(Ditulis oleh Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag)
Saat ini, dunia menghadapi krisis lingkungan yang mengancam keberlangsungan hidup umat manusia dan alam semesta. Awal tahun1970-an, telah lahir gelombang kesadaran mempertahankan kehidupan dari bencana tersebut. Pencemaran air, udara, dan tanah, belum lagi gelombang tsunami, banjir, gempa, gunung meletus, tanah longsor menjadi wajah yang sering dihadapi masyarakat. Banyak perspektif telah digunakan untuk mencari akar persoalan beserta pemecahannya. Lagi-lagi agama dipandang berkontribusi membentuk pandangan tentang peran manusia dan pandangan dunia (world view) dalam memperlakukan alam.
Krisis yang dihadapi manusia, selain karena kejadian alam sebagai siklus dan proses dinamika alam itu sendiri, juga akibat akibat dari perbuatan manusia. Sikap egois, yang mementingkan diri sendiri menjadi penyebab utama kerusakan alam. Kerusakan alam memang tidak bisa dilepaskan dari tabiat manusia serakah yang mendorong manusia melakukan prilaku distruktif seperti penggundulan hutan, aktivitas penambangan yang melampaui batas, konsumsi energi yang berlebihan dan sebagainya. Banyak orang hanya memikirkan kenyamanan pribadi tanpa memikirkan akibat pada lingkungan.
Al-Qur’an mengajarkan bahwa fungsi kemanusiaan adalah menjaga kelestarian lingkungan. Sebagai khalifah fi al-ardh, manusia adalah makhluk terbaik di antara semua ciptaan Tuhan (QS. 95:4; 17:70) yang memegang tanggung jawab mengelola bumi dan memakmurkannya (QS. 33:72). Sebab, bumi dan semua isinya diperuntukkan Allah untuk manusia (QS. 2: 29). Apapun yang dikehendaki manusiam, ada dan tersedia di langit dan bumi, daratan dan lautan, sungai-sungai, matahari dan bulan, malam dan siang, tanaman dan buah-buahan, binatang melata dan binatang ternak (QS. 6:141). Karena itu, larangan tegas untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini. Membangun dunia dengan ramah penuh kebajikan nampaknya menjadi tugas utama sang pemimpin di muka bumi ini (QS. 28:77).
Dalam konteks inilah, ada tiga misi kemanusiaan terkait dengan alam semesta: 1)al-Intifa’, maksudnya segala sesuatu yang telah dianugerahkan Allah adalah untuk dimanfaatkan manusia secara baik dan benar. Setiap insan di tuntut mampu mendayagunakannya untuk kemakmuran dan kemaslahatan; 2)al-I’tibar yaitu manusia dituntut untuk mampu mengambil pelajaran dan mengungkap rahasia fenomena alam untuk menambah bekal takwa kepada Allah dan menambah ilmu pengetahuan; 3) al-Islah, artinya setiap manusia memiliki tanggungjawab menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan, bahkan menjadikannya lebih baik.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana memulai kepedulian terhadap lingkungan ini, kontribusi apa yang dapat kita diberikan dalam menjaga kenyamanan lingkungan? Merubah mindset, artinya kepedulian terhadap lingkungan, sikap ramah lingkungan harus menjadi paradigma setiap umat Islam. Kerusakan alam, pencemaran bahkan bencana bukan sekedar masalah teknis dengan penyelesaian sesaat, tetapi yang lebih penting adalah menjadikan kesadaran ramah lingkungan ini sebagai salah satu bentuk ibadah sosial yang berlaitan erat dengan hubungan vertikal dengan Tuhan Sang Pencipta alam semesta.
Kesadaran paradigmatik inilah menjadi kunci membangun kelestarian alam dan lingkungannya. Kesadaran baru ini disebut oleh sebagian ulama kontemporer dengan fikih lingkungan. Sebuah sikap yang berorientasi pada prilaku cinta ramah dan tidak memberi kesempatan berbuat yang berpotensi merusak lingkungan. Sudah saatnya kita semua, pesantren, kiyai ustadz, santri dan seluruh umat Islam menjadi motorik menumbuhkan kesadaran ini. Keteladanan nampaknya menjadi pilihan untuk mendesiminasikan sikap ramah ini. Gerakan menjaga kelestarian alam, atau gerakan ramah lingkungan dapat menjadi gerakan perubahan yang kontributif, tidak hanya berwacana dan berhalaqah tetapi tindakan kongkret dan berharakah.
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Al Qalam Edisi II/Februari 2016*