Gambar : Santri putri sedang lomba membaca kitab dengan ustadz Anam. (20/4) di Madin Raudlotul Jannah
Besongo News – Ngaliyan (20/4). Pemahaman santri Darul Falah Besongo terhadap kajian kitab diujicobakan dalam perlombaan Qiro’atul Kutub, rangkaian kegiatan Akhirussanah 2019. Peserta adalah santriwan-santriwati kelas satu hingga tiga.
Lomba dilaksanakan secara terpisah. Kelas satu terlaksana pada Sabtu (20/4). Adapun kelas dua dan tiga sudah terlaksana pada pekan kemarin (14/4).
Teknis perlombaan dilakukan dengan memanggil nama peserta secara acak berdasarkan undian. Selain itu, panitia menyiapkan undian maqra’ (batas bacaan) yang harus dibaca.
Kitab yang diujikan yakni matan Fathul Qorib bagi kelas satu, syarah Fathul Qorib bagi kelas dua, serta Manba’us Sa’adah untuk kelas tiga.
Peserta yang terpanggil harus mengambil maqra’ untuk kemudian diperlihatkan di depan juri. Peserta membaca berdasarkan maqra’ yang didapat secara gandul (tanpa makna). Setelah itu, diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan menjawab pertanyaan seputar Nahwu Shorof yang diajukan dewan juri.
“Sistem lombanya berdasarkan undian acak, kitab dibaca tanpa makna gandul, lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia,” ujar Naili, peserta kelas tiga menjelaskan.
Ustadz Anam, juri peserta kelas dua memberi evaluasi terkait jalannya perlombaan yang sudah terlaksana.
“Secara keseluruhan sudah bagus. Hanya saja masih banyak ditemukan peserta yang fahmul maqru’ nya masih belepotan. Penerapan kaidah ilmu alatnya juga beberapa ada yang masih salah,” begitu komentar salah satu staf pengajar Besongo.
Beliau berharap dengan adanya ajang seperti ini, santri lebih maksimal lagi dalam belajar. Selain ngaji yang sehari-harinya menggunakan sistem bandongan, mungkin harus diberatkan lagi sistem sorogannya. Karena baca kitab memang tidak bisa sembarangan, ada teknik yang harus dikuasai.
“Membaca kitab gundul memang tidak sembarangan. Ada tiga poin penting yang harus dilakukan, yakni setiti, teliti dan ngati-ngati. Membaca kitab itu membutuhkan keberanian, kalau poin di atas tidak digunakan, maka santri tidak memiliki bekal apa-apa,” tutur dosen Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) Universitas Negeri Islam (UIN) Walisongo Semarang. (Zi/red).