Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag
Memasuki bulan Ramadan, kata “hawa nafsu” seolah menjadi trending topic di kalangan umat Islam. Betapa tidak banyak orang membincangnya sebagai penyebab perbuatan dosa manusia. Konotasi negatif kerap kali melekat padanya sebagai penghalang manusia istiqamah di jalan Tuhan. Citra buruk ini bisa dipahami jika disandingkan dengan istilah sepadan dengannya, yaitu egoism (Nurcholis Madjid menyebut dengan Subyektivisme.) Orientasi personal, tidak jujur, tidak obyektif, mementingkan diri sendiri serta berbeda dengan fakta dan kenyataan merupakan karakter egoisme. Maka, jika dilihat dalam makna negatif tersebut, dapat dipastikan egoisme merugikan manusia dalam pencarian kebenaran dan kejujuran.
Al-Qur’an menyebut hawa nafsu atau nafsu dalam sebuah cerita yang cukup populer. Ketika seorang perempuan terhormat di lingkungan istana Fir’aun yakni Zulaikha pernah menggoda seorang pemuda putra Nabi Ya’qub, yang bernama Yusuf. Allah berfirman “Dan aku tidaklah mengumbar nafsuku, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Yusuf/12: 53).
Ayat diatas menggambarkan bahwa nafsu dapat mengantarkan kepada keburukan, menjadikan manusia terpeleset dari jalur yang tepat. Namun di sisi lain, nafsu juga membawa kebaikan, mengantarkan manusia dalam level yang terpuji. Nafsu yang kedua inilah sesungguhnya nafsu yang beruntung mendapatkan hidayah Allah. Nafsu yang mendapatkan rahmat Tuhan Sang Maha Kasih dapat membawa kepada kebaikan.
Pada dasarnya perbuatan buruk berasal diri sendiri, begitu pula perbuatan baik juga bersumber dari diri sendiri. Jika keinginan diri sendiri dibimbing oleh nilai ketuhanan yang tersonifikasi dalam taqwa, maka nafsu pasti mengantarkan kepada sesuatu yang baik dan penuh kebaikan. Dalam bahasa psikologi, nafsu sepadan dengan motivasi diri dalam berbuat baik. Sebuah pekerjaan dan kondisi disebut sukses bergantung pada motivasi internal yang positif.
Nafsu jika tidak dikendalikan, akan berdampak pada perilaku manusia yang tidak baik. Berkata bohong, berbuat fitnah, melakukan provokasi, mengadu domba adalah diantara contoh membiarkan nafsu dan tak terkendali. Akibatnya, meskipun manusia, diciptakan dengan bentuk yang sempurna, ia akan liar, beringas dan buas. “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raf/7: 79).
Namun, apabila nafsu itu dikelola dengan baik, maka akan melahirkan sosok yang berakhlak mulia. Sifat marah misalnya, jika dilepaskan tak terkendali akan berakibat pada egois, emosional, pertengkaran, konflik, bahkan pembunuhan. Tetapi, jika sifat marah dikendalikan, akan menghasilkan ketegasan dan kewibawaan. Mengelola nafsu akan menjadikan manusia pada derajat taqwa, sebuah kapasitas yang menjadikan manusia sosok yang bermanfaat dan berkontribusi positif bagi manusia dan alam semesta.
Ramadan adalah kampus pembinaan mental dan akhlak.
Melalui puasa di bulan Ramadhan, seseorang akan terdidik dalam melakukan al-imsak atau menahan diri dan mengendalikan nafsu dalam berbagai bentuknya. Mengelola untuk berkata baik, berbuat jujur, bertindak benar dan berprilaku positif. Puasa yang sesungguhnya ini akana membawa manusia memiliki kompetensi transformasi spiritual, dari manusia yang berwatak sebagai budak hawa nafsu (Abd al-hawa) menjadi hamba Allah (Abd Allah) yang menyucikan dirinya. Dengan kata lain, puasa berorientasi pada pembentukan karater atau watak Muslim yang tangguh dalam rangka melahirkan pribadi yang bertaqwa.[]