Be-songo.or.id

KH. Zubair Umar Al-Jailani: Kiai Tawadhu’ yang Masyhur Sampai ke Timur Tengah

Potret KH. Zubair Umar Al-Jailani

KH. Zubair Umar Al Jailani merupakan ulama karismatik Indonesia mashur dalam bidang ilmu falak dan astronomi. Kyai Zubair merupakan ulama yang lahir di Padangan Kabupaten Bojonegoro. Tepatnya, 16 September 1908 M bertepatan 20 Sya’ban 1326 H (Fahmi Ali, 2015). Kiai Zubair Umar merupakan ulama intelektual Nahdlatul Ulama yang pernah menjabat sebagai rektor IAIN Walisongo (sekarang UIN Walisongo) serta bagian dari Syuriah PBNU pada saat Rais Aam PBNU dijabat oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah.

Tak hanya ahli dalam bidang falak, Kiai Zubair Umar juga menguasai persoalan fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadis dan ilmu alat. Kiai Zubair Umar dikenal sebagai pribadi yang berbudi pekerti luhur yang menjadi teladan oleh keluarga, murid dan masyarakat, “Beliau dikenal dengan sifatnya yang sangat tawadhu, sangat menghormati dan menghargai siapa saja, tak terkecuali santrinya sendiri dan saya sangat merasakan hal itu.” Ujar Slamet Hambali selaku santri Kiai Zubair.

Perjalanan Pendidikan Kiai Zubair Umar

Sejak usia 8 tahun, K.H. Zubair Umar Al-Jailani mengawali pendidikannya di Sekolah Diniyah Madrasatul Ulum  pada 1916 sampai 1921. Kemudian, beliau melanjutkannya ke banyak Pondok di Indonesia, dimulai dari Pondok Pesantren Tremas, Pacitan dan Pondok Pesantren Simbangkulon yang diasuh oleh Kiai Amir Idris (w. 1938) pada 1925-1926. Pada 1926 hingga 1929, Kiai Zubair Umar Al-Jailani nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang dan berguru kepada Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari serta ilmu favorit beliau berupa ilmu falak. (Coolis Noer, 2017).

Selesai mondok di beberapa pesantren di tanah air, Kiai Zubair melanjutkan studinya ke luar negeri. Diawali dengan Kiai Abd. Fatah yang menjabat sebagai Kepala Desa Reksosari, Salatiga, memohon kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk memberikan salah satu muridnya. KH. Hasyim Asy’ari menyetujui permintaan itu, tetapi syaratnya Kyai Zubair harus menimba ilmu kembali. Setelah  sepakat, Zubair diserahkan kepada Kiai Abdul Fattah dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Zainab. Sesudah itu, Kiai Abd. Fatah memberangkatkan Zubair ke tanah suci Mekah untuk haji dan menimba ilmu bersama istrinya. Sebab kealimannya dalam bidang ilmu falak, beliau ditunjuk sebagai pengajar ilmu falak di Al-Azhar, Kairo pada 1931-1935. Pada tahun 1935, Kiai Zubair menyudahi pendidikannya dan pulang ke Indonesia. Kiai Zubair menetap di desa Reksosari, tempat tinggal bersama istrinya, Nyai Zainab.

Buah Pemikirannya

Kiai Zubair menuliskan beberapa gagasannya dalam bentuk kitab klasik bernama Al-Khulashotul Wafiyah yang diterbitkan pada tahun 1937. Kitab karya Mbah Zubair ini dijadikan pedoman dalam ilmu falak oleh banyak ulama serta para astronom yang bertempat di Indonesia serta Tanah Arab dalam mengetahui penentuan perhitungan awal serta akhir dari beberapa bulan hijriah seperti Ramadhan dan Syawal. Kitab karya Mbah Zubair, diterima menjadi kitab rujukan yang sangat lengkap, simpel namun detail dibanding beberapa kitab falak contohnya Matlaus Said, Durrul Matslub dan Tashiilul Mitsasaal.

