Berita

PSB

Ketimpangan Pemahaman Konsep Nusyuz dalam Pernikahan

Oleh : Nailis Tsuroyya*

Be-songo.or.id – Rasulullah menerangkan, bahwa pada kenyataannya pernikahan tidak hanya sekedar akad. Pernikahan merupakan salah satu kekuatan penting untuk meraih kesuksesan, tempat berlindung dari tekanan hidup yang datang silih berganti dan merasakan kenyamanan dan ketenangan. Situasi semacam ini mengingatkan pada sebuah hadis Nabi yang terdapat dalam Musnad Ahmad, yang menjelaskan bahwa keluarga dan rumah merupakan salah satu penopang kebahagiaan dalam hidup. Dalam Hukum Islam mengatur bahwa perkawinan yang dilaksanakan oleh dua mempelai disaksian oleh beberapa pihak atau dua ketentuannya dari laki-laki. Dalam literatur bahasa Arab perkawinan disebut juga sebagai zawaj atau nikah, oleh karena itu menikah adalah suatu ikatan suci atau mitsaqon golidzo yang akan dipikul oleh kedua mempelai. Dan dari keduanya akan ada rasa saling menguatkan satu sama lain, saling menghargai dan menyayangi. Jika itu telah terjadi, maka keselarasan dalam kehidupan rumah tangga akan damai sesuai dambaan insan pada umumnya. Sudah jelas bahwa pernikahan bukan hanya pernyataan di atas hitam dan putih pengesahan Kantor Urusan Agama. Lebih dari itu, pernikahan merupakan proses suci bersatunya dua hati dan jiwa yang saling mengasihi dalam ridha illahi.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenang dan tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Menurut ayat tersebut, pernikahan merupakan keterpaduan antara ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Sakinah adalah rasa tenang dan tentramnya hati yang dirasakan dan didapatkan dari pasangan, tidak hanya istri bagi suami juga sebaliknya suami bagi istri. Sebab istri bisa menjadi tempat suami mendapatkan ketentraman jika istri mendapatkan ketentraman pula dari suami. Hal ini timbul dari mawaddah sebagai rasa cinta kasih yang tercurahkan untuk pasangan. Serta dari rahmah, rasa kasih sayang yang mengalir dari pasangan.

Dalam masalah nusyuz ternyata kaum wanita cukup rentan terjadinya ketidakadilan gender dan tindakan kekerasan baik tindakan itu dilakukan secara sadar oleh suami maupun karena ketidak tahuannya. Untuk meminimalisir atau menghilangkan tindak kekerasan itu diperlukan pemahaman baru tentang posisi dan kedudukan wanita di tengah-tengah masyarakat. Pandangan yang menganggap bahwa wanita sebagai the second creature dan subordinasi kaum pria harus diubah dengan pandangan yang menganggap bahwa kedua makhluk itu baik laki-laki dan perempuan adalah setara dan sederajat tanpa harus meninggikan atau merendahkan salah satu diantara keduanya.

Penilaian dan pandangan mengenai nusyuz yang ‘berat sebelah’ dalam arti lebih terkesan merugikan dan memojokkan kaum perempuan serta membela dan melindungi kaum pria perlu diluruskan. Bahwa nusyuz dapat terjadi dan dilakukan kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan, dengan demikian kesan selama ini bahwa nusyuz merupakan ‘monopoli’ kaum wanita adalah salah dan perlu dihilangkan.

Jika agama telah begitu rinci menjelaskan langkah-langkah penanggulangan buat istri yang nusyuz , maka alangkah baiknya mulai sekarang dipikirkan untuk menetapkan sejumlah aturan maupun sanksi bagi suami yang melakukan nusyuz terutama suami yang menyakiti, menyiksa, menelantarkan dan sewenang-wenang terhadap istri ataupun keluarga dengan aturan dan sanksi yang jelas dan tegas. Tentu saja agar lebih efektif dan mengikat ia lebih tepat kalau dirumuskan dalam bentuk UU yang memiliki keuatan hukum yang kuat. Nilai-nilai keadilan, persaman dan kemanusiaan yang dijunjung Islam sudah semestinya menjadi acuan dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan sehingga aturan itu dapat mewujudkan ajaran Islam yang ‘rahmatan li al’alamin’ serta agar syariat Islam dapat selalu salih likulli zaman wa makan. Dari itu diperlukan ijtihad maupun pandangan baru yang selaras dengan prinsip-prinsip keadilan tersebut sampaipun pada dataran relasi gender.

Untuk menghindari terjadinya nusyuz dalam suami maupun istri, keduanya hendak memupuk keluarga yang sakinah dimana rasa sakinah atau ketentraman dalam rumah tangga yang dirasakan suami dari istri akan terlahir dari mawaddah; rasa cinta kasih yang terlahir dari sifat lahiriyah, dan dari rahmah; kasih sayang yang bersifat batiniyah dari sang suami. Hal ini yang menjadikan pernikahan melahirkan rumah tangga yang harmonis walau uban memutih.

Sebagaimana dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbad yang dikutip Imam Qurthubi dalam tafsirnya,

عن ابن عباس قال : المودة حب الرجل امرأته ، والرحمة رحمته إياها أن يصيبها بسوء

 “Mawaddah adalah rasa cinta kasih seorang laki-laki untuk perempuannya, sementara rahmah adalah kasih sayang yang hanya diperuntukkan bagi perempuannya dalam kondisi sepait apapun.”

Peran suami dalam rumah tangga meliputi banyak hal, diantaranya peran sebagai seorang pemimpin. Pemimpin dalam rumah tangga tidak sama halnya memimpin organisasi atau lembaga, pemimpin dalam rumah tangga memiliki ikatan batin antara pemimpin dengan anggota yang dipimpinnya. Istri yang merupakan sayap kiri bagi suami, anak-anak yang merupakan darah daging dari pemimpin itu sendiri. Hak kepemimpinan ini bersifat otomatis, setelah terjadi pernikahan suami dengan sendirinya menduduki posisi sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Suami berperan sebagai pemimpin yang akan menjaga, mendidik, menyayangi anak dan istrinya dunia dan dan akhirat agar kelak menjadi penghuni surga.

Disamping peran sebagai pemimpin suami juga berkewajiban memenuhi nafkah dalam rumah tangga terhadap istri berupa nafkah lahir dan batin serta memenuhi segala kebutuhan anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya.

Demikian Islam mengatur kehidupan manusia, ada maqasid syari’ah disetiap ketentuan. Ada hikmah disetiap kejadian, ada pelajaran setelah ujian. Dan setiap aturan yang ada dalam Hukum Islam bukan untuk mempersulit umat Islam melainkan untuk menjaga diri dari tindakan-tindakan yang akan menjerumuskan ke dalam lembah kenistaan.

*Mahasantri Darul Falah Besongo Semarang