-16 Mei 2016-
Terik matahari pagi ini begitu menyilaukan. Jalanan kota terlihat ramai oleh padat kendaraan membuat asap-asap knalpot beterbangan ke segala arah. Langit terlihat cerah dipenuhi awan-awan yang menyusun harapan di atas sana. Aku melangkah mantap. Mataku menatap lurus ke depan tertuju pada gerbang hijau bertuliskan “Pondok Pesantren Hadil Iman.” Ku langkahkan kakiku menuju bangku di depan gerbang dan menjatuhkan tubuhku di sana. Saat aku mulai sibuk memandangi bangunan hijau tua yang tersaji di depanku, saat itulah memoriku kembali pada kenangan beberapa tahun silam.
-10 tahun yang lalu-
“Sal, kemarin tugas dari Ustadz Fuad cuma disuruh menulis biografi tokoh Thoriqoh Syadziliyah kan?” Pertanyaan Fatiha membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya Fat.” Jawabku singkat tanpa mengalihkan pandanganku.
Suasana kelas begitu hening karena masih dalam jam aktif belajar. Terlihat satu dua orang muroja’ah di sudut kelas dan sisanya tidur.
“Salma, ke kantin yuk. Aku bosen nih di kelas, sepi banget kaya kuburan.” Kembali Fatiha membuyarkan lamunanku sambil menarik-narik tanganku.
“Nggak ah, takut nanti Ustadz rawuh”. Kilahku mencoba menolak permintaan Fatiha.
Bukan apa-apa, entah mengapa aku lebih suka keheningan. Aku lebih nyaman berada di tempat sepi daripada harus berada di lingkungan yang ramai. Karena pada kesendirianku, aku lebih bisa menemukan kedamaian.
***
“Pada jadi superman semua?” Seruan Ustadz Ashfa tiba-tiba mengagetkanku.
“Akhwatiy, qumnaa, Jaa’al Ustadz!” Suara Zida yang nyaring bagai toa langsung membangunkan teman-teman seketika.
Pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung khdimat. Mungkin karena aku tak begitu menyukainya, pelajaran kali ini terasa begitu lama. Tak hanya itu, nilaiku selalu anjlok dan kembali hari ini aku harus menjalani ulangan susulan atau lebih tepatnya remidi. Dari 34 siswi, 4 diantaranya harus mengulang dan aku termasuk di dalamnya. Sungguh memalukan.
“Salma, bisa ke sini sebentar?” Teguran Ustadz Fuad membuat perasaanku tidak karuan.
“Kamu mau mengulang remidi berapa kali? Nilaimu masih sama seperti kemarin. Kamu harus lebih sungguh-sungguh lagi. Dan jangan lupa perbanyak membaca. Karena itu salah satu jurus dalam menguasai bidang bahasa.” Panjang lebar beliau menceramahiku.
Perkataan Ustadz Ashfa membuatku diam tak berkutik. Aku kembali ke tempat dudukku dengan perasaan campur aduk.
Sesampainya di pondok, aku memandangi tempelan-tempelan kertas yang ku pajang di tembok ranjangku. Aku segera menulis targetku yang ke 40, “menjadi penulis yang menginspirasi.” Cambuk motivasi dari Ustadz Ashfa membuatku ingin menempatkan hal yang selama ini tidak ku minati menjadi bagian dari target-targetku. Yah, meskipun aku pikir itu mustahil. Tapi setidaknya, aku mengawali tekadku dengan mimpi dan tak lupa ku sertakan usaha dan doa. Bukankah tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak?
***
Malam ini, usai kajian kitab, pengurus pondok mendatangi kamar satu per satu untuk mendata anggota baru pelatihan kepenulisan. Entah mengapa aku langsung tertarik. Kegiatan itu dilaksanakan hari Sabtu sore dikarenakan hari itu tidak ada pembelajaran diniyyah.
“Saya minta setiap dari kalian membuat 10 kalimat yang saling berhubungan dalam waktu 2 menit.”Perintah Ustadz Faishal selaku tutor jurnalistik pada kegiatan kepenulisan perdana sore ini.
Inilah pertama kalinya aku terjun langsung di dunia jurnalistik atas kemauanku sendiri. Tanpa pikir panjang, aku langsung menulis kalimat yang ada dipikiranku. Ketika waktunya selesai, Ustadz Fuad memandang ke sekeliling dan berhenti tepat ke arahku.
“Mbak berkacamata yang di pojok, tolong bacakan kalimat-kalimatmu.” Seru Ustadz Faishal dari tempatnya berdiri.
Aku seketika berdiri tanpa dikomando lagi dan langsung membacakan tulisanku. Tak sedikit teman-teman yang menertawakanku. Kalimatku terlalu wagu, begitu kata mereka. Tapi itu tak membuatku malu. Setidaknya aku sudah berani mengeluarkan ide-ideku. Ketika kegiatan telah usai, Ustadz Faishal menghampiriku di ujung pintu.
