Be-songo.or.id

MBAH YASIN MBARENG: SOSOK SYAIKHUL MUJIZ DAN PENYAMBUNG SANAD DALA’IL AL-KHAIRAT NUSANTARA

Dari Kudus, kita mengenal beberapa ulama’ kharismatik dan dua tokoh besar dalam sejarah Walisongo, yakni Sayyid Ja’far Shodiq Sunan Kudus dan Raden Umar Sa’id Sunan Muria. Nuansa atau budaya yang kental dengan nilai religi akan sering kita jumpai di kota yang juga dikenal sebagai kota santri. Di sebelah timur kota santri ini, kita akan menemukan salah satu tokoh yang dikenal dengan nama, Mbah Yasin Mbareng yang pada Rabiul Akhir ini diperingati haulnya. Mbah Yasin, dalam keterangan Habib Luthfi ketika acara peringatan Harlah NU 2010 di Pekalongan adalah salah satu tokoh yang mengantar berdirinya Nahdlatul Ulama’.

KELAHIRAN

Beliau memiliki nama lahir Soekandar atau mbah Kandar. Nama Yasin beliau dapatkan setelah pulang dari Makkah. Beliau lahir sekitar tahun 1890-an di desa Cebolek Margoyoso Pati dari pasangan H. Amin atau Mbah Tasmin dan Nyai Salamah. Mbah Yasin merupakan keturunan dari Syaikh Ahmad Mutamakkin Kajen Margoyoso Pati, seorang tokoh sufi di Indonesia pada abad 17.  Silsilah beliau kurang lebih, Yasin – KH. Amin – Muhammad Ali – Muhammad Sholeh – Alfiyah – Syech Ahmad Mutamakkin – Sayyid Ali Sumohadinegoro – Sayyid Abdul Halim Sunan Benowo –Sultan Hadiwijaya Jaka Tingkir atau Sayyid Abdurrahman Basyaiban.

SANAD INTELEKTUALISME

Ayah beliau meninggal di Tanah Suci dan dimakamkan di Jannat al-Baqi’ Madinah, sehingga masa kecil beliau diasuh oleh kerabat beliau Mbah Abdussalah Kajen, ayah dari KH. Abdullah Salam Kajen. Kyai Salam adalah ayah angkat sekaligus guru pertama beliau. Setelah beranjak remaja, Yasin muda melanjutkan melanjutkan pengembaraan ilmiahnya di berbagai pesantren. Diantaranya, Pesantren Sidogiri yang diasuh Mbah Nawawi, Pesantren Bangkalan Mbah Kholil dan kepada Mbah Amir Idris Pekalongan.

Selain itu, Yasin muda juga meniti ilmu kepada KH. Yasir Jekulo, KH. Idris Jamsaren Solo dan disini, Yasin muda yang saat itu masih berumur 25 tahun diizinkan untuk mengikuti pengajian Hikam yang sebanarnya hanya di khususkan untuk santri yang berusia 40 tahun. Hal ini tidak lepas dari sosok Mbah yasin yang kala itu dikenal sebagai santri yang cerdas dan rajin dalam mengikuti pelajaran. Beliau jarang memaknai kitabnya namun mampu mengikuti dan memahami pelajaran-pelajaran yang diajarkan dengan sangat baik.

Setelah menyelesaikan pengembaraan intelektualitasnya di Indonesia, Yasin Muda melanjutkan pendidikannya di Makkah. Beliau belajar dan menetap lama disini.  Beliau terlibat dalam pergaulan akrab dengan ulama’-ulama’ Makkah dan sering melakukan diskusi secara aktif sengan mereka selama mukim di tanah Haram ini. Setelah sekian lama di Makkah Mbah Yasin kembali ke Indonesia dan kemudian menetap di Cebolek sebelum selanjutnya menetap di Mbareng Jekulo Kudus.

Sanad Intelektualisme keilmuan beliau kurang lebih adalah, KH. Yasin – KH. Amir Idris – Syaikh Mahfudz Termas- Sayyid Abu Bakar Syatha’  atau KH. Yasin – KH. Idris Jamsaren – Sayyid Ahmad Zaini Dahlan

MENIKAH

Setelah sekian lama melakukan pengembaraan keilmuan, Mbah Salam menikahkan Mbah Yasin dengan putri KH. Yasir Jekulo Kudus yang bernama Muthi’ah. mertua beliau, KH Yasir adalah seorang Ulama’ pertama yang mendirikan Pondok Pesantren pertama di Jekulo, hal ini dapat dibuktikan dengan pengakuan Mbah Abdullah Salam, putra Mbah Salam, yang pernah ikut ngaji juga kepada KH. Yasir. Namun, pada generasi berikutnya pondok beliau kurang mendapat perhatian sehingga keberadaannya tidak mendapat perhatian. Pernikahan beliau ini bukan sekedar perjodohan biasa, melainkan hasil dari istikharah Mbah Salam.

