Permusuhan adalah sumber –faktor— dari konflik juga kekacauan. Dan memaafkan adalah sumber dari kedamaian. Hal ini membuktikan bahwa sudah menjadi kodrat sebagai manusia tidak bisa lepas dari kesalahan dan ketidaksempurnaan. Maka, maaf adalah salah satu jalan terbaik yang dapat dilakukan demi menebus kesalahan.
Bukan perkara untuk bisa memaafkan orang lain. Sebagian orang mengatakan bahwa meminta maaf atau memaafkan tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena butuh kesadaran dan keberanian tinggi untuk mengucapkannya. Dan butuh proses dan perjuangan untuk bisa melakukannya. Karena tidak semua orang bisa berbesar hati dengan mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Bahkan, kebanyakan orang justru lebih mudah untuk mengatakan maaf daripada memaafkan. Setiap orang bisa membalas kebaikan dengan kebaikan. Namun, hanya sedikit orang yang mampu membalas kejahatan dengan kebaikan atau dengan menerima dan memaafkan.
Dalam konteks keagamaan, setiap agama juga kepercayaan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk saling mengampuni atau memaafkan. Sikap pemaaf ini, sudah melekat pada diri Nabi dan Rasul Allah, para sahabat, para ahli sufi, dan orang-orang saleh. Sayyidina Ali RA pernah berkata “Bahwa meminta maaf adalah perbuatan yang paling mulia, sedangkan memberi maaf lebih mulia dimata Allah.”
Hal itu pernah dicontohkan oleh Nabi Yusuf as saat memaafkan saudara-saudaranya yang dulu pernah membuangnya ke dalam sumur. Sikap ini juga pernah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw saat memaafkan penduduk Mekkah yang dulu memusuhi dakwahnya, menyiksa dan mengusirnya.
Anjuran Memaafkan dal Al-Quran
وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS. Asy-Syura : 43).
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dala kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar. Ditafsirkan, “Allah SWT memberitahukan dengan sebuah penekanan dengan menggunakan ‘lam al-ibtida’ bahwa barangsiapa yang bersabar dan tidak membela dirinya dari saudaranya yang muslim dan memaafkannya, maka sikap sabar dan memaafkan itu termasuk sesuatu yang paling utama yang dituntut dalam syariat”.
Hal senada juga disampaikan Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, bahwa “Menuntut balas adalah hak, tetapi ada yang lebih dari menuntut balas, yaitu memberi maaf. Memberi maaf orang yang menganiaya kita, memberi maaf orang yang memusuhi kita, memang berat. Tetapi penting. Sudahkah kita berani memberi maaf musuh kita? Sudahkah kita berani menghapuskan dari hati kita perasaan dendam, karena kesalahan teman pada kita?”
Membalas baik dengan jahat adalah perangai yang serendah-rendahnya. Membalas baik dengan baik adalah hal yang patut dibiasakan. Tetapi membalas jahat dengan baik adalah cita-cita kemanusiaan yang setinggi-tingginya. Kita harus sanggup membiarkan cita-cita itu tumbuh menjadi kenyataan. Kita dapat membuat musuh besar jadi teman yang karib dan setia. Hebat perjuangan dalam batin! Kita mesti berani! Akhirnya dapatlah kita kalahkan kehendak yang jahat, dan menanglah cita-cita yang mulia. Tidak ada saat yang lebih berbahagia daripada saat itu. Harga hidup kita naik beberapa tingkat lagi.
Memaafkan Sumber Kedamaian
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Surat Asy-Syura ayat 43, memerintahkan manusia untuk memaafkan kesalahan orang lain dengan sepenuh hati, tidak dendam, dan tidak pula menyisakan kedengkian. Dengan memaafkan, seseorang akan merasa damai, tenteram, dan bahagia.
Perlu diingat bahwa manusia yang kuat itu bukan hanya sekedar fisik, tetapi juga kuat dalam jiwa dan roh. Salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan untuk menjadi manusia kuat adalah dengan membuka hati untuk mengampuni, karena sudah menjadi tugas dan sepantasnya menjadi manusia untuk mengampuni dan berani meminta maaf jika melakukan kesalahan.
Dan yang paling penting jangan lupa untuk memaafkan diri kita sendiri lebih dulu. Melepaskan dari semua rasa bersalah akan masa lalumu. Bagaimana pun lukamu terasa menyiksamu saat ini, cobalah untuk memaafkan dan berusaha menerima apa pun keadaanmu. Dan sisanya kita pasrahkan kepada Sang Pencipta yang mengatur dan mengadili semuanya.
Wallahu a’lam.
M. Raif Al Abrar, Mahasantri Darul Falah Besongo dan Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir angkatan 2020