Sebab menggunakan epoch (mabda’ atau ringkas) Mekkah maka kitab ini tentu masyhur dan para ulama Tanah Arab pun ikut menggunakannya. Sedangkan di Tanah Air, banyak pondok pesantren dan universitas yang mengkaji serta menyediakan jurusan ilmu falak dan dijadikan sebagai kitab rujukan yang terkenal hingga saat ini (Coolis Noer, 2017).

Kiprah Bagi Masyarakat

Kepulangan beliau setelah melanglang buana mencari ilmu baik nyantri di pondok di tanah air maupun Timur Tengah disambut baik oleh masyarakat sekitar. Tugas-tugas keilmuan dan kemasyarakatan yang pernah beliau emban antara lain sebagai hakim pada tahun 1945-1947 dan 1947-1951 yang bertempat di Pengadilan Negeri Salatiga serta hakim Kabupaten Semarang di Salatiga, Pemimpin KUA Karesidenan Pati (1954-1956), Kepala Mahkamah Islam Tinggi bertempat di Surakarta (1962-1970).

KH. Zubair Umar Al-Jailani beberapa kali ditunjuk menjadi bagian penting organisasi yang ada saat itu seperti kepala Nahdlatul Ulama Semarang pada 1945, kepala Masyumi Salatiga dan Semarang 1946, pemimpin Kiai-Barisan Sabilillah kabupaten Semarang saat masa revolusi kemerdekaan dari penjajahan Belanda, Rais Syuriah Partai NU cabang Kabupaten Semarang dan Salatiga tahun 1952-1956, Rais Syuriah NU provinsi Jawa Tengah (1956-1970), serta anggota Syuriah PBNU yang dipimpin oleh KH. Abd. Wahab Hasbullah (1967-1971).

Pendiri Berbagai Institusi dan Rektor IAIN Walisongo

Berawal dari Kampus IAIN Salatiga yang merupakan bagian dari IKIP NU atau Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Nahdlatul Ulama yang bertempat pada bangunan kuliah dari Yayasan Pesantren Luhur. IKIP NU hanya dalam waktu setahun langsung bertransformasi melahirkan Fakultas baru berupa Tarbiyah IAIN Walisongo, kemudian bertransformasi kembali menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. KH. Zubair Umar Al-Jailani pada waktu itu ditunjuk sebagai dosen hingga naik menjadi rektor IAIN Walisongo (kini UIN Walisongo) dimulai dari tahun 1970 sampai 1972. Pada masa jabatannya itu, beliau mencetuskan program studi baru ilmu falak yang selaras dengan bidang keilmuannya.

Selain itu, masih terdapat lembaga yang muncul berkat pemikirannya serta masih eksis sampai sekarang contohnya SD dan SMP Al Azhar Salatiga yang merupakan institusi di bawah naungan Yayasan Pesantren Luhur, MTs NU serta SMK Diponegoro yang berada di bawah Yayasan Imarotul Masajid wal Madaris serta Pendidikan Guru Agama yang berganti nama menjadi MAN Salatiga. Selain lembaga di atas, terdapat Pondok Pesantren Joko Tingkir Salatiga yang sekarang tinggal petilasannya saja.

Wafat dan Karomah Kiai Zubair Umar Al Jailani

Wafatnya KH. Zubair Umar Al Jailani terjadi pada hari Senin, (10/12/1990 M) atau 24 Jumadiil Awwal 1411 H pada usia ke 82 tahun. Makam beliau berada di tempat pemakaman masjid Al Atiq Kauman Salatiga. Pada tahun ke delapan setelah beliau wafat, terjadi banjir besar yang menerjang merusak area pemakaman KH. Zubair Umar Al-Jailani. Kejadian itu berdampak pada kerusakan makam yang cukup parah hingga nampak jasad beliau. Setelah itu, makamnya direnovasi dan terlihat bahwa kafan serta jasadnya masih utuh dan bersih seperti pada awal pemakamannya, sedangkan papan makam disekitar makamnya telah rusak. Setelahnya, jenazah Kiai Zubair dimakamkan dengan tidak dimandikan kembali. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu.

 

Maulana Misbahul Fuadi, Mahasantri Besongo angkatan 2019 dan mahasiwa jurusan Metematika Murni (tulisan disarikan dari berbagai sumber)

REKOMENDASI >