Dari pernikahan Mbah Yasin dengan Nyai Munthi’ah, beliau dikaruniai 4 putra-putri yang masih hidup hingga sepuh. Yakni, Nyai Nafisah (Istri KH. Muhammadun Pondowan), K. Muhammad (Pengasuh PP. Al-Qaumaniyah Jekulo Kudus), Nyai Muslimah (Istri KH. Hanafi Jekulo Kudus) dan K. Sanusi (Pengasuh PP. Al-Sanusiyah Jekulo Kudus).

MENDIRIKAN PESANTREN, PERJUANGAN, DAN DAKWAH

Ketika berdomisili di Jekulo, Mbah Yasin masih memiliki keinginan untuk belajar, oleh karena itu beliau belajar kepada Mbah Sanusi, seorang Waliyullah yang ada di Jekulo yang terkenal sebagai seorang sufi, zahid dan sangat dihormati. Mbah Sanusi inilah yang dianggap oleh Mbah Yasin sebagai guru yang menyinarinya dalam menyusuri kehidupan sufinya. Beliau juga memiliki teman dekat yang juga kakak iparnya yakni, KH. Dahlan yang memiliki khazanah keilmuan yang juga sangat luas sehingga beliau berdua dikenal sebagai Top Figure dimasa itu. Seluruh kehidupan Mbah Yasin diberikan untuk dakwah. Kehidupan beliau sangat sederhana, dan memiliki sikap egaliter yang menjadikan beliau diterima dibanyak kalangan.  Mbah Yasin sangat mengedepankan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan atau aktyifitas sehari-harinya.

Dalam dakwahnya, pastinya terdapat banyak tantangan yang menerpa Mbah Yasin kala itu. Ketika datang di Mbareng, Mbah Yasin berhadapan dengan realitas masyarakat Mbareng yang masih didominasi oleh kaum abangan yang kurang mengenal agama. Kondisi ini juga sesuai dengan keadaan masyarakat pada saat itu, suka berfoya-foya dan melalaikan ibadah. Hingga kemudian, Mbah Sanusi menganjurkan Mbah Yasin untuk mendirikan Pondok Pesantren untuk memudahkan pengajaran, sehingga pada 1918 berdirilah pondok pesantren yang kala itu disebut sebagai, “Pondok Mbareng”. Sesuai dengan nama tempat berdirinya pondok kala itu. Nama itu terus dikenal sampai Kyai Muhammad memberikan nama resmi
“al-Qaumaniyyah” pada 1923 untuk memudahkan penyebutan pondok. Pondok didirikan dengan material kayu dan bambu yang kala itu diambil dari kebun Mbah Sanusi dan dibantu oleh para santri. Bangunan pondok ini masih ada hingga kini di depan ndalem atau di utara Masjid Kauman Mbareng, dan disebut sebagai kompleks A.

Konon, di tempat didirikannya pondok Mbah Yasin, sebelumnya dihuni oleh seseorang yang bernama Kyai Tayyib, yang merupakan tokoh yang dikenal tidak menyenangi amaliyyah-amaliyyah yang biasa dilakukan masyarakat atau anti TBC (Tahlil Bid’ah Khurafat) yang mengajar disitu. Kemudian, suatu ketika Mbah Yasin terlibat dalam perdebatan sengit dengan Kyai Tayyib. Dalam perdebatan itu, disepakati bahwa yang kalah harus meninggalkan tempat tersebut. Atas pertolongan Allah, Mbah Yasin memenangkan debat tersebut dan Mbah Yasinlah yang berhak atas tempat tersebut.

Tidak berselang lama, setelah mbah Yasin mendirikan pesantren, banyak santri yang berdatangan untuk mengaji kepada mbah Yasin yang diantranya banyak yang sudah mahir dan alim, bahkan menjadi tokoh di daerahnya hanya untuk ngalap berkah dan menyambung sanad kepada mbah Yasin. Mbah Yasin selain mengajarkan ilmu dan kitab juga memberikan “ijazah” atau laku amalan tirakat yang juga dikenal sebagai riyadhoh sehingga Pondok Mbareng ini juga terkenal dengan “Pondok Riyadloh” atau “Pondok Tabarrukan. Dari pondok ini, kemudian muncul ulama’ dan tokoh besar seperti, KH. Muhammadun Pondowan, KH. Ma’mun Ahmad Kudus, KH. Hambali Kudus, KH. Ahmad Basyir Kudus, Habib Muhsin Pemalang, KH. Sholeh Sayung, Habib Ali Syihab, Habib Muhammad al-Kaff, dan lain-lain.

LAKU TIRAKAT DAN IJAZAH DALA’IL AL-KHAIRAT

Mbah Yasin adalah orang yang sangat sufistik dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beliau mengijazahkan beberapa ijazah kepada para santriya dan menekankan laku tirakat kepada para santrinya. Hal ini juga diperkuat dengan beberapa kisah yang dituturkan oleh KH. Ahmad Basyir santri Mbah Yasin, bahwa Mbah Yasin selalu menekankan pada santri untuk hidup prihatin dan memperbanyak tirakat dalam masa menuntut ilmu. Di antara ijazahnya adalah,  laku “Tapal Adam” , yakni laku tirakat selama tiga hari tiga malam dan memakai pakaian seperti pakaian Ihram. Saat pengamalan ijazah ini, Mbah Yasin memantau langsung para santri yang sedang melakoni riyadlohnya.

Selanjutnya yang paling Masyhur adalah ijazah wirid shalawat Dala’il al-Khairat gubahan Syaikh Muhammad Bin Sulaiman al-Jazuli, yang sampai saat ini masih sering diamalkan oleh Masyarakat. Ijazah ini sering kali diamalkan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah melalui washilah shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Salah satu bentuk pengamalannya yang paling masyhur adalah dengan Puasa selama tiga hari berturut-turut dan tidak boleh batal ditengah-tengah. Apabila batal maka harus mengulangi kembali dari awal.

Hal ini yang kemudian menjadikan Mbah Yasin juga dikenal sebagai, “Mujiz Dalail al-Khairat Nusantara”. Tidak sembarangan orang dapat menjadi Mujiz Dalail al-Khairat. Melainkan dari guru dan melalui sanad yang jelas dan shahih. Mbah Yasin mendapatkan sanad Dalail ini dari guru beliau KH. Amir Idris Simbang Pekalongan dengan jalur sanad Syaikh Mahfudz Termas. Mbah Yasin kemudian memberikan izin untuk melanjutkan sanad atau memberikan ijazah (Mujiz) Dalail ini, (dalam keterangan yang penulis dapat) Kepada, KH. Muhammadun Pondowan, KH. Said Kirig Kudus, KH. Muhammad dan KH. Hanafi. Dari sinilah, akhirnya sanad dalail menyambung dan tersebar ke seluruh nusantara. Manuskrip Dalail pun masih tersimpan oleh dzuriyyah Mbah Yasin hingga kini. Manuskrip tulisan ijazah ini juga masih tersimpan oleh dzuriyyah Mbah Yasin di Jekulo dan dicetak ulang oleh KH. Alamul Huda, cucu Mbah Yasin sendiri.

KARYA

Sesungguhnya tidak banyak karya yang bisa ditemukan dari kiprah Mbah Yasin selama ini. Namun yang dapat ditemukan saat ini adalah tulisan beliau yakni Syarah Asma’ul Husna dan tulisan-tulisan panduan khutbah Hari raya dalam bahasa Arab.

KISAH DAN KAROMAH

Mbah Yasin juga dikenal sebagai Waliyullah yang memiliki berbagai macam karomah. Salah satunya adalah ketika zaman penjajahan Belanda, sebagai tokoh masyarakat beliau adalah orang yang selalu diawasi gerak geriknya dan dijadikan target operasi oleh penjajah. Dalam masa Penjajahan, beliau adalah salah satu tokoh yang ikut menggembleng para santri dan masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan.  Suatu ketika, rumah beliau didatangi oleh orang Belanda dan secara tiba-tiba Mbah Yasin mampu memahami dan menjawab perkataan dari orang-orang Belanda tersebut. Padahal beliau tidak pernah belajar bahasa Belanda. Karomah lainnya adalah, ketika beliau ingin memasuki makam Mbah Mutamakkin, beliau bisa memasukinya walaupun tanpa kunci dan berdialog dengan mbah Mutamakkin.

Mbah Yasin juga dikenal sebagai orang yang berjiwa sosial tinggi. Dalam kisahnya, beliau setiap hari menyediakan makanan bagi fakir-miskin yang disediakan disebelah utara Ndalem beliau yang kini menjadi Pondok al-Hanafiyah. Hal ini juga diperkuat oleh dawuh Mbah Maimoen Zubair, dalam keterangannya beliau mengatakan bahwa Mbah Yasin itu tipikal kyai yang sebenarnya memiliki uang, namun kekayaan beliau digunakan sebagai sarana syiar dan membantu orang lain.

WAFAT

Mbah Yasin Wafat pada hari Rabu pon 30 Desember 1953/ 23 Rabi’ul Awal 1337 H di Jekulo dan dimakamkan di sebelah selatan Masjid Kauman Mbareng di samping makam Mbah Sanusi. Hingga kini, makamnya terus diziarahi oleh para peziarah dari penjuru Nusantara.

Oleh: Divisi Kajian dan Riset Besongo Online 2022