Pembacaan maulid adalah suatu budaya atau rutinitas yang biasa dilakukan masyarakat Muslim di Semenanjung melayu. Pada faktanya, tradisi maulid Nabi Muhammad secara keseluruhan telah mengantarkan bangsa ini memiliki kekayaan budaya yang jauh lebih kaya jika dibandingkan dengan negara-negara yang mayoritas Islam lainnya. Pembacaan maulid ini selalu dihadirkan dalam segala macam jenis kegiatan ritus keislaman, bahkan diluar kegiatan maulid Nabi ﷺ kitab maulid ini sering dilantunkan.
Kitab maulid yang dibaca juga cukup beragam. Di Indonesia sendiri, kitab maulid yang sering dibaca adalah, Maulid al-Barjanzi yang memiliki nama asli ‘Iqdul Jauhar fî Maulidin Nabiyyil Azhar yang ditulis oleh Sayyid Zaenal Abidin Ja’far al-Barjanzi, Maulid Syaraful Anam yang ditulis oleh al-Syaikh al-Imam Syihab al-Din Ahmad bin ‘Ali al-Maliki al-Bukhari al-Andalusi al-Mursi al-Lakhmi yang masyhur dengan al-Hariri, Maulid Diba’ yang ditulis oleh Imam Wajihuddin Abdu Ar-Rahman ad-Diba’I, Maulid Simthud Durar yang ditulis oleh Habib Ali al-Habsyi dan banyak lainnya.
Di dalam kitab-kitab maulid tersebut dibacalah bait sya’ir kerinduan yang kemudian disebut sebagai “Mahallul Qiyam”, dimana saat dibacakannya semua yang hadir di majelis pembacaan langsung berdiri seperti menyambut kedatangan seseorang yang dinantikan dengan penuh rasa ta’dhim dan kehormatan. Mereka mengharapkan kehadiran sang Rasul yang mereka cintai seperti kisah para shalihin yang mencapai tingkatan mukasyafah, mereka menyaksikan kehadiran beliau pada majelis-majelis maulid seperti ini. Di antara teks syair tersebut adalah,
يَا نَبِى سَلَامْ عَلَيْكَ * يَا رَسُوْلْ سَلَامْ عَلَيْكَ * يَا حَبِيْبْ سَلَامْ عَلَيْكَ * صَلَوَاتُ اللهْ عَلَيْك
Salam sejahtera untukmu, wahai Rasul salam sejahtera untukmu Wahai Kekasih, salam sejahtera untukmu, shalawat (rahmat) Allah untukmu
اَشْرَقَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا * فَاخْتَفَتْ مِنْهُ الْبُدُوْرُ * مِثْلَ حُسْنِكْ مَا رَأَيْنَا * قَطُّ يَا وَجْهَ السُّرُوْرِ
Satu purnama telah terbit di atas kami, pudarlah jutaan purnama lain karenanya Belum pernah kulihat seperti keelokanmu, wahai wajah yang gembira
اَنْتَ شَمْسٌ اَنْتَ بَدْرٌ * اَنْتَ نُوْرٌ فَوْقَ نُوْرِ * اَنْتَ اِكْسِيْرٌ وَّغَالِى * اَنْتَ مِصْبَاحُ الصُّدُوْرِ
Kau bak mentari, kau juga laksana purnama, kau cahaya di atas cahaya Kau laksana obat segala guna (elixir) lagi mahal, kau adalah lentera hati
Tidak diketahui secara pasti, dari mana teks maupun penulis awal dari mahalul qiyam ini, namun penulis mengutip dari Historiografi Mahal al-Qiyam dalam Tradisi Maulid yang ditulis oleh Fikri Mahzumi. Tradisi ini dapat dipastikan terjadi atau ditemukan sejak zaman Taqiyuddin as-Subki, “Suatu ketika Taqi al-Din menghadiri suatu majelis khataman al-Qur’an di masjid Umayyah bersama para hakim dan pejabat di kota tersebut. Dalam kesempatan itu, ketika dibacakan kisah proses kelahiran Nabi, Taqi al-Din berdiri sebagai bentuk penghormatan dan dikuti oleh semua yang datang pada waktu itu”. Meskipun tidak ada penjelasan secara pasti tanggal kejadian dari peristiwa ini, yang jelas sejak masa itu tradisi maulid sudah tumbuh berkembang di kalangan ulama sunni.
Al-Halabi dalam Sirah-nya mengutip sejumlah ulama yang menceritakan bahwa ketika majelis Imam As-Subki dihadiri para ulama di zamannya, Imam As-Subki membaca syair pujian untuk Rasulullah SAW dengan suara lantang, “Sedikit pujian untuk Rasulullah SAW oleh tinta emas di atas mata uang dibanding goresan indah di buku-buku orang-orang mulia terkemuka bangkit saat mendengar namanya berdiri berbaris atau bersimpuh di atas lutut”. Selesai membaca syair Imam As-Subki berdiri yang kemudian diikuti oleh para ulama yang hadir.
Kalaupun dirunut, praktik ritus ini yang ditujukan untuk memberi penghormatan kepada sahib maulid sudah populer dilakukan sejak pertengahan abad 9 Hijriah. Bukti itu dapat ditemukan dari manuskrip yang tersimpan di Berlin yang menyebutkan pada masa Ibrahim ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Halabi. Dalam suatu esai berjudul ‘al-Qawl al-Tamam (fi al-Qiyam) ‘Inda Dhikr Wiladatihi ‘Alayhi al-Salam’, Halabi menuliskan “beberapa orang di masa kita mempercayai bahwa ‘berdiri’ merupakan keharusan yang harus dilakukan ketika pembacaan maulid Nabi. Namun hal itu dasarnya lemah sebagaimana yang disampaikan sebagian ahli”.
Keharusan berdiri ketika pembacaan maulid dapat dilihat juga dari fatwa Abu al-Su‘ud, mufti masa dinasti Usmaniyah yang menghukumi orang yang tidak mau berdiri ketika ritual pembacaan maulid Nabi sebagai murtad karena tidak memiliki rasa hormat kepada Nabi. Namun, pada Muktamar ke-5 organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) yang diselenggarakan di Pekalongan, 7 September 1930 berdasarkan turots-turots atau literasi dari kitab-kitab ulama’ klasik, termasuk pendapat Ibnu Hajar al-Haitami, ritus Mahalul Qiyam dalam proses pembacaan teks maulid diterima sebagai satu adat kebiasaan yang dianjurkan dan tidak sampai pada tingkat wajib.
Dalam hal ini, kita dapat menyimpulkan, bahwa senandung kerinduan itu akan selalu terpatri dalam hati kaum muslimin yang mencintai Rasulullah. Dan mereka yang melihat dan mendengarkan maupun melantunkan bait-bait cinta yang digubah oleh para shalihin yang kita yakini selalu dalam keadaan isyqi itu akan mendapat kelimpahan rahmat dan syafaat dari nabi kita tercinta, amin. Seperti dawuh nabi sendiri dalam sebuah hadits Shohih yang kita harus pahami, المرأ مع من أحب “Al-mar’u Ma’a man Ahabba”. Al-Fatihah untuk seluruh penggubah Maulid dan pecinta Rasulullah serta seluruh umat Muslim. Wallahu a’lam bisshawab
Oleh: Ulis Syifa’ Muhammadun (Santri Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)