Berita

PSB

Meneguhkan Pondasi Keilmuan dalam Mewujudkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin

Jihad santri masa kini

Ojo gumunan, ojo gampang kepincut. Sekabehane perkoro bakal ditimbang karo Miizanus Syari””

-Romo KH. Turaichan Adjuri (Kudus)-

Perkataan yang telah usang di atas, sudah selayaknya kita bangkitkan kembali. Mengingat, terjadinya serentetan peristiwa intoleran yang akhir-akhir ini melanda negara kita, Indonesia. Negara yang telah merdeka sejak 1945 dengan berbagai keunikan dan semua yang telah tertumpah dalam negara tercinta kita.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan agama. Sebagai negara majemuk, Indonesia tentu dapat menerima berbagai macam bentuk perbedaan. Selain itu, Indonesia dapat dijadikan sebagai wadah perkembangan beraneka macam budaya dan agama yang ada di masyarakat. Namun, selektif dalam menentukan budaya dan agama sangat diperlukan. Sebab, jika hal tersebut tidak diseleksi oleh pihak-pihak tertentu (pemerintah atau pihak berwajib), penyebaran kebudayaan dan agama akan berjalan bebas tanpa ada batasan yang mengikatnya.

 Hal tersebut dapat berakibat pada munculnya oknum-oknum yang fanatik dengan paham yang dianutnya, sehingga unsur toleransi antar agama atau budaya menjadi hilang. Lebih lanjut, tidak adanya sikap tasamuh (toleran) dalam bersosialisasi menjadi latar belakang perselisihan. Misalnya, perbedaan yang sering terlihat dalam memutuskan suatu perkara yang berbau agama. Ketika pendapat yang diungkapkan oleh seseorang dirasa kurang relevan dengan yang dianut, maka akan menimbulkan kesalahpahaman, bahkan menyalahkan dan saling mengkafirkan. Di situlah, sikap tasamuh (toleran) harusnya dijunjung tinggi. Namun yang terjadi justru berkebalikan, sikap tasamuh (toleran) diabaikan.

Dewasa ini, peristiwa menyedihkan yang kerap terjadi adalah menjadikan agama sebagai kambing hitam. Hal ini memberi dampak pada turunnya citra yang dimiliki oleh agama tersebut. Sebagai contohnya adalah agama Islam. Beberapa pengikutnya mengalami miskonsepsi dalam memahaminya, sehingga terjadi kebrutalan dalam beragama. Seperti munculnya terorisme yang mengatasnamakan dirinya sebagai pengikut agama Islam yang tengah berjihad. Tentu saja, pengikut yang berpandangan seperti ini adalah produk radikalis, sekelompok orang yang keras dalam membela agama Islam hingga melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Perbuatan yang mereka lakukan justru merendahkan Islam yang memiliki misi sebagai agama rahmatan lil alamin. Agama yang mengajarkan kasih sayang, agama yang fleksibel, tidak kaku dan memberi kenyamanan kepada umatnya.

Seperti berita yang beredar akhir-akhir ini, yaitu kasus seorang santri yang membawa tas dan kardus, kemudian dituduh oleh polisi sebagai seorang oknum teroris. Kasus semacam ini dapat melahirkan adanya labelisasi islamophobia, yaitu ketakutan dan kecemasan orang non Islam kepada pemeluk agama Islam yang terlibat dalam aksi terorisme. Lantas, apa sebenarnya yang melatarbelakangi adanya gerakan islam radikal sehingga memunculkan aksi teror?

Lemahnya Keimanan

Sifat keimanan yang lemah pada diri seseorang dapat menjadikannya mudah terpengaruh dalam pelancaran aksi terorisme. Hanya dengan janji dan imbalan yang tak seberapa, juga dengan alasan jihad fi sabilillah, mereka langsung tergiur untuk mengambil peran di dalamnya. Perlu diketahui bersama, arti kata jihad jika diterapkan di masa sekarang ialah jihad untuk menahan hawa nafsu dan jihad untuk melawan kebodohan. Karena jika jihad diartikan dengan makna aslinya, yakni berperang melawan musuh Allah, rasanya  tidak begitu cocok diterapkan di zaman yang sudah modern ini.

Arti dari Jihad fi sabilillah merupakan peperangan untuk memerangi musuh dengan meninggikan kalimat Allah. Ketika pejuang tersebut mati di medan perang, ia dikatakan mati syahid. Pemaknaan seperti ini tidak relevan jika diterapkan di masa sekarang, sebab tidak ada lagi seorang musuh yang harus diperangi secara kasat mata. Yang dibutuhkan pada era sekarang, yakni setiap individu mampu memerangi kebodohan dengan cara belajar ataupun bersungguh-sungguh di dalam menuntut ilmu.

