Oleh : Qisthi Ula Rahmayani*
Be-songo.or.id – Setiap orang tentu memimpikan indahnya sebuah pernikahan. Pernikahan yang dilandasi cinta dan menjadi jalan menuju surga. Manusia secara umum baik laki-laki maupun perempuan mendambakan pasangannya masing-masing agar memperoleh ketentraman (sakinah), dengan pondasi rasa dan sikap cinta (mawaddah), dan juga kasih sayang (rahmah).
Kebahagiaan dunia akhirat menjadi tujuan utama dari sebuah pernikahan. Namun, dalam sebuah kehidupan rumah tangga pasti akan ada berbagai macam gejolak hingga menimbulkan pertengkaran antara suami-istri. Banyak faktor pemicu terjadinya pertengkaran, salah satu diantaranya adalah faktor ekonomi.
Pada masa pandemi Covid-19, ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan sehingga perekonomian keluarga terdampak. Hal tersebut berefek kondisi rumah tangga yang berujung pada kekerasan yang dilampiaskan kepada istri. Selain itu, adanya beban domestik yang bertambah bagi seorang istri dimasa pandemi ini dimana ia harus mengurus rumah tangga sekaligus menjadi guru bagi anak-anaknya yang sedang beradaptasi dengan sistem pembelajaran daring menjadikannya harus mampu membagi tugas ganda yang cukup berat ini. Dan ketika seorang istri tidak mampu memenuhi tugasnya dengan baik, ditambah lagi adanya budaya patriarki yang menganggap bahwa seorang laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi dan memiliki kuasa atas diri perempuan, mereka lebih rentan menjadi target tindak kekerasan.
Rumah tangga yang baik bukanlah yang tanpa problem sama sekali, tetapi yang mampu menyelesaikan segala persoalan dengan baik. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya “Qira’ah Mubadalah”, menyampaikan bahwa pemukulan atau segala bentuk kekerasan sama sekali tidak direkomendasikan untuk menyelesaikan persoalan relasi pasangan suami istri. Seperti kata Ibnu Hajar al-‘Asqallani, alih-alih bisa memperbaiki hubungan antara suami dan istri, pemukulan justru melahirkan sakit hati dan kebencian. Hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan dengan pilar pernikahan yaitu berpasangan (zawaj) yang saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf).
Dalam kitab Manba’us Sa’adah diterangkan bahwa pernikahan seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai akad ibahah atau menghalalkan seorang perempuan saja. Pernikahan harus dimaknai sebagai akad musyarakah, yakni perserikatan atau pengkongsian antara dua pihak, laki-laki dan perempuan. Keduanya harus bersatu dan saling berkontribusi, berbagi dan menikmati secara bersama-sama.
Dalam perspektif mubadalah, dengan pilar zawaj dan mu’asyarah bil ma’ruf sebagai etika paling fundamental dalam relasi suami-istri, menegaskan bahwa antara suami dan istri harus terdapat perspektif, prinsip, dan nilai kesalingan diantara keduanya. Sehingga laki-laki dengan kewenangan yang dimiliki tidak bisa melakukan pemaksaan pada perempuan apalagi menyakitinya. Substansi ini juga berlaku bagi perempuan. Artinya, perempuan juga dilarang melakukan pemaksaan pada laki-laki. Begitu pula menuntut perempuan untuk berperilaku baik kepada suami.
Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri. Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga harus dimusyawarahkan. Seperti telah dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 233, misalnya dalam urusan menyapih anak harus diputuskan atas kerelaan dua pihak, dan setelah berembuk bersama (tasyawurin) antara mereka berdua. Termasuk ketika terjadi permasalahan dalam ekonomi maka harus dirembuk bersama, sehingga segala kebutuhan keluarga pun bisa menjadi tanggung jawab bersama suami-istri. Jika seorang istri bersedia bekerja mencari nafkah, maka suami juga harus bersedia untuk ikut andil dalam pekerjaan domestik. Dengan demikian, beban rumah tangga dapat dipikul bersama sesuai dengan kemampuan masing-masing.
–
–
–
*Mahasantri Darul Falah Besongo Semarang