Oleh: Imam Labib Hibaurrohman
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang terbangun dari kebutuhan masyarakat, apalagi di era globalisasi pemikiran saat ini, pluralitas masyarakat dan hegemoni pemikiran serta liberalisasi kehidupan antara dunia kapitalis dan kemajuan peradaban yang dapat menimbulkan dampak minimnya pendidikan moral (akhlak) dari generasi ke generasi khususnya dikalangan para pemuda dengan harapan kedepannya dapat memberikan stimulun berkembangnya suatu lembaga yang dapat membawa mereka kepada pendidikan yang Islamis, dinamis, nyaman, tentram dan penuh dengan kerendahan hati ala Pesantren. Sehingga pertanyaan-pertanyaan akan kegelisahan-kegilsahan masyarakat yang timbul akan segera mendapatkan jawaban. Pesantren sampai sekarang masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas tinggi dalam arti mendalami segala aspek baik dari pengetahuan agama maupun pengetahuan umumnya, kemudian agar memiliki keagungan moralitas sosial yang mendasar dan mempunyai dedikasi dalam kehidupan bermasyarakatnya. Walaupun begitu, nantinya setelah tamat belajar dari pondok pesantren banyak corak dan warna profesi santri yang akan digelutinya, akan tetapi figur sosok seorang kyai masih dianggap sebagai bentuk paling ideal menjadi suri tauladan dan contoh dari para santrinya secara khusus dan masyarakat secara umumnya, apalagi ditengah krisis ulama sekarang ini.
Harus diakui, saat ini alumni keluaran pesantren yang mampu muncul sebagai seorang kyai dan panutan yang memiliki dedikasi berkualitas tinggi baik dari sisi keilmuan, moral, pendidikan akademik, sosial kemasyarakatan, sangatlah sedikit jumlahnya. Modernitas pesantren mempengaruhi visi dan misi seorang santri dalam melihat masa depannya. Banyak dari mereka yang berkeinginan menjadi seorang birokrat, kaum professional, intelektual, dan wirausaha sehingga tidak ada yang berkeinginan menjadi kyai yang notabene hidup sangat sederhana dan pas-pasan. Akan tetapi Statement diatas juga tidak bisa digeneralisir dan di justifikasi bahwasanya modernitas pesantren dapat mempengaruhi gaya dan kwalitas sosok santri kedepannya setelah kelulusan mereka, ini tergantung bagaimana pesantren bisa memberikan pemahaman dan support bahwasanya kita hidup tidak terlepas dengan adanya kehidupan duniawi maupun ukhrowi.
K.H. Abdul Latief Sujai (Alm) menasehati para santri-santrinya bahwa pesantren itu dibangun atas tiga pondasi utama yaitu Iman, Islam dan Ihsan . Iman dalam hal ini dimaksudkan adalah kita sebagai seorang santri pesantren harus memperkuat dan mempertebal keyakinan kita untuk beriman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab Allah, Rasul – rasul, hari akhir dan Qadha’ Qadar-Nya tanpa adanya perdebatan, pertentangan didalam hati serta akal kita sebagai seorang muslim. Kemudian memaknai Islam itu sendiri adalah berusaha dengan sepenuh hati dan bersungguh-sungguh untuk menjalankan suatu keimanan dengan melaksanakan nilai-nilai spiritual keibadahan yang telah ditentukan dan diwajibkan oleh Allah Swt tanpa adanya rasa beban dan tanggungan, di sertai dengan keilmuan yang tinggi guna mencapai serta melaksanakan hal-hal yang terkandung dalam nilai spiritual ibadah. Sedangkan Ihsan menurut beliau adalah akhlak atau moral yang harus dimiliki oleh seluruh umat muslim apalagi yang telah belajar di pondok pesantren dengan rasa ketawadhuan, kesahajaan, keikhlasan dan keyakinan bersikap.
Said Aqil Siraj pernah menyatakan bahwasanya tanggung jawab pesantren sangatlah berat karena meliputi banyak aspek, yaitu mas’uliyah diniyah (tanggung jawab keagamaan) yang diimplementasikan kedalam peranan pesantren yang memperjuangkan dakwah Islamiyah; mas’uliyah al-tarbawiyah (educational capability) yang mana dakwah tersebut menitikberatkan kepada peningkatan kwalitas pendidikan umat khususnya para pemuda; mas’uliyah al-amaliyah (practice capability) yang lebih menekankan pada realisasi syari’at (Islamic law) dalam pribadi umat Islam; mas’uliyah tsaqafiyah (culture capability) yang lebih menekankan pada pembangunan peradaban Islam (At Tsaqafah al Islamiyah) ; dan mas’uliyah al-Qudwah (moral capability) yang mengarahkan kepada umatnya untuk menghiasi diri dengan segala akhlak al-karimah (perilaku yang mulia), mencapai kepada tingkat hakekat ila ma’rifatillah.
Kedalaman ilmu, ketinggian spiritual, keagungan moral, kesucian dan keikhlasan perilaku, dan kepedulian yang sangat besar terhadap pada pengembangan-pengembangan potensi umat yang ada bisa menjadikan sebuah kunci kesuksesan seorang kyai dalam membina dan mendidik santri-santrinya. Tidak mungkin, atau hampir mustahil jika seorang kyai mampu mendidik santrinya dengan sukses, jikalau ilmu agamanya sangat diragukan, moralitasnya rendah, spiritualitasnya tidak mantap, dan kepeduliannya pada umatpun sangat kecil bahkan tidak dapat memberikan efek samping menimbulkan inspirasi kepada para santri menjadi sosok orang yang alim, baik, sholeh dan berkwalitas akan sisi moral maupun keilmuannya. Kyai seperti ini tidak bisa dijadikan sebagai sumber rujukan, inspirasi dan motivasi bagi santri ataupun masyarakat untuk peningkatan dan pengembangan keilmuan, pembinaan moral, serta membangun sebuah potensi umat yang terpendam dalam dirinya. Figur kyai yang berkwalitas juga sangat diharapkan untuk sekiranya dapat dan mampu mencetak beberapa santri yang mampu mengubah sejarah jahiliyah modern menuju era yang penuh dengan risalah ilahiyah ini, ditengah keramaian kasak kusuk dunia modern yang sangat hedonis dan matrealis.
Kalau pesantren tidak mampu merespons masalah kontemporer dengan khazanah kealiman dan keintelektualnya, maka krisis keilmuan pesantren akan berimbas pada krisis identitas diri santri dalam menatap masa depannya. Krisis identitas ini akan menurunkan kepercayaan diri santri dalam mengarungi masa depannya. Efeknya, semangat santri dalam mengkaji khazanah intelektualitas keilmuan dan wacana kontemporer sebagai modal aktualisasi diri ditengah kehidupan sosial menjadi sangatlah rendah. Menurut A. Mukti Ali (1987), figur santri berkualitas harus memiliki banyak kemampuan. Pertama, sejarah, supaya tahu perubahan-perubahan masyarakat dari waktu ke waktu, paham akan gejala-gejala dan hukum-hukum sosial, sehingga ia mampu menempatkan diri secara tepat. Kedua, ilmu filsafat, untuk menemukan esensi dan substansi dari seluruh bangunan ilmu secara konfrehensif, tidak parsial-simbolis. Ketiga, metodologi, supaya mampu mengolah konsep-konsep lama menjadi relevan dan actual menurut kenyataan sekarang. Dan keempat, bahasa (minimal bahasa Arab dan Inggris) supaya santri mampu membaca literatur-literatur Islam yang saat ini banyak ditulis dalam dua bahasa tersebut, lebih-lebih Inggris. Sebab, pemikiran kaum orientalis dan misionaris bahkan kaum liberalis kebanyakan memakai atau menggunkana istilah-istilah dari bahasa Inggris yang belum tentu kita dapat memahaminya. Ide A. Mukti Ali sesuai dengan idenya Cak Nur Cholis Madjid, menunjukkan akan figur santri berkwalitas luar dalam adalah orang atau santri yang dapat memadukan asholah (tradisionalitas) dengan hadatsah (kemodernan). Dengan hanya menguasai salah satu dari keduanya akan mengakibatkan split personality (kepribadian yang terpecah) yang tidak akan mampu memberikan solusi holistik dan integral dalam merespons dinamika zaman.
