Be-songo.or.id-Gerakan literasi kembali dimunculkan dan ramai menjadi bahan perbicangan dunia pendidikan, tak terkecuali bagi komunitas pesantren. Hal ini lahir sebab transformasi kehidupan yang banyak bergeser menuju digitalisasi, yang, dahulu masih terbatas pada ruang lingkup pengajar -kalau di pesantren ada sosok kiai/ustaz, pelajar atau santri, dan buku atau kitab.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berperan sebagai literate dan society. Literate yangberarti melek huruf (terpelajar) dan society berartimasyarakat. Pesantren berperan memberantas buta huruf dalam ruang lingkup masyarakat luas dengan cara bertahap. Komunitas ini tumbuh dari masyarakat, untuk masyarakat dan kembali ke masyarakat. Sehingga Gus Dur menambahkan, literate society berkaitan dengan cultural literacy (literasi budaya), karena pesantren tetap dibutuhkan oleh masyarakat sampai kapanpun.
Konsep literasi sebenarnya telah disinggung dalam Surah al-Alaq ayat 1, “Bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang Maha pemurah.” Quraish Syihab membaca kata iqra’ yang memiliki arti bacalah bukan terbatas pada perintah membaca saja, namun juga menulis. Ia menambahkan, Surah tersebut juga berisi perintah untuk meningkatkan kualitas hidup dengan terus belajar dan berinovasi. Berangkat dari pesan al-Qur’an tersebut, pesantren beradaptasi dengan berbagai literatur. Lantas bagaimana perkembangan literasi di dunia pesantren?
Perjalanan Panjang Literasi Pesantren
Dilihat dari kacamata pendidikan, pesantren merupakan wadah kajian literasi berbasis agama. Pesantren juga dianggap ladang terciptanya pendidikan karakter karena menerapkan kehidupan yang religius dan beradab. Tidak salah kalau kemudian pesantren selalu melekatkan tafaqquh fid diin (pemahaman agama yang komprehensif)dalam dirinya. Kajian ilmu agama sudah melekat dalam lingkup literasi di pesantren, khususnya membaca al Qur’an dan kitab kuning. Seperti yang dijelaskan oleh Qomar dan Dhofier, pesantren merujuk pada religious oriented atau sebagai peletak dasar pendidikan agama di masyarakat.
Naskah Sajarah Banten menjadi salah satu saksi perhatian Sultan Banten terhadap literasi pesantren. Atas dorongan Sunan Gunung Djati, Sultan Banten kemudian menggagas Gerakan Wakaf Kitab untuk menjaga tradisi literasi dalam dunia pesantren. Menurut Zamakhsyari, kitab kuning dihubungkan dengan intelektual para ulama, karena penguasaan terhadap kitab turats menjadi identitas pesantren yang harus dipelajari secara mendalam. Beberapa kitab yang sering dikaji pesantren mulai dari Safinatun Najah, Fathul Qarib, Fathul Mu’in pada kajian fikih. Bulughul Maram, Riyadhus Shalihin, Sahih Bukhari, dan Shahih Muslim pada kajian hadis. Serta beberapa kitab lainnya dari fan ilmu tauhid, akhlak tasawuf, ilmu al-Qur’an, tafsir dan sebagainya.
Kurikulum yang dibuat pesantren juga masih tradisional sesuai kelas keilmuan santri, melalui sistem bandongan, sorogan, hafalan, lalaran, hingga musyawarah. Pada satu sisi pesantren selalu berusaha menjaga keautentikkan transmisi pengetahuan yang dilalui dengan menjaga sanad keilmuan, biasanya melalui ijazah atau syahadah. Namun di sisi lainnya, literasi pesantren masih terbatas konseptual saja. Minimnya akses yang didapat para santri juga membuat pesantren cenderung tertinggal dibanding pendidikan formal (Nurul, 2020). Kenyataan ini membawa pada tantangan yang dihadapi pesantren di tengah digitalisasi yang banyak digandrungi masyarakat modern.
Tantangan Literasi Santri di Era Digital
Seiring perkembangan zaman, pesantren mampu menampilkan wajah barunya. Pesantren bukan hanya sebagai wadah pengkaji ilmu agama, namun tampil dalam beranda teknologi sehingga fungsi dakwah pesantren semakin pesat. KH. Anis Maftuhin mengatakan di era digital seperti saat ini sudah saatnya santri hadir untuk mengolah literasi pesantren untuk masyarakat.
Pada akhirnya, pesantren dikenalkan dengan istilah “literasi digital”. Menurut Bawden yang kemudian dikutip oleh M. Badruz Zaman, yakni kemampuan mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi melalui piranti digital (Potret Moderasi Pesantren, 2021). Tak ayal kalau arus informasi dewasa ini, memiliki lingkup yang tak terbatas. Bagi pesantren, literasi digital bisa menjadi tantangan sekaligus membuka peluang keberhasilan mengawal dunia modern.
Bambang Ma’arif (Sadly, 2018) menjelaskan pemanfaatan media digital untuk dakwah menjadi penembus ruang dan waktu yang dianggap efektif dan meningkatkan peminat dan konsentrasi ulama untuk meperluas jangkauannya. Namun untuk terjun dalam dunia siber, pesantren perlu melihat adanya empat unsur keberhasilan yang kita sebut dengan analisis SWOT; strengths (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunities (peluang), dan threats (ancaman). Pesantren harus melihat jati dirinya dari berbagai sisi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki untuk meneropong celah emasnya sekaligus mawas diri terhadap tak terbatasnya ruang digital.
Pesantren pada umumnya memegang satu kaidah untuk penguatan identitas sembari melakukan inovasi dan kreasi yang diperlukan.
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحْ وَاْلاَخْذُ بِالْجَدِيْدِ اْلاَصْلَحِ
“Mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan menginovasikan nilai-nilai baru yang lebih baik.”
Tradisi kutub at-turats yang berjalan di dunia pesantren bukan berarti ditinggalkan, sebaliknya lebih dikuatkan. Pada saat yang bersamaan, pesantren turut aktif melakukan pengkajian seperangkat ilmu modern berbasis teknologi. Boleh jadi ruang digital menjadi sebuah keniscayaan bagi pesantren untuk digalakkan lebih serius demi keberhasilannya mewarnai literasi ala pesantren. Gus Dur menambahkan, pesantren tidak akan mengalami ketertinggalan jika mampu menjalani perannya sebagai lembaga pendidikan dan dakwah. Bagi penulis, Gus Dur memberikan pesan kepada kaum santri untuk istiqamah mengkaji dan tampil percaya diri, lebih luas lagi dalam platform digital.
Sumber: Halaqah Ta’aruf Orientasi Santri (TOS) Jum’at, (13/8/2021) bertajuk “Digital Literacy Movement: Bagaimana Formulasi dari Santri?