Jihad melawan kebodohan harus menjadi sebuah parameter agar seorang individu mempunyai pondasi yang kuat mengenai masalah keilmuan. Ilmu merupakan pondasi utama untuk mengenal segala hal. Dengan adanya ilmu, cakrawala dunia akan terbuka. Ilmu sebagai kebutuhan primer harus dipenuhi oleh setiap individu dalam rangka melaksanakan aktivitas sehari-hari. Ilmu juga sebagai benteng pertahanan agar setiap individu tidak goyah dengan kultur-kultur atau nuansa baru yang dianggap asing. Sebab, seseorang yang berilmu dalam menyikapi suatu masalah akan lebih bijaksana dan tidak mudah heran dengan hal-hal baru, daripada orang yang tidak memiliki ilmu. Bukan hal yang mengherankan jika setiap hari bahkan setiap saat, individu pasti menemukan ilmu baru dimanapun dan kapanpun.

_20180520_233855

Sebegitu pentingnya ilmu, sehingga setiap individu harus lebih konsisten dan sungguh-sungguh dalam bidang keilmuan. Perlu diketahui bahwa ilmu yang dimiliki seseorang akan menjadi bekal hidupnya di dunia dan juga di akhirat. Ilmu berguna sebagai alat pernyempurna dalam beribadah kepada Allah SWT. Jika seseorang beribadah tanpa dilandasi dengan ilmu, ibadah yang dia lakukan sama saja terbuang sia-sia dan hanya mendapat capeknya saja, tanpa ada imbas perolehan pahala yang didapatkannya. Selain itu, amalan-amalan yang sifatnya baik juga membutuhkan ilmu sebagai metode pelaksanaannya, karena dengan ilmu lah akan sempurna suatu pekerjaan yang dilakukan seseorang.

Berkaitan dengan ilmu, ada beberapa etika yang harus diperhatikan para pencari ilmu. Seperti sabar, ikhlas beramal, bersedia mengamalkan ilmu yang telah didapat, menghafal dan tekun.  Selain itu, harus meyakini Allah dengan sepenuh hati serta memiliki rasa husnudzon kepada-Nya bahwa segala hal yang terjadi di dunia ini adalah ketetapan yang tidak bisa dirubah juga merupakan kunci sukses seorang pencari ilmu. Sebagai manusia hanya bisa berusaha dan bertawakkal.

Aspek yang dapat dijadikan kunci utama keberhasilan seseorang dalam upaya mencari ilmu,, salah satunya adalah memaksimalkan waktu dengan sebaik-baiknya. Dalam kitab Al Jawaabul Kaafi karya Ibnul Qayyim disebutkan bahwa Imam Syafii pernah mendapatkan pelajaran dari orang sufi. Inti nasehat tersebut terdiri dari dua penggalan kalimat berikut:

الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل

Waktu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya, maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia

Nasehat tersebut memberi peringatan pada manusia untuk senantiasa mengoptimalkan waktu dengan benar. Salah satu bentuk pengaplikasiannya ialah mengisi waktu yang ada dengan mengerjakan rutinitas amal sholih. Seperti halnya ketika hidup di lingkungan pesantren, yaitu dengan khidmah kepada para kyai. Jadikan diri kita sebagai orang yang selalu melayani para guru dan para kyai, dalam artian mengabdikan seluruh hidup kita pada dawuhnya serta menuruti segala perkataannya selama apa yang disampaikan tidak menyimpang dari syariat Islam.

Lebih lanjut, meneruskan perjuangan para kyai juga menjadi faktor pendukung keberhasilan dalam menuntut ilmu. Berbekal dengan ilmu agama yang sudah didapatkan selama di pesantren, sudah selayaknya seorang santri mampu berdakwah, meskipun materi yang disampaikan sederhana. Seperti tertera dalam bait Alfiyyah bab Idhofah:

وَمَا يَلِيْ الْمُضَافَ يَأْتِي خَلَفَا # عَنْهُ فِي الإعْرَابِ إِذَا مَا حُذِفَا

Dalam bait tersebut tersirat makna bahwasanya seorang santri adalah tongkat estafet perjuangan dan penerus seorang kyai, jika seorang kyai tersebut telah tiada. Maka, sebagai seorang santri harus siap dimanapun dan kapanpun untuk melanjutkan dakwah Kyainya. Hal ini dimaksudkan supaya ilmu tersebut tidak akan putus dan sia-sia begitu saja.