“Saya tahu mbak, sebenarnya sampeyan punya bakat dalam kepenulisan. Sampeyan hanya perlu mengasahnya lagi. Teruslah berlatih dan jangan lupa gunakan tips-tips yang sudah saya sampaikan tadi. Karena untuk menjadi sukses itu tidak bisa langsung instan. Perlu adanya proses meskipun itu berliku-liku.” Ucapan Ustadz Faishal membuatku tak habis pikir. Baru kali ini ada yang mengatakan bahwa aku mempunyai bakat menulis.
***
Sesampainya di kamar, dengan semangat baru aku mencoba mencorat-coret buku sesuai saran dari Ustadz Faishal, seseorang yang telah mendobrak keterbelengguanku untuk mengembangkan bakat yang sebenarnya masih menjadi tanda tanya bagiku.
“Sal, kamu lagi ngapain sih? Tak lihatin dari tadi sibuk nulis terus. Eh, tempelan-tempelan kertasmu makin banyak ya Sal. Wah keren banget.” Cerocos Zida sambil mengamati kertas-kertas yang baru saja aku tempel. Kertas-kertas itu berisi kata-kata motivasi dan target-targetku.
“Iya, Zid, aku ingin memulai mimpi baruku yang aneh ini. Bayangin Zid, dari zaman SD sampai sekarang, aku paling nggak suka yang namanya jurnalistik, sastra, karangan dan kawan-kawannya itu. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku mulai tertarik Zid.” Ucapku pada Zida dengan mata berkaca-kaca.
“Alhamdulillah jika demikian, Sal. Itu berarti kamu akan segera lepas dari jeratan yang selama ini menghalangimu untuk mengembangkan bakatmu. Lagian Sal, jangan terlalu membenci sesuatu. Bisa jadi sesuatu yang kamu benci itu menjadi jalan yang akan mengantarkanmu pada kesuksesan. Semangat ya, Sal. Aku yakin kok suatu saat kamu pasti bisa jadi penulis terkenal.” Kata Zida sambil menepuk-nepuk pundakku.
Aku senang sekali. Ternyata banyak orang yang mendukungku. Aku tak boleh mengecewakan mereka.
“Sal, lihat deh bagian rubrik puisi. Kayaknya aku pernah baca tulisan ini, deh. Tapi dimana ya Sal?” tanya Fatiha sambil mengingat-ingat. Aku hanya tersenyum.
“Eh Sal, ini kan nama yang sering kamu cantumin di buku coretanmu? Oh iya, aku pernah membacanya di bukumu itu. Lho, jangan-jangan ini tulisanmu ya Sal?” Tanyanya lagi dengan nada tak percaya.
“Hehe. Kemarin sih aku cuma iseng-iseng ngirim ke panitia majalah sekolah. Aku juga kaget kok bisa dimuat.” Jawabku agak malu-malu.
“Kamu keren banget, Sal. Aku bangga deh sama kamu.” Seru Fatiha sambil menarik hidungku.
Ketika liburan semester tiba, aku memutuskan tidak pulang karena ingin mewujudkan impianku, membuat novel. Aku ingin fokus menyelesaikan novel pertamaku yang sudah lebih dari setengah jalan. Tiga bulan lamanya aku merancang pembuatan novel perdanaku. Dan liburan ini aku menghabiskan waktuku di tanah perantauan. Targetku awal tahun ajaran baru aku akan mengirimkan novel itu ke penerbit. Terlalu berani memang. Tapi selama melibatkan Allah, semua tak ada yang tidak mungkin.
Hingga pada akhirnya, novelku berhasil ku selesaikan sesuai targetku. Di hari terakhir liburan, aku pergi ke tempat penerbitan yang cukup jauh dari pondok. Satu minggu setelah pengiriman novelku, pihak penerbit memberitahuku bahwa novelku adalah karya yang layak terbit. Aku sungguh tak percaya. Novel yang ku beri judul “Mata Hati” akan segera diterbitkan. Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu Ya Rabb.
-SKIP-
“Lho, kamu Salma Maulida, kan? Alumni pondok Hadil Iman?” Sapaan Ustadz Ashfa membuatku tersadar dari lamunanku.
“Iya, Ustadz.” Jawabku sambil tersenyum.
“Masya Allah, ternyata sosok penulis yang dikagumi para santri itu adalah kamu. Saya bangga sekali. Kamu mampu membuktikan bahwa ketidaktahuan bukan berarti harus menyerah begitu saja. Tapi bagaimana cara kita untuk mengubah ketidaktahuan itu menjadi jalan kesuksesan. Hasil tak pernah mengkhianati proses, Sal. Semoga Allah selalu memberkahi setiap usahamu.” Tutur Ustadz Ashfa panjang lebar.
“Aamiin Yaa Rabb. Jazakallah khair, Ustadz. Semua ini juga tak lepas dari peran Ustadz.”
Aku memasuki sebuah aula yang sangat tidak asing bagiku. Aula yang dulu menjadi tempatku menghabiskan masa putih abu-abu. Tempat yang menjadi saksi bisuku menyusun kenangan-kenangan dari yang pahit hingga yang manis. Tempat yang telah merubahku menjadi sosok penulis, sesuai targetku yang ke-40 itu. Sorakan dari para santriwan dan santriwati menyambutku, turut memeriahkan acara bedah buku untuk novel kelimaku yang berjudul “Samudera Asa.”
|Alfi Hurairah| Penulis adalah santriwati asrama A7