Berita

PSB

Kontroversi Metodologi Rukyat dan Hisab

Hisab

Hisab secara harfiah perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).

Dalam Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.

Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.

Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.

Rukyat

Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal

Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.

Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.

Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan “cahaya langit” sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.

Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.

Jadi saat ini, rukyat dan hisab bisa disetarakan, bisa saling mengisi, melengkapi. Perbedaan seperti itu sudah bisa diselesaikan. Masalah dalil bukan lagi perdebatan, silakan orang mempercayai dalil-dalil rukyat melaksanakan rukyat mereka. Demikian juga orang mempercayai hisab, menggunakan dalil-dalinya untuk memperkuat hisabnya. Tetapi kalau kedua pihak menggunakan kriteria sama, maka insya Allah hasilnya akan sama. Artinya, kalangan yang biasa merukyat itu tidak semata-mata mendasarkan pada rukyat murni, karena bisa saja kemungkinan gangguan sangat banyak dan untuk salah dan keliru bisa saja terjadi. Jadi rukyat tetap dipandu dengan hisab akurat dan mengikuti kriteria-kriteria yang memungkinkan untuk dirukyat. Kriteria itu sebenarnya disusun dari data-data rukyat jangka panjang, kemudian dikompilasikan untuk dijadikan kriteria menentukan apakah suatu hilal itu bisa diamati atau tidak.

Nah, hisab juga tidak boleh hisab murni. Tidak boleh lepas dari kaidah-kaidah rukyat karena pada dasarnya dalil-dalinya mendasarkan pada dalil-dalil rukyat. Memang secara astronomi, kondisi segarisnya bulan dan matahari sudah dianggap bulan baru. Dalam ilmu falak disebut ijtimak. Tetapi secara syar’i, itu tidak bisa dijadikan dasar awal bulan. Secara syar’i, Rasulullah mengajarkan dengan perintah rukyat, ada batas waktu tertentu untuk terjadinya rukyat, yakni saat magrib. Dalam Islam awal hari itu dimulai saat magrib. Saat itulah orang melakukan rukyat dan dalam budaya Arab dan Indonesia, penamaan hari dimulai saat magrib. Jadi istilah malam Jumat, malam Sabtu, itu sebenarnya dari konsep awal hari dimulai dari magrib.

Yang dulu memperdebatkan hisab dan rukyat tidak relevan lagi, sudah seharusnya mengarah pada pemahaman sama bahwa hisab dan rukyat bisa setara. Tapi dalam kenyataannya, hisab maupun rukyat itu belum ada kesepakatan. Masing-masing mempunyai interpretasi sendiri berdasarkan pemahaman masing-masing. Di Indonesia kondisi masyarakatnya diwarnai adanya ormas-ormas Islam. Pemahaman terkait pemaknaan hisab rukyat dan kriteria-kriteria itu kemudian memberi warna pada ormas-ormas itu. Ormas-ormas ini berbeda dari segi metodenya dan berbeda dari segi kriteria. Perbedaan metode, rukyat dan hisab, saat ini sebenarnya bisa dipersatukan kalau kedua pihak mau menggunakan hisab dengan kriteria visibilitas hilal atau kemungkinan bisa dirukyat dan itu sudah dijajaki dan difasilitasi Kementerian Agama untuk mencapai kesepakatan itu. (Iim/WebDafa)