Disampaikan oleh KH. Ubaidillah Shodaqah
Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia berdiri suatu organisasi besar, yaitu Nahdlotul Ulama artinya gerakan ulama. Gerakan ini didirikan oleh hadrotus syaikh Hasyim Asy’ari. Sebutan ulama di Indonesia dikenal dengan istilah kiai. Jabatan kiai ini biasanya digunakan sebagai sebutan pemimpin masyarakat terutama di pondok pesantren.
Terdapat perbedaan antara ulama Indonesia dengan ulama di Timur Tengah. Ulama Timur Tengah tentu mempunyai ta’liman dan banyak karangan kitabnya. Sedangkan ulama Indonesia lebih sedikit mengarang kitab. Tradisi menulis ini hanya dimiliki oleh kiai yang keilmuannya sangat tinggi. Kendati demikian, meskipun yang dipelajari hanyalah kitab fathul qarib, tidak sampai kitab-kitab besar tetapi jika ditanamkan dan diamalkan, maka Allah akan menambahkan ilmu yang belum diketahui meskipun tidak diajarkan oleh guru. Sebagaimana pernyataan Allah “Man ‘amila bi maa ‘alima ‘allamahullahu ‘ilman ma lam ya’lam”
Di samping itu QS. Al-Mujaadilah:11 “Yarfa’illahu al-ladziina aamanu minkum wa al-ladziina uut al-ilma darajaat (Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu (agama) beberapa derajat)” tidak bisa lepas dari QS. Fathir:28 “Innamaa yakhsyallah min ‘ibaadihil ‘ulama (Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah ulama)”. Sebab keilmuan yang dimiliki para kiai ekuivalen dengan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Dengan bertaqwa dan meninggalkan larangan Allah, peran dakwah kiai akan mendapat simpati dari masyarakat. Banyaknya simpati tersebut juga karena kiai mengaplikasikan akhlak Rasulullah SWT sejak lahir. Orang yang demikian ini akan terus dituntun oleh Allah SWT, terlebih kiai-kiai yang mutasawwifin atau sufi sebagaimana janji Allah “‘allamahullahu ‘ilman ma lam ya’lam”.
Hati dan akal adalah media yang diberikan Allah dalam menuntun hamba-Nya. Allah SWT menciptakan manusia yang tangguh disertai dengan hati dan akal sehingga mampu menerima hidayah. Ketika seseorang dapat menemukan hikmah dari segala yang dihadapi, insyallah dia akan menjadi orang yang baik. Untuk itu, kiai disebut sebagai makhluk Allah yang memanusiakan manusia. Tanpa memiliki landasan filosofi, maka seseorang tidak akan menjadi kiai yang sesungguhnya tetapi menjadi seorang dukun yang ditakuti masyarakat sebab pangkat dan doa-doa yang mujarab.
Adapun dalil dakwah dengan tidak menggunakan kekerasan tercantum dalam QS. An Nahl: 125 “Ud’u ilaa sabiili rabbika bi al-hikmah wa al-mau’idhoh al-hasanah wa jaadilhum bi al-latii hiya ahsan (Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik)”. Ayat tersebut menunjukkan ada tiga tahap berdakwah yang harus dilakukandengan tidak boleh sewenang-wenang tanpa melihat situasi dan kondisi masyarakat:
- Bi al-l hikmah, tanpa koar-koar
- Bi al-mau’idhoh al-hasanah, dengan memberi pitutur atau nasihat yang bagus
- Wa jaadilhum, berdebat tanpa kekerasan fisik jika ada yang menentang.
Peran dakwah kiai bisa dilihat dari bagaimana kiai mendamaikan gap masyarakat terhadap kasus menyimpang, seperti pencurian. Kiai tidak sebagaimana masyarakat yang memberi sanksi pukul atau dipenjarakan atas perbuatannya. Kiai akan menyelesaikan masalah dengan pendekatan hati dan kasih sayang, bukan dengan pukulan. Karena bisa jadi dengan dipukul, pencuri tidak mau bertaubat dari kesalahannya tapi justru akan balas dendam di kemudian hari. Dengan menerapkan kasih sayang, Insyaallah satu atau dua bulan dalam setahun si pencuri akan mengikuti langkah kiainya di lingkungan masyarakat. Inilah peran nahi munkar yang perlu diterapkan supaya dicontoh santri dan masyarakat. Hal itu pula yang menjadi kunci Walisongo yang dapat mengislamkan banyak masyarakat karena menggunakan pendekatan hati, bukan fisik.
Sebagai umat muslim, khususnya santri harus bisa melihat kiai secara utuh dan totalitas. Melihat sejarah bangsa Indonesia yang dijajah selama kurang lebih 350 tahun, berapapun muslim yang beralih ke agama kristen atau katolik, Islam justru semakin berkembang. Nyatanya di Jawa, hampir setiap kecamatan dapat dipastikan ada pesantren yang mengamalkan budaya Islam dan banyak pula kiai yang berpengaruh di tengah masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena implementasi pendekatan hati ketika berdakwah. Oleh karena itu, apabila ada daerah yang belum ada kiainya, diciptakanlah kiai untuk memimpin masyarakat muslim. Kiai yang berpengaruh tentu akan mudah menggerakkan masyarakat.
Perlu diketahui pula bahwa adanya perjanjian Hudaibiyah pada masa Nabi Muhammad SAW memudahkan Muslim untuk berdakwah keluar daerah karena disana terdapat genjatan senjata dan perdamaian antara penduduk Mekah dan Madinah. Artinya, tidak mungkin seseorang berdakwah ketika situasi dalam keadaan konflik. Alangkah baiknya rukun dahulu baru dakwah sehingga dakwah mudah diterima oleh masyarakat. Patut disyukuri agama Islam di Indonesia tergolong Islam yang sangat istimewa karena dakwahnya mudah diterima tanpa adanya kekerasan.
(Not.Ay)