiri sangat takut mendengar kelanjutan kalimat ibu. Takut, jika hal yang sama terulang pada orang lain.

“Bejat sekali dia, El. Ibu harus bisa menjebloskannya ke penjara. El… bantu ibu,” tangis ibu kini tak bersuara sambil memukul dadanya lebih keras. “Ibu harus bagaimana, El? Putri Bu Rahma yang masih SMP dilecehkan, El.” Ibu berteriak frustasi.

Tubuhku langsung lemas, hatiku terasa sakit sekali, dadaku sungguh sesak. Kenangan enam tahun silam melintas cepat di depan mataku. Aku sudah menduga kelanjutan kalimat ibu, namun saat tahu dugaanku benar, tetap saja membuatku kehilangan kekuatan.

“Sekarang dia kabur, El…”

Aku langsung mengambil handphone-ku. Mungkin ini adalah saatnya. Bermalam-malam yang kuhabiskan selama di pesantren untuk mempelajari proses hukum tentang kekerasan seksual akan kupraktekkan mulai detik ini.

“Halo, selamat pagi. Perkenalkan saya Elliana.” Aku menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapanku.

“Saya ingin membuat laporan mengenai kekerasan seksual. Saya sebagai salah satu korban kekerasan seksual dari bapak KS enam tahun silam dan saat ini ada satu korban lagi yang merupakan siswi SMP. Saat ini bapak KS melarikan diri dari rumahnya pukul enam pagi. Saya mohon, tangkap dia hingga dapat dan beri hukuman yang seberat-seberatnya.

Saya tidak tahu, mungkin saja ada korban selain saya dan siswi SMP itu.”

#

            Aku dan ibu duduk di tempat persidangan dengan tatapan kosong. Terutama ibu yang dengan erat menggenggam tanganku. Ia masih syok mengetahui bahwa ternyata aku juga salah satu korbannya. Aku sendiri yakin bahwa aku akan memenangkan kasus ini. Pengacara kondang yang merupakan ayah teman sekamarku di pesantren tersenyum kepada kami, memberi isyarat bahwa kami tak perlu panik. Sosok yang kupanggil ayah itu pasti akan mendapatkan imbalan dari perbuatannya.

            Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya doa-doa kami terjawab. Dia dijebloskan ke dalam penjara karena melanggar Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 76E tersebut dikatakan: ”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”. Adapun pelaku dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 82 ayat (1) junto Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

            Ibu memelukku erat. Akhirnya kasus ini dimenangkan oleh kami. Esok harinya, aku meminta perpanjangan pulang kepada pihak pesantren. Bagaimanapun, aku ingin menemani siswi MP itu. Bukan sebagai anak kandung pelaku yang merasa bersalah atas dosa bapaknya, namun sebagai sesama korban yang sudah mulai sembuh lukanya. Berharap hadirku dapat membantu dia perlahan sadar,

bahwa kamu, sungguh tak perlu merasa bersalah dan kotor.

#

            Pukul dua malam aku terbangun untuk menunaikan sholat tahajud dan memanjangkan sujudku. Bersyukur sekali, akhirnya orang yang selalu kubunuh dalam pikiranku kini mendapatkan balasannya. Tiba-tiba aku teringat ucapanan Ustadzah Halimah pada suatu kajiannya,

“Saya tahu, kalian pernah jatuh dan terpuruk, kalian pernah mengalami hal buruk, kalian pernah kecewa hingga batinmu terluka. Tapi fakta bahwa hari ini kalian bisa berdiri tegak tanpa kurang suatu apa pun, adalah bukti bahwa Allah menjaga, mendekap, dan menyayangimu selalu.”

            Malam itu aku berpikir tentang bayak hal, bahwa setiap cerita itu ada pada genggaman-Nya. Sekalipun itu hal terkelabu yang ada di hidupmu. Tragedi itu memang begitu menyakitkan. Namun, baru kusadari juga bahwa karena tragedi itulah aku sekarang menimba ilmu di pesantren. Karena tragedi itu juga, aku menyibukkan diri dengan belajar tanpa henti yang membuat keilmuanku bertambah setiap harinya, juga, karena tragedi itulah aku tidak melanggar perintah Allah yang sekarang marak sekali dilakukan para remaja, pacaran- perbuatan zina yang dewasa ini dianggap wajar oleh kebanyakan orang.

Allah tidak membenciku, oleh karenanya aku tak perlu membenci diriku sendiri.

Oleh: Nabilatus Sa’adah (Mahasantri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris angkatan 2021)