Sebagaimana bulan Desember lalu, KH. Bukhori Masruri kembali mengahadiri halaqah rutin yang diselenggarakan Pondok Pesantren Darul Falah (Dafa) Be-Songo. Sesi kedua ini dilaksanakan pada Sabtu Malam (03/01) di Musholla Raudhotul Jannah Ngaliyan, Semarang. Antusiasme para santri, asatidz, dan program Pendidikan Kader Ulama (PKU) Dafa Be-Songo terlihat saat ikut berpartisipasi dalam halaqah pada malam tersebut.
Bapak Bukhori, begitu beliau akrab disapa, mengawali halaqah dengan melantunkan ayat 122 Surat at-Taubah:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Melalui ayat tersebut, Bapak Bukhori menegaskan bahwa tugas orang yang belajar di pondok pesantren (santri) ada dua. Pertama yaitu memperdalam ilmu agama (لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ). Tugas santri di pondok pesantren adalah memperdalam ilmu agama. Dalam tanda kutip menjadi seorang thalib (orang yang mecari ilmu), bukan tilmidz (orang yang menerima atau menampung). Ilmu yang didapatkan oleh thalib akan lebih melekat dibandingkan menjadi tilmidz. Sebab ketika guru menyampaikan materi, tilmidz hanya menerima dan menampung penjelasan yang disampaikan guru. Sedangkan ilmu yang didapatkan oleh thalib berasal dari muthala’ah sendiri. Bahkan akan mendapatkan pengetahuan lain dari banyaknya referensi yang dikaji. Selain dari buku, kitab dan bertanya kepada gurunya, internet juga bisa menjadi sumber ilmu bagi thalib untuk menambah pengetahuan lebih luas.
Tugas santri yang kedua ialah وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ (Dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya). Ayat ini mengisyaratkan bahwa setelah menyelesaikan studinya di pondok pesantren, tugas santri adalah menjadi mursyidul ummah (seorang pembimbing bagi umatnya). Pada tahap ini, lingkungan yang dihadapi santri bukan lagi seperti di pondok pesantren, melainkan kehidupan masyarakat. Dimana permasalahan yang dihadapi tentu berbeda dan lebih sulit.
Ayat وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ dan لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ saling berelevansi antara memperdalam ilmu dan menjadi pembimbing umat. Karena tidak mungkin jika seseorang belajar agama di pondok pesantren selamanya. Tapi tidak mungkin pula ilmu agama bisa dikuasai dalam waktu yang singkat dan terbatas.
Selanjutnya Pak Bukhori menjelaskan bahwa ketika santri sudah terjun ke masyarakat dan berkedudukan sebagai kiai, janganlah menjadi seorang hakimul ummah. Jadilah mursyidul ummah yang memberi arahan dan bimbingan kepada masyarakat dengan perilaku yang mendidik, arif dan bijaksana. Di antara golongan yang termasuk mursyidul ummah yakni da’i, mubaligh, dan seorang yang menyebarkan ajaran agama Islam.
Sikap yang dimiliki hakimul ummah dalam menilai persoalan hanya mengukur dari sisi halal-haramnya saja tanpa memandang seluk-beluk permasalahan yang dialami umat masyarakat. Sedangkan seorang mursyid tidak akan mengambil jalan kekerasan dalam menyelesaikan problematika masyarakat. Melainkan musyawarah bersama dengan mengetahui penyebab utama konflik, kemudian ditemukan solusinya. Dalam proses pemecahan masalah akan tercipta konsep dan ilmu baru. Karena Nabi SAW telah bersabda, “Barang siapa yang mengamalkan satu ilmu maka ia akan diberikan oleh Allah ilmu yang belum diketahui sebelumnya.”
Di samping menjadi mursyidul ummah, kiai juga harus paham tentang ketatanegaran, tatanan hukum, komunikasi, dan publisistik. Karena kiai hidup di suatu negara berlandaskan hukum sehingga beliau mendapat tuntutan untuk memahami tatatan hukum negara. Jangan memandang bahwa segala yang ada dunia ini hanya hitam dan putih saja. Karena di antara hitam dan putih ada abu-abu yang sangat banyak.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa santri lulusan pondok pesantren yang kemudian menjadi seorang mubaligh atau kiai, janganlah menjadi seorang hakimul ummah yang hanya menghukumi halal atau haram. Tetapi jadilah mursyidul ummah yang dapat memahami dan membimbing umatnya ke jalan yang benar, damai, serta tanpa kekerasan.
(Salma Khoirunnisaa’ Arribaath)