Lembaga Pendidikan bukanlah hanya berkutat pada materi pelajaran saja akan tetapi bagaimana si santri atau murid bisa mengaplikasikan keilmuannya sehari-hari hingga seluruh elemen yang berhubungan dengan dirinya bisa merasa bangga terhadap dirinya dan tidak mengecap mereka sebagai sampah masyarakat yang akan menjadi benalu maupun hambatan-hambatan untuk membangun sebuah masyarakat yang madani, maju dan berperadaban tinggi dengan berbagai keilmuan yang dimiliki oleh masyarakatnya serta memiliki norma, etika dan kesopanan yang telah berlaku di masyarakat umum. Menjaga muru’ah (harga diri) ada hal yang terdepan bagi seorang muslim karena Islam mengajarkan sebuah ajaran yang bersifatnya universal alias menyeluruh dengan jargon rahmatan lil alamin-nya.
Akan tetapi jika generasi mudanya tidak dapat diharapkan maka jatuhlah muru’ah sebuah bangsa, agama, masyarakat, keluarga bahkan dirinya sendiri yang telah menganggap sebagi seorang muslim sejati. Dari sinilah sebenarnya para santri ketika terjun di masyarakat lebih bisa bertahan hidup dan lebih dapat membaur dengan masyarakat luas. Bahkan dengan banyaknya santri yang berkualitas tinggi dengan peradaban keilmuannya sehingga dapat membentuk karakter mereka yang baik dan kokoh serta dapat memberikan warna dalam masyarakat. Dalam hal ini, Soekarno sebagai Presiden Pertama Indonesia pada waktu itu pernah berorasi di depan seluruh bangsa Indonesia, mengatakan : “Berikan aku sepuluh pemuda akan aku goyangkan dunia”.
Dari orasi tersebut dapat sedikit ditarik benang merah bahwa seorang pemuda atau santri yang mana sebagai generasi utama pewaris ulama dan Nabi menjadi tulang punggung utama maupun tiang demi keberhasilan kemajuan suatu bangsa maju tidaknya cita-cita bangsa tergantung seberapa besar peran dan majunya para pemudanya akan ilmu pengetahuan maupun etika-etika norma akhlaknya dalam masyarakat. Hal semacam ini, peran seorang kyai juga sangat penting bahkan dituntut untuk senantiasa terus terlibat dalam kontroling system kepada para santrinya, baik ketika mereka masih menjadi santri ataupun sudah menjadi alumni agar misi dan visi pondok pesantren (Iman, Islam dan Ihsan) dapat diterima oleh santri dan diaplikasikannya kepada masyarakat luas.
Sedangkan sumbangsih pesantren dalam dunia pendidikan dan pembentukan karakter terhadap para murid (santri) juga tidak bisa dianggap sebelah mata saja, karena dalam pendidikan pondok pesantren tidak hanya memberikan pembelajaran dan pengajaran semata akan tetapi juga pembentukan kepribadian dalam bersosialisasi dengan lingkungan atau dalam bahasa lain disebutkan bukan hanya sebagai aspek ta’allumisasi akan tetapi juga aspek Tarbiyah-nya, hal tersebut dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari dipesantren yang sangat sederhana dan tidak neko-neko. Bukan hanya sekedar teori yang disampaikan tetapi juga diterapkan dalam kehidupan kesehariannya terutama oleh Kyai itu sendiri, dalam bidang akhlak misalnya para santri junior mempunyai rasa hormat kepada santri yang sudah senior atau para dewan guru. Berbeda dengan model pendidikan-pendidikan lain alias umum non pesantren, seperti yang terjadi di sekolah-sekolah umum ataupun kampus yang nota bene hanya mengajarkan akan nilai keilmuan yang bersifatnya aqliyah tanpa dibarengi pembentukan karakter dan akhlak. Maka pendidikan dalam konsep demikianlah yang malah akan memberikan dampak negatif dengan banyak merusak dan berolah disekitar kalangan masyarakat yang materialistic. Para generasi zaman sekarang hanya bisa dituntut secara berlebihan hanya untuk sekedar mendapatkan nilai akademik dan bisa cerdas akalnya akan tetapi tidak mereka pada tidak mampu untuk menjadi manusia yang cerdas batinnya, baik cerdas secara hablu minallah maupun hablu minanas-nya.
Allah A’lam Bi As-Showab…
Kamar Damai PP Darul Falah Be-Songo (B-17)
Semarang, 20/12/2013 pukul 01.09 WIB