SEMARANG- Senin (14/12), Pondok Pesantren Darul Falah Be-Songo mengadakan kegiatan halaqah yang bertemakan “Kongsi dalam Istilah Malaysia” . Halaqah yang diselenggarakan secara mendadak ini mendatangkan sepasang suami istri berasal dari Negeri Jiran sekaligus sebagai narasumber, yaitu Bapak Zainudin Hasan dan Ibu Hj. Maryam Ahmad Shah bin Abdul Jabbar. Aula Asrama B-9 menjadi tempat berlangsungnya kegiatan yang dimulai ba’da Isya’. Dengan diikuti oleh seluruh santriwan dan santriwati PP. Darul Falah Be-Songo.
“Sebuah kehormatan bagi kami, dengan hadirnya Bpk Zainudin danIbu Maryam ditengah-tengah kami. Diharapkan nantinya dapat memberi motivasi bagaimana agar menjadi orang yang lebih baik, menjadi mahasiswa yang berprestasi, dan juga menjadi anak yang shaleh dan shalehah”, ungkap pengasuh PP. Darul Falah Be-songo, Abah Imam Taufiq, dalam sambutan singkatnya sekaligus membuka acara.
Hj. Maryam Ahmad Shah, mengawali pembicaraan dengan menceritakan biografi beliau. Nama lengkap beliau adalah Maryam Robi’ah Poni, lahir pada hari Rabu Pon, beliau merupakan anak yang paling korek-korek (bahasa Malaysia yang artinya anak bungsu) dari 18 bersaudara. Ibu Hj. Maryam telah menjadi seorang anak yatim sejak umur 3 tahun. Namun, semangat beliau dalam mendapatkan ilmu tidaklah surut meski bisa disebut keadaan perekonomian beliau cukup sulit. Beliau menggunakan segala cara agar bisa mendapatkan ilmu dan belajar pelajaran yang menurut beliau adalah sulit. Dan sekarang, Ibu Maryam, biasa dipanggil, sudah menjadi Cik Gu (guru) selama 22 tahun.
Para audience mendengarkan dengan seksama cerita dari Ibu Maryam dengan sesekali tertawa dan terlihat bingung dengan bahasa dan logat Malaysia yang tidak mereka mengerti.
“Pada malam ini saya nak cakap mengenai “Sedikit boleh jadi banyak”, ucap beliau dengan bahasa Melayu. Ibu Maryam, memaparkan dengan gamblang tentang apa yang dimaksud dengan “sedikit boleh jadi banyak”,
Beliau memberikan contoh, bila kita memberi sesuatu kepada orang lain walaupun sedikit, namun dengan sedikit tersebut akan memberi manfaat yang banyak kepada kita.
Berawal dari pengalaman waktu kecil, tambahnya, dosen Universitas Teknologi Malaysia ini bukan berasal dari keluarga kaya. Bahkan sejak umur 3 tahun ayahnya sudah meninggal dunia. Ibunya adalah seorang pengambil getah karet dan penjual kue. Kue-kue tersebut-lah yang menjadi bekal beliau ketika sekolah sehingga uang saku yang diberikan oleh ibunya bisa untuk ditabung. Ibu Maryam sering kali membagikan kepada teman-teman beliau, bukan imbalan yang diharapkan namun itu salah satu cara beliau untuk belajar pelajaran yang pada dirinya masih dirasa kurang pandai.
“Setiap hari saya nak bagi-bagi tu kue pada teman-teman saya ketika ada pelajaran yang saya rasa masih kurang menguasai. Saya dekati teman yang bisa pada bidang tu. Kemudian sebagai imbalannya, saya kasih kue”, ungkap beliau dengan antusiasnya.
Panjang lebar beliau bercerita tentang kisah kehidupannya walaupun sesekali Ibu Maryam kesusahan dalam menyampaikannya dalam bahasa Indonesia sehingga harus mencampur dengan bahasa Malaysia, Inggris, dan Indonesia.
“Apapun yang kita lakukan, yang terpenting adalah kita harus selalu mengutamakan Allah lebih dari yang lain. Selalu berterima kasih pada Allah untuk hal-hal sekecil apapun yang terjadi pada diri kita”, tambah beliau ketika mengakhiri pembicaraan.
Disimpulkan oleh Umi Hj. Arikhah, bahwa pada intinya pelajaran yang dapat diambil dari pemaparan Ibu Maryam adalah, pertama jika kita memberi sesuatu kepada orang lain jangan pernah berharap imbalannya, kedua selalu bersyukur kepada Allah, dengan kata-kata yang dapat kita pahami, ketiga berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersusah payahlah dahulu sehingga kamu akan mendapat suatu kenikmatan di hari kemudian. Hal tersebut menggambarkan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Jika ada kelebihan pada diri kita, pasti ada kekurangan pada orang lain. Begitupun sebaliknya.
(Oleh: Ira)