Be-songo.or.id

Menulis: Belajar, Berjuang, Beribadah

Menulis: Belajar, Berjuang, Beribadah

Sudah waktunya kita membuka cara pandang baru yang lebih luas; bahwa ruang kreatif santri di pergumulan masyarakat tidak hanya berhenti pada prestasi lisan. Sedikit menengok dunia di luar pesantren sana, pergumulan bahkan pertarungan wacana meliuk begitu liar melalui tradisi tulis. Tulisan menyuguhkan wacanan yang lebih kuat dibanding lisan. Ia memiliki dampak yang lebih luas, dan tidak sekali pakai.

Amsal sederhana, wacana Islam Liberal tidak akan menjadi seheboh itu, jika hanya ditularkan dari panggung ke panggung, pidato ke pidato. Mereka mambangun kekuatan dan ideologi lewat tulisan. Dalam waktu singkat, mereka menjadi “artis” dalam pergumulan wacana Islam.

Amsal lain, coba kita bayangkan, mengapa kita dapat menikmati kedahsyatan kitab Ihya’ Ulumuddin, Al Umm, atau Taqrib? Sebab apa yang terserak di dalamnya disajikan dengan tulisan, dan tidak dengan pidato-pidato. Jika ulama’  zaman itu tidak berpikir tentang keberlanjutan masa depan keilmuan Islam, mereka tidak akan menulis, tapi hanya melakukan lawatan ceramah dari kota ke kota. Keilmuan mereka tetap tertular, tapi paling banter hanya sampai pada satu kurun generasi, dan setelah itu lenyap. Begitulah yang dialami dengan pemikiran madzhab selain madzhab empat, pemikiran mereka lenyap tanpa bekas, karena ia tidak menulisnya. Kita bayangkan, seandainya Umar tidak mengkodifikasi Al Qur’an, Al Bukhori, Muslim, tidak menulis hadits, Al Ghazali tidak pernah menulis Ihya’ nya, imam Syafi’i tidak pernah menulis Al Umm, maka hari ini kita tidak akan mengenal Islam, fikih, tasawuf, hadits, dan seterusnya.  Kita akan menjadi generasi yang lenyap.

Tapi buktinya, kita masih memiliki peradaban hingga sekarang. Masih dapat merayakan aktifitas ilmiah, kita masih dituntun serangkaian aksara yang terususun rapih dalam tumpukan kitab itu.

Tradisi ilmiah pesantren sebenarnya telah merupakan peradaban yang luar biasa. Ia tetap kukuh dengan siraman keilmuan “geninue” berbasis kitab kuning. Orang pesantren belajar dari kitab kuning dan mensakralkan. Kitab kuning adalah segala-galanya.

Namun, selama ini kita baru mampu mengapresiasi kitab kuning dalam tradisi yang lisan, dan membumikan ajarannya dalam metode lisan. Akibatnya, kitab kuning yang kaya itu tidak mampu dieksplorasi secara maksimal, sulit untuk membumi, karena hanya dihafalkan untuk disampaikan secara lisan. Inilah yang membuat tradisi keilmuan pesantren sering dituduh mengalami stagnasi.

Agaknya, tradisi kepenulisan di pesantren perlu disemai kembali.  Harus ada gaya belajar baru, yang akan melengkapi sorogan, bandongan, musyawarah, atau muhafadzoh yