Be-songo.or.id

Membaca Al-Qur’an untuk Orang yang Meninggal, Apakah Pahalanya Sampai Mayit?

Sudah sejak lama, banyak muncul perselihan antar umat islam tentang sampainya pahala suatu amalan seperti sedekah, do’a, dzikir, bacaan Al-Qur’an dan lain sebagainya kepada mayit atau ahli kubur.

Sehingga tak jarang, fenomena ini menimbulkan keresahan dan keraguan bagi sebagian masyarakat yang sudah terbiasa melakukan hal tersebut, khususnya nahdhiyyin. Sebagian besar umat islam juga meyakini bahwa sesuatu yang dapat sampai kepada si mayyit hanyalah sedekah dan do’a. Amalan lain seperti dzikir, bacaan Al-Qur’an dan sebagainya masih diperselisihkan, bahkan sampai dilarang keras karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW.

Maka dari itu, penulis akan menyampaikan beberapa hal untuk menyingkap bagaimana hukum amalan seperti bacaan Al-Qur’an dan sebagainya yang ditujukan kepada mayyit, apakah hal tersebut diperbolehkan? Apakah pahalanya sampai kepada si mayyit? dan bagaimana hukum memberi upah kepada seseorang yang diminta untuk membaca Al-Qur’an untuk si mayyit, seperti kegiatan Khotmil Qu’ran bil ghaib dan bin nadzar?

Dalam hal ini, penulis akan memaparkan dari sudut pandang para fuqoha, khususnya kalangan syafi’iyah, melalui sumber-sumber literatur terkait yang insyaallah kredibel, sorih dan sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits, sehingga dapat dijadikan hujjah yang kuat untuk menjawab pertanyaan ini, sekaligus menghilangkan keraguan yang ada di tengah masyarakat.

Pertama, amalan seperti bacaan Al-Qur’an yang ditujukan kepada mayyit, pahalanya insyaallah tetap sampai kepada mayyit, selama hal itu memang ditujukan kepadanya (dengan niat/qosdu), baik sebelum maupun sesudah membaca Al-Qur’an. Bahkan hal ini disepakati oleh 3 imam mazhab. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Bujairomi dalam Hasyiyahnya:

وَقَدْ نَقَلَ الْحَافِظُ السُّيُوطِيّ أَنَّ جُمْهُورَ السَّلَفِ وَالْأَئِمَّةَ الثَّلَاثَةَ عَلَى وُصُولِ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلْمَيِّتِ

“Dan sungguh imam AsSuyuthi telah menukil bahwa jumhur salaf dan 3 imam mazhab (sepakat) atas sampainya pahala bacaan (Al-Qur’an) kepada mayyit.” (Al-Bujairomi, Hasyiyah Al-Bujairomi ala Al-Khatib, juz 2, hal. 302, cet. Darul Fikr)

Hal serupa juga dikemukakan Syeikh Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu sebagai berikut:

وبذلك يكون مذهب متأخري الشافعية كمذاهب الأئمة الثلاثة أن ثواب القراءة يصل إلى الميت قال السبكي والذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه، نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بها القارئ نفع الملدوغ نفعته

“Maka dengan itu, para ulama mutaakhirin dari mazhab syafi’iyah (berpendapat) seperti 3 imam mazhab lain, bahwasannya pahala bacaan (Al-Qur’an) akan sampai kepada mayyit. Imam As Subki berkata: yang menunjukan atas hal ini adalah khobar dengan istinbath bahwa sebagian bacaan Al-Qur’an ketika diniatkan untuk kemanfaatan si mayyit, dan meringankan apa yang terdapat pada mayyit (seperti azab atau siksa kubur), maka hal itu bermanfaat, Karena telah tetap, bahwasannya bacaan Al-Fatihah ketika pembacanya meniatkan untuk kemanfaatan yang bersangkutan (dalam hal ini mayyit) maka hal itu bermanfaat bagi mayyit.” (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, juz 2 hal 1581, cet. 4, Darul Fikr).

Adapun bantahan tentang adanya perkataan Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, hal tersebut dhoif (lemah), dan yang mu’tamad (dipilih dan diikuti oleh para ulama) adalah sampai pahalanya, sebagaimana ditegaskan oleh Syeikh Bakri Ad-Dimyati dalam kitab I’anatuth Thalibin yang merupakan hasyiyah dari kitab Fathul Mu’in karya Syeikh Zainudin Al-Malibari sebagai berikut:

أما القراءة فقد قال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت

وقال بعض أصحابنا يصل ثوابها للميت بمجرد قصده بها، ولو بعدها، وعليه الائمة الثلاثة واختاره كثيرون من أئمتنا، واعتمده السبكي وغيره.

قوله: لا يصل ثوابها إلى الميت ضعيف

وقوله: وقال بعض أصحابنا يصل معتمد

Adapun bacaan (Al-Qur’an), Imam Nawawi berkata dalam Syarah Muslim: yang mayshur dari mazhab Imam Syafi’i, bahwa pahala bacaan AlQur’an itu tidak sampai kepada mayyit. Dan sebagian sahabat kami (dari kalangan Syafi’iyah) berkata: pahala bacaan Al-Qur’an sampai kepada mayyit, dengan semata-mata meniatkan untuknya (mayyit), meskipun setelahnya (bacaan Al-Qur’an). Dan atas itu pula pendapat 3 imam mazhab, dan dipilih banyak dari para imam kami, dan berpegang pula kepadanya (pendapat ini) Imam AsSubki. Perkataan beliau (Syeikh Zainudin AlMalibari): tidak sampai pahala bacaan (Al-Qur’an) kepada mayyit itu dha’if, dan perkataan beliau: Dan sebagian sahabat kami (dari kalangan Syafi’iyah) berkata, pahala bacaan Al-Qur’an sampai, itu mu’tamad.” (Bakri Ad-Dimyati, I’anatut Thalibin ala Halli Alfadzi Fathil Mu’in, juz 3 hal. 258, cet. 1, Darul Fikr).

Kedua, setelah mengetahui bahwasannya pahala bacaan Al-Qur’an itu sampai kepada mayyit, timbul kembali pertanyaan bagaimana hukum adanya pemberian upah untuk seseorang yang diminta Khotmil Qur’an baik bin nadzar maupun bil ghaib, dan ditujukan untuk mayyit. Dalam hal ini, hukumnya adalah boleh. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Khatib Asy-Syirbini dalam kitab Mughnil Muhtaj:

فَرْعٌ الْإِجَارَةُ لِلْقُرْآنِ عَلَى الْقَبْرِ مُدَّةً مَعْلُومَةً أَوْ قَدْرًا مَعْلُومًا جَائِزَةٌ لِلِانْتِفَاعِ بِنُزُولِ الرَّحْمَةِ حَيْثُ يُقْرَأُ الْقُرْآنُ وَيَكُونُ الْمَيِّتُ كَالْحَيِّ الْحَاضِرِ، سَوَاءٌ أَعْقَبَ الْقُرْآنَ بِالدُّعَاءِ أَمْ جَعَلَ أَجْرَ قِرَاءَتِهِ لَهُ أَمْ لَا، فَتَعُودُ مَنْفَعَةُ الْقُرْآنِ إلَى الْمَيِّتِ فِي ذَلِكَ. 

“(cabang pembahasan) Pemberian upah untuk bacaan Al-Qur’an di atas kubur, dengan masa atau kadar yang diketahui itu boleh. Karena mengambil manfaat dengan turunnya rahmat saat Al-Qur’an itu dibaca. (Pada saat itu) mayyit menjadi (seakan) hidup dan hadir. Hal ini sama saja, apakah seseorang menjadikan Al-Qur’an itu sebagai do’a, atau menjadikan pahala bacaan Al-Qur’an untuk mayyit ataupun tidak. Maka manfaat Al-Qur’an itu akan kembali kepada mayyit dalam hal itu.” (Khatib Asy-Syirbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadzil Minhaj, juz 3 hal. 456, cet. Darul Kutub al-Ilmiyyah)

Lebih jelas lagi, Imam Nawawi juga membolehkan hal ini, bahkan beliau mengungkapkan bahwa membacakan Al-Qur’an untuk mayyit setelah ia dikuburkan itu merupakan salah satu kesunnahan, dan bila sampai mengkhatamkannya, maka itu justru lebih baik. Sebagaimana perkataan beliau dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:

قَالُوا وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ شئ مِنْ الْقُرْآنِ وَإِنْ خَتَمُوا الْقُرْآنَ كَانَ أَفْضَلَ

“Para sahabat kami dari kalangan Syafiiyah berkata: disunnahkan pembacaan sebagian Al-Qur’an untuk mayyit. Apabila mereka mengkhatamkan Al-Qur’an itu maka lebih utama” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, juz 5 hal. 294, cet. Al Muniriyyah)

Selain itu, Al-Qadhi Husain juga membolehkan hal ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Wahbah Zuhaili:

وقد جوز القاضي حسين الاستئجار على قراءة القرآن عند الميت

“Dan sungguh Al Qadli Husain telah membolehkan pemberian upah seseorang atas bacaan Al-Quran untuk mayyit” (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu AlIslami wa Adillatuhu, juz 2 hal. 1581, cet. 4, Darul Fikr).

Namun untuk hal upah ini, para ulama juga memperingatkan bahwa upah untuk bacaan Al-Qur’an kepada mayyit tidak dijadikan sebab utama melakukan hal itu, namun tetap harus diniatkan untuk memenuhi undangan sesama muslim sebagai wasilah tolong-menolong. Karena apbila upah ini dijadikan alasan utama untuk bacaan Al-Qur’an, maka pahalanya akan gugur baik bagi si pembaca maupun mayyit, sebagaimana disebutkan juga dalam lanjutan beberapa ibarah yang penulis paparkan di atas.

Ketiga, setelah mengetahui bolehnya membaca Al-Qur’an yang pahalanya ditujukan untuk mayyit, serta bolehnya memberi upah kepada seseorang yang diminta untuk membaca Al-Qur’an untuk mayyit, muncul lagi persoalan apakah amalan-amalan lain seperti sedekah, do’a, zikir, salat, puasa dan lain sebagainya juga bisa ditujukan pahalanya untuk mayyit? Dalam hal ini, tetap bisa sampai, sebagaimana yang disebutkan oleh Syeikh Bakri Ad-Dimyati dalam kitab I’anatuth Thalibin:

قوله: ويجري هذا في سائر الأعمال ظاهره أن الإشارة راجعة لقول ابن الصلاح وينبغي الجزم الخ، ويحتمل أنه من كلام ابن الصلاح أيضا، وحينئذ فهو صريح أن الإنسان إذا صلى أو صام مثلا وقال اللهم أوصل ثواب هذا لفلان يصل إليه ثواب ما فعله من الصلاة أو الصوم مثلا

Perkataan beliau (Syeikh Zainudin Al-Malibari): “dan hal ini berlaku pada amalan amalan lain (yang pahalanya ditujukan untuk mayyit)”, secara zahir, bahwa isyarat kembali pada perkataan Ibnu Shalah: “dan seyogyanya menentukan manfaat bacaan Al-Qur’an dengan do’a, dan seterusnya. Hal ini mencakup dari perkataan Ibnu Shalah juga, maka ketika itu, perkataan itu jelas bahwasannya seseorang yang ketika solat atau puasa misalnya, kemudian berdo’a “Ya Allah sampaikanlah pahala amalan ini untuk fulan”, maka pahala amalan yang ia lakukan dari salat atau puasa itu akan sampai kepada fulan misalnya”. (Bakri Ad-Dimyati, I’anatuth Thalibin ala Halli Alfadzi Fathil Mu’in, juz 3 hal 260, cet. 1, Darul Fikr).

Dari beberapa pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa amalan seperti sedekah, do’a, bacaan Al-Qur’an yang pahalanya ditujukan untuk mayyit itu insyaallah akan sampai dan bermanfaat untuk mayyit. Hal ini pun bisa berlaku juga pada amalan lain. Sebagai contoh yang sering dilakukan nahdhiyyin seperti ziarah kubur, tahlil, do’a bersama dan lain sebagainya. Karena dalam amalan itu mencakup berbagai aspek seperti bacaan Al-Qur’an, dzikir, sedekah dan do’a yang semua pahalanya ditujukan untuk mayyit. Hal ini sangat sorih dan sesuai dengan penjelasan para jumhur fuqaha yang ucapannya dapat dipegang dan dijadikan hujjah, karena hasil penjelasan itu juga bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.

Dengan ini, penulis berharap tulisan ini dapat menjawab dan menyingkap pertanyaan yang beredar di masyarakat, serta menghilangkan keraguan atas bantahan-bantahan dari jawaban yang ada. Sehingga dalam konteks sampainya pahala amalan yang dilakukan untuk mayyit sudah tidak perlu diperseisihkan lagi, karena sudah sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, melalui tuntunan para ulama.

والله اعلم بالصواب

Oleh: Achmad Solekhudin (Santri Ponpes Darul Falah Besongo dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)

Editor: Sholahuddin

Referensi:

Al Bujairomi, “Hasyiyah Al-Bujairomi ala Al-Khatib”, juz 2 hal 302, cet. Darul Fikr

Wahbah Zuhaili, “Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu”, juz 2 hal 1581, cet. 4, Darul Fikr

Bakri Ad-Dimyati, “I’anatuth Tholibin ala Halli Alfadzi Fathil Mu’in”, juz 3 hal 258-260, cet. 1 Darul Fikr

Muhammad ibn Muhammad al-Khatib Asy-Syirbini, “Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadzil Minhaj”, juz 3 hal 456, cet.1 Darul Kutub al-Ilmiyyah

An-Nawawi, “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab”, juz 5 hal. 294, cet. Al Muniriyyah

REKOMENDASI >