Perlu juga kita tengok keberhasilan dakwah para wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Dengan berbagai metode sesuai dengan konteks Islam rahmatan lil alamin. Hal tersebut dapat memikat hati para pengikut agar tertarik dengan agama Islam dan memiliki  niat untuk mendalaminya. Sebagai suri tauladan, Sunan Kalijaga dengan metode dakwahnya yang memainkan berbagai jenis budaya, kesenian, dan tembang-tembang. Selain itu, kita juga dapat ambil teladan dari seorang ulama besar KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) dan KH. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdlatul Ulama), meskipun mereka lahir dari nuansa aliran yang berbeda, mereka lah yang menjadi pelopor pembangun kerukunan. Hal ini adalah salah satu konsep dakwah sebagai sarana pemersatuan umat agar berada pada satu jalan, yakni mencari ridha Allah SWT.

Menjaga Keistiqomahan

Berkaca pada penjelasan di atas, ilmu merupakan hal yang penting dijadikan bekal dalam beragama. Salah satu sifat yang harus dimiliki seorang individu agar berhasil dalam menuntut ilmu adalah istiqomah (ajeg, kontinu). Sebab dengan sifat istiqomah, ilmu yang kita dapat akan lebih bermakna dan mudah untuk diterima. Bukan hanya mudah diterima, akan tetapi ilmu tersebut akan bertahan lama, dan tidak mudah hilang.

Dengan begitu, sifat istiqomah harus senantiasa dijadikan landasan agar seseorang terus mencari dan menambah lagi tentang berbagai pengetahuan ilmu yang belum dia ketahui. Sehingga dia sadar bahwa ilmu yang dimiliki belum seberapa jika dibandingkan dengan ilmunya Allah, meskipun luasnya lautan dijadikan tinta untuk menulis ilmu-Nya, tetap tidak akan mencukupi. Allah SWT berfirman dalam surah Al- Mujadalah ayat 11:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat tersebut menjelaskan betapa mulianya orang yang mempunyai ilmu. Orang yang berilmu akan menyikapi kejadian atau hal-hal baru dengan keilmuan yang dimiliki. Mereka akan lebih bijaksana dalam bersikap, sebagaimana yang diungkapkan oleh Romo KH. Turaichan Adjuri (Kudus) Ojo gumunan, ojo gampang kepincut. Sekabehane perkoro bakal di timbang karo Miizanus Syari””. Dalam ungkapan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memiliki ilmu nantinya akan mempertimbangkan hal-hal yang lebih baik, sehingga ia tidak mudah terpengaruh dengan sesuatu yang dianggapnya tidak baik.

Pentingnya sebuah ilmu sudah selayaknya dijadikan pengingat dan peringatan bagi setiap individu. Disadari atau tidak, semakin hari banyak fenomena dan kejadian yang mengancam Indonesia disebabkan kurangnya keilmuan dalam beberapa hal. Adanya kasus terorisme yang marak terjadi akhir-akhir ini menjadi sebuah refleksi, sebab orang yang ikut berkecimpung dalam kasus tersebut memiliki pemahaman yang dangkal akan keilmuan yang dimiliki. Sehingga dengan mudahnya,  mereka terhasut oleh rayuan berkedok jihad fisabilillah. Jika kondisi tersebut tidak segera diatasi, perpecahan di kalangan umat akan semakin merajalela. Islam tidak lagi dipandang sebagai agama yang damai, agama yang melindungi umatnya, agama yang menjunjung tinggi sikap toleransi. Akan tetapi Islam akan dimaknai sebagai agama yang kaku, agama yang keras, dan agama yang intoleran.

Sebagai umat Islam yang keislamannya sudah mengakar dalam hati, tentu tidak mau kondisi seperti terus terjadi. Oleh karena itu, tanamkan iman yang kuat dan bangkitkan rasa semangat untuk terus mendalami ilmu Allah. Sebab, selain iman yang kuat, ilmu juga bisa membuat orang bahagia. Ilmu dapat mewujudkan perdamaian umat dan menjaga kemaslahatan bersama. Selain itu, hal yang lebih prinsipil yaitu niatkan segala sesuatu yang dilakukan untuk mengharap ridho Allah SWT supaya hidup yang dijalani penuh dengan keberkahan.

Penulis adalah santri Asrama B17; Muhammad Aulia Rizal F.