Ketika Jibril berkata kepada Muhammad 15 abad silam di sebuah gua di puncak gunung di Makkah, “Bacalah!”, jelas kita tahu dia tidak punya buku untuk dibaca, lalu apa yang dia baca? Apa yang diinginkan malaikat untuk dia baca? Sesungguhnya Jibril tidak berbicara tentang kitab fisik, dia hendak berbicara tentang diri Muhammad, masyarakat, dan dunia. Wahyu ini menginspirasi Muhammad untuk menentang kerabat dan kabilah, memotivasi orang lain guna mengikutinya, membentuk masyarakat baru dan menjadikan masyarakat itu sebagai pusat gerakannya di Madinah dan Makkah. Pecahlah pemberontakan dan peperangan, aliansi dan penghianatan yang mengubah hidupnya, namun tidak mengubah tujuannya. Dia dikukuhkan sebagai Nabi, Nabi terakhir. Kalam Tuhan yang diwahyukan kepadanya itu selanjutnya disebut dengan Al-Qur’an.
Ia (Al-Qur’an) memiliki prototipe langit, ummul kitab, secara tekstual artinya kitab induk, yang merupakan rekaman utuh Kalam Tuhan. Oleh karenanya, ia tidak seperti kitab-kitab lain. Ia di atas waktu dan melampui sejarah, ia tidak tersentuh oleh perubahan temporal. Umat Islam yang menjadi audiens utamanya hidup di era yang berbeda-beda, sehingga penghargaan terhadap Kitab Langit ini pun tampil dalam bentuk yang berbeda-beda. Penghormatan mereka terhadap Al-Qur’an tidak sekedar dengan melantunkan kitab ini dari juz 1 hingga juz 30 dalam sebulan khatam seperti saat bulan Ramadlan, namun juga membacanya dan menafsirkannya.
Penafsiran sendiri tidak lah sama dengan pembacaan. Itulah kenapa tidak semua Muslim (mampu) menafsirkan Al-Qur’an, namun hampir semua muslim membaca Al-Qur’an. Pembacaan mereka terhadap Al-Qur’an ini adakalanya menempatkan Al-Qur’an sebagai otoritas ritual, sebagai panduan sehari-hari, sebagai motif artistik, atau bahkan sebagai “mantra” dan “jimat”. Sebagian Muslim juga menghafal kitab yang mulia itu dari mulut ke mulut, menghormati tradisi yang menghargai oralitas atau kualitas lisan sebagai fondasi kebenaran. Bahkan bagi mereka yang belum hafal 6.000 lebih ayatnya, kata-katanya menjadi irama hidupnya sehari-hari.
Ayat-ayat itu mungkin ditempelkan di dinding rumah guna memperindah interior atau diatas pintu masuk rumah sebagai “jimat tolak bala’”, digantungkan di spion dalam mobil sebagai aksesoris sekaligus “aji-aji” keselamatan, dikaca belakang mobil atau pada stiker bumper untuk menunjukkan kesan islami; dan mugkin juga diukirkan pada area mihrab masjid, juga kayu mimbar khutbah guna memperelok tampilannya. Ayat-ayat itu juga dituliskan pada kertas dan diminum untuk tujuan pengobatan. Bahkan seorang Muslim yang tidak mengenal bahasa Arab atau tidak pernah mempelajari bahasa Arab Al-Qur’an, menghormati kitab itu, dapat mengenali ketika orang lain melantunkannya, dan mungkin menyimpan mushaf-nya di rak buku, dan rekaman “bunyi-bunyinya” di gadget untuk didengarkan sembari beraktifitas atau menikmati sebuah perjalanan.
Berbagai bentuk pembacaan terhadap Al-Qur’an seperti itu akan terus berlangsung selama abad ini dan seterusnya. Karena Al-Qur’an adalah Kitab Tanda, tidak seorang pun akan dapat menghabiskannya, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kalam yang terberkati ini dalam QS.Al-Kahfi (18): 109.
Kitab Tanda itu, selain dibaca sedemikian hidup (living) oleh umat Islam, juga dibaca untuk visi kemanusiaan dan kebangsaan. Ia adalah Muhammad, namun bukan Muhammad sang penerima wahyu Al-Qur’an. Nama lengkapnya adalah W.D.Muhammad, seorang pemimpian Muslim Afrika-Amerika. Sejak 1960-an ia telah membimbing masyarakatnya ke Islam arus utama dan Amerika arus utama. Ia membantah bahwa Al-Qur’an memberikan medan tempur bagi perang apokaliptik. Baginya Al-Qur’an memang memerintahkan jihad, namun bukan jihad sebagai perang total. Ia adalah jihad sebagai perang abadi antara kebaikan dan kejahatan. Dalam pandangannya, pencarian temporal tertinggi umat Islam adalah menjadi warga Negara pragmatis di komunitas global abad 21, dengan terbuka terhadap keterlibatan dengan non Muslim. Dia mencari sekutu dalam perang besar melawan kemiskinan, rasisme, dan kerusakan lingkungan. Dia menghargai dunia yang damai, tempat jihad sejati adalah perjuangan mewujudkan keadilan, bukan konflik bersenjata yang dimotivasi oleh kebencian atau ditampilkan sebagai teror.
Seperti Nabi Muhammad yang membangun harapannya dari jejak-jejak Al-Qur’an di atas, Imam Muhammad menampilkan kepada kita sebuah “pembacaan” penting atas Kitab Tanda di Abad Milenial ini, yang mestinya juga bisa kita praktikkan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi yang multikultur ini. Di tengah momentum Ramadlan ini, bulan dimana Kalam Petunjuk itu memerintahkan Nabi Muhammad beserta segenap umat manusia untuk “membaca”, mari kita galakkan upaya-upaya “membaca” Al-Qur’an secara hidup dalam bilik-bilik kehidupan kita sehari-hari untuk membangun kebangsaan dan kemanusiaan bangsa Indonesia. Wallahu ‘alam.
*Pernah diterbitkan di Jawa Pos Radar Semarang
Oleh Mohamad Sobirin Sahal
Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo & Pengajar di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo.