besongo.or.id – Bagi para santri mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah kitab kuning. Kitab atau buku yang ditulis oleh ulama’ salaf terdahulu dengan menggunakan bahasa arab tanpa harakat dan berisi tentang kajian khazanah keislaman. Berupa gramatika bahasa, kaidah, furu’iyyah, maupun sejarah. Dan umumnya menggunakan kertas berwarna kuning, sehingga laqob -julukan- “kitab kuning” melekat kepada kitab-kitab yang disebut kitab “Turots” oleh sebagian ulama’ tersebut.
Dalam perkembangan zaman, kitab kuning tidak lagi dicetak dengan menggunakan kertas berwarna kuning, namun juga menggunakan kertas berwarna lain seperti putih misalnya dengan tujuan agar lebih mudah dibaca. Namun, walaupun demikian eksistensi turots-turots ulama’ tersebut tetap populer dengan istilah kitab kuning. Hal ini menunjukkan, bahwa khazanah turots begitu melekat dengan muslim Nusantara, khususnya kalangan muslim konservatif yang pernah belajar kepada para kiai atau ulama’ dari kalangan pesantren.
Dalam mengkaji kitab kuning, ada dua metode yang dilakukan. Yakni dengan sistem sorogan dan bandongan. Sistem sorogan yakni, santri membaca dan menjelaskan isi kitab di depan kiai atau guru untuk kemudian disimak. Sedangkan bandongan yakni, sang guru membaca untuk kemudian kemudian menjelaskan isi dari kitab yang dibacanya. Pengajian kitab kuning biasanya tidak hanya diikuti oleh para santri yang bermukim di pesantren, namun juga oleh para masyarakat di sekitar pesantren bahkan masyarakat yang berada jauh dari pesantren. Oleh karena itu, khazanah tradisi kitab kuning ini begitu kental di kalangan masyarakat muslim di seluruh Nusantara.
Khazanah kitab kuning atau turots ini begitu luas. Kajian yang disajikan sangat beragam, ada ilmu mengenai pembahasan Ulumul Qur’an, Tajwid, Tafsir, Mushtholah, Fiqh, Ushul Fiqh, Tarikh, dll. Sajian yang diberikan pun sangat menarik, bukan hanya materinya yang disajikan, namun juga sering kali ulama’ memberikan selipan-selipan sastra bahasa yang sangat unik dan sarat makna, atau istilahnya terdapat kajian interdisipliner di dalamnya. Contohnya saja dalam Kitab Alfiyyah ibn Malik yang ditulis oleh Imam Muhammad ibn Malik Al-Andalusy yang pada dasarnya menjelaskan kajian mengenai gramatikal bahasa Arab, namun memiliki makna yang mendalam:
وَكُـلُّ مُضْمَرٍ لَـهُ الْبِنَا يَجِبْ ¤ وَلَفْظُ مَا جُرَّ كَلَفْظِ مَا نُصِبْ
لِلرَّفْعِ وَالْنَّصْبِ وَجَرَ نا صَلَحْ ¤ كَاعْـرِفْ بِنَا فَـإِنَّنَا نِلْـنَا الْمِـنَحْ
Bait di atas pada makna harfiyyah-nya menjelaskan mengenai ke-mabni-an dlomir “na” dalam kaidah gramatika arab. Namun bait tersebut juga memiliki makna yang tersirat. Yakni, mengenai prinsip dalam hidup, “Setiap orang itu harus memiliki karakter yang kuat, harus dinamis, harus memiliki prinsip atau karakter yang kuat seperti dlomir “na” memilki keteguhan yang luar biasa, tidak tumbang tertiup angin atau hanyut tertelan air, niscaya ia adalah orang yang benar-benar menemukan anugerah”. Karena itu, kitab kuning atau turots ini menjadi salah satu rujukan bagi para ulama’, bukan hanya di Nusantara, bahkan di dunia.
Relevansi dan Referensi
Selanjutnya di masa kini, relevansi kitab kuning mulai dipertanyakan. Kitab yang ditulis oleh para ulama’ dan cendekiawan muslim di masa lalu ini dirasa perlu dikritisi isinya, mengenai keterkaitannya dengan konteks zaman. Kitab-kitab tersebut dinilai merupakan sebuah produk hasil berpikir ulama atau pemikir muslim mutaqaddimin yang disesuaikan dengan konteks keadaan di masa lalu disesuaikan dengan sosio-grafisnya.
Di sini kita harus mampu memahami, bahwa turots ini kebanyakan adalah kajian mengenai standar baku atau prinsip, meski tidak menyeluruh. Dalam hal prinsip, kita harus taqlid, tentunya dengan kriteria tertentu supaya tidak menjadi taqlid buta. Mau tidak mau, ini harus kita pakai sebagai sebuah metodologi. Contohnya kitab-kitab ushul, qawa’id, mustholah, dsb. Sedangkan masalah furu’iyyah, ini bisa kita kritisi atas relevansinya dengan zaman, tentunya dengan aturan tertentu seperti penggunaan qiyas maupun ilhaq dalam pengembangannya sebagai titik temu. Kita bisa menemukannya pada kitab-kitab kontemporer yang ditulis oleh ulama’ kontemporer seperti Syaikh Sa’id Romadlan Al-Buth’I dan Syaikh Yusuf Al-Qardlawi, mereka merujuk pada turots-turots yang ada dalam menulis karya-karyanya.
Kita harus mampu mengembangkan metodologi dalam mengembangkan masalah-masalah furu’iyyah dalam menghadapi zaman, tentunya kita harus merujuk kembali kepada al-Qur’an, Hadits, serta kutub at-turots. Karena turots-turots ini dihasilkan oleh pemikiran yang intensif, ijtihad, serta observasi yang sangat mendalam oleh para ulama terdahulu yang memiliki kapasitas keilmuan yang luar biasa. Kita patutnya mencontoh dan mengapresiasi para salafussalihin serta ulama-ulama terdahulu yang telah berjasa dalam memberikan pengetahuan kepada kita, lahum al-fatihah.
wallahu a’lam bisshawab
Ulis Syifa’ Muhammadun, Mahasantri Darul Falah Besongo juga Mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir