Be-songo.or.id

Konsep Bersyukur ala Gus Baha

Setiap manusia tidak akan pernah lepas dari yang namanya rasa kekurangan. Munculnya rasa kekurangan ini biasanya berasal dari sesuatu kenyataan kurang puas terhadap pencapaian duniawi yang berlebihan atau ambisi kekayaan yang terlalu muluk-muluk yang membuat manusia selalu memandang jauh ke atas dengan nafsunya sehingga lupa memandang jauh ke bawah menggunakan hati nurani dan akalnya, dapat diartikan manusia itu sendiri selalu memandang ke atas dengan nafsunya, selalu ingin menjadi yang terdepan dengan cara terus menambah kekayaan dan membanding-bandingkan kekayaannya dengan orang lain. Sehingga manusia itu sering kali tidak bersyukur atas nikmat yang telah Allah SWT berikan. Masih sedikit orang-orang yang mau memandang ke bawah dengan membuka hati nurani dan perasaannya untuk melihat bahwa masih banyak orang-orang yang nasibnya masih jauh dari persentase berkecukupan, maupun beruntung, namun mereka masih mau bersyukur kepada Allah SWT.

Oleh sebab itu, kita sebagai manusia yang berbudi luhur tentunya tidak boleh membiarkan nafsu duniawi ini menguasai maupun mengendalikan dzahir dan batin kita, sehingga perlu suatu upaya untuk menjauhkan dan menghilangkan hasrat duniawi agar dapat terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan.

Bersyukur pintu pembuka kesadaran

Dikutip dari salah satu  pengajian rutinan dari Gus Baha, beliau memberikan  tips-tips “Bagaimana cara bersyukur dengan mudah?”, dalam muqaddimahnya beliau menerangkan hikmah pertama yang diajarkan oleh Lukman Hakim:

Bersyukurlah pada Allah atas hikmah yang sudah Allah anugrahkan kepadamu”

Jadi, hikmah pertama sebagai orang yang hidup adalah bersyukur, bersyukur merupakan wujud i’tikad ketaatan kita serta pengakuan bahwa kita memiliki tuhan yang sudah mengatur semua nasib kita dan jangan pernah sekali-kali bersyukur selain kepada Allah SWT.

Dilanjutkan dalam keterangannya, Gus Baha memaparkan wirid hikmah milik Sayyidina Ali bin abi thalib yang nantinya wirid hikmah tersebut tidak akan terkalahkan oleh kalimah hikmah manapun yang pernah dibuat oleh golongan manusia lain. Yakni  berbunyi

  كَفَانِيْ عِزًّا اَنْ تَكُوْنَ لِيْ رَبًّا وَكَفَانِيْ فَخْرًا اَنْ اَكُوْنَ لَكَ عَبْدًا ياَرَبِّ 

“YA Allah, Saya ini sudah sangat merasa terhormat karena sudah memiliki Tuhan Engkau, dan saya sangat bangga sekali menjadi hamba-Mu” Uraian dari wirid tersebut adalah sebuah perasaan terhormat dari sayyidina Ali kepada Allah SWT karena sudah menjadikan Allah sebagai tuhan-Nya dengan berbagai keagungan serta sebagai pemilik Al-Asma’u al-husna, dan Sayyidina Ali sangat bangga sekali menjadi hamba dari Allah SWT. Betapa nistanya ketika manusia menjadi hamba dari golongan manusia itu sendiri seperti kisah para hamba Firaun dan Namrud yang sama-sama manusia, betapa hinanya ketika manusia menjadi hamba dari manusia bahkan hamba dari Nabi Isa sekalipun.

Kekurangan harta menjadi cara mudah untuk bersyukur

Setiap manusia membutuhkan pertolongan Allah SWT agar terselamatkan dari problematika harta duniawi yang ada. Perbandingannya, ketika manusia mempunyai harta maka manusia memiliki kewajiban untuk mengelola harta tersebut dengan baik dan memperjuangkan harta tersebut. Namun, ketika manusia tidak memiliki harta duniawi maka tidak perlu berjuang untuk mengelola harta dengan baik.

Oleh karena itu, Sufyan Al-Tsauri pernah berkata cara bersyukur paling mudah yakni;

”Ketika harta dunia dialihkan dari kamu (kamu tidak memiliki harta maupun wanita) sebenarnya ini meringankan ujian anda.”

Seperti contoh ketika kautsar dan iron tidak pernah merasa tersiksa karena tidak pernah makan spaghetti, mereka tidak tahu bahwa ada cafe baru yang menyediakan spaghetti, tapi bagi orang yang terbiasa makan spaghetti kemudian melihat cafe baru menyediakan spaghetti yang sudah diinovasi, seketika spontan mereka berpikir “ bagaimana yaaa rasa spaghetti terbaru itu? ”. Ini menjadi pemberat  karena ada rasa menghantui di pikiran kita yang kemungkinan dapat menjadikan hawa nafsu kita sulit untuk dikontrol karena adanya rasa ingin makan spaghetti yang berujung harus mengeluarkan uang banyak hanya untuk spaghetti. Sama halnya  ketika iron bukan presiden, maka iron tak perlu bersusah payah, berpikir dengan keras, merepotkan diri sendiri untuk mempertahankan status presiden, atau mungkin iron tidak perlu repot-repot mempertahankan status menjadi ketua DPR, tidak perlu bermanuver mondar mandir, kesana-kesini karena iron bukan ketua DPR.

Dilanjutkan dengan keterangan Gus Baha,

بَلِ اللّٰهَ فَاعْبُدُوَكُنْ مِّنَ الشّٰكِرِيْنَ

“bahwa ketika sudah berani menyembah Allah SWT berarti harus berani bersyukur”

Rasa syukur itu bisa diterapkan terhadap hal-hal besar maupun kecil, termasuk juga dengan mudah rileks 

وَيَبْكُوْنَ سِرًّا مِنْ خَوْفِ عَذَابِهِ” اِنَّ مِنْ خِيَارِ اُمَّتِيْ قَوْمًا يَضْحَكُوْنَ جَهْرًا مِنٔ سَعَةِ رَحْمَةِ اللّٰهِ

 “Termasuk umat pilihan ku adalah mereka yang tertawa keras karena yakin akan luasnya rahmat rahmat Allah SWT, tapi ketika sendirian (menangis dalam kesendirian) sering menangis karena khawatir masuk neraka”.

Bagi ulama terdahulu menghadapi dunia itu dengan begitu mudahnya. Seperti kisah Nabi ketika baru saja pulang dari perjalanan lalu bertanya pada Sayyidah Aisyah. “Wahai Aisyah, dimana bubur haritsah yang engkau siapkan untukku,? aku ingin makan”/”Sayang sekali ya rasulallah, bubur itu sudah habis, sudah saya berikan ke orang”/”Tidak, yang kamu kasihkan ke orang itulah justru yang masih ada”. Jadi dulu nabi ketika ingin memahamkan orang agar senang dengan sedekah itu beliau berkata

Misalnya kita memiliki uang 1 juta, kemudian kita belanjakan untuk foya-foya, makan-makan tidak penting, itu akan hilang menjadi kotoran. Yang masih utuh adalah apa yang disedekahkan untuk fakir miskin, santri, masjid dll. Nabi pernah berkata

وَهَلْ لَكَ مِنْ مَالِكَ اِلَّا مَا تَصَدَّقْتَ فَاَبْقَيْتَ وَلَبِسْتَ فَاَبْلَيْتَ وَاَكَلْتَ فَاَفْنَيْتَ

“Kamu dengan harta kamu hubungannya adalah apa yang kamu sedekahkan, itu yang kamu abadikan,”

Seandainya kita memiliki uang 1 juta lalu kita sedekahkan 200 ribu, maka itulah yang abadi. Itu yang menjadikan dulu para sahabat mudah untuk bersedekah, karena  merasa itulah yang abadi. Hal itu juga yang menjadikan Nabi ibrahim ketika makan mengajak anak-anak yatim piatu dan orang fakir miskin, karena nabi ibrahim merasa takut kelak makanannya hanya akan menjadi kotoran, tapi dengan adanya beramal maka akan ada yang menjadi abadi.

ماَعِنْدَكُمْ يَنْفَذُوَمَاعِنْدَاللّٰهِ باَقٍ

“Apa yang ada padamu pasti akan hilang, tapi apa yang menuju Allah pasti akan abadi”

Seperti halnya ketika kita menggunakan waktu untuk rebahan/leha-leha maka waktu itu akan hilang, tapi waktu yang digunakan untuk mengaji kitab tafsir jalalain (misalnya) itu menjadikan waktu yang abadi.

Oleh: Ilham Mubarok (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)

REKOMENDASI >