Dalam kitab Asrar As-Shaum karya Imam Al-Ghazali menjelaskan tiga tingkatan puasa. Pertama, puasa orang-orang awam.
“Puasa umum itu puasanya orang awam atau manusia yang masih banyak dosa, manusia yang belum bisa mengontrol diri. Menahan diri dari makan, minum dan syahwat,” tutur Ustadzah Dina Arvi Arina.
Hal itu disampaikan dalam Pengajian Subuh di Masjid Roudlotul Jannah yang dihelat oleh Pondok Pesantren Darul Falah Besongo, Kota Semarang, Sabtu (25/03/2023).
Lanjut beliau, yang kedua adalah puasa khusus. Menahan diri dalam hal pendengaran, penglihatan, lisan, tangan dan kaki atau anggota badan yang lain dari kesalahan maupun dosa.
“Puasa khusus itu puasanya orang yang sholih,” ucapnya.
Disampaikan, menjaga diri anggota badan dari dosa terdapat enam perkara. Pertama, puasa penglihatan atau pandangan. Menjaga dari pengluasan pandangan atau sesuatu yang dimakruhkan oleh syariat. Ada salah satu hadist nabi menjelaskan, penglihatan itu bagaikan panah yang diracun bagaikan panah-panah iblis.
Kedua, puasa lisan. Menjaga diri dari lisan, bukan hanya untuk berdzikir, membaca shalawat, beristighfar, tetapi menjaga diri dari sesuatu yang menyakiti orang lain, seperti ghibah, namimah dan hasud.
Ketiga, menjaga pendengaran dari pendengaran yang dimakruhkan. Keempat, puasa anggota badan. Kelima, tidak memperbanyak makan. Keenam, harus seimbang antara khawatir kepada Allah dan harapan.
Dijelaskan, adapun tingkatan puasa yang ketiga adalah puasa khususil khusus. Puasa ini adalah puasa hati dari memikirkan hal-hal duniawi atau menjaga diri dari memikirkan selain Allah SWT.
Kemudian, beliau mengutip salah satu hadist nabi yang menjelaskan, ada lima perkara yang mampu membatalkan orang yang berpuasa.
“Bukan secara dhohir puasanya, tetapi batin. Ibaratnya pahalanya tidak ada. Lima perkara tersebut yakni, bohong, ghibah, adu domba, sumpah yang bohong dan penglihatan disertai syahwat,” pungkasnya.
Oleh: Lailatul Farocha (Santriwati Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswi UIN Walisongo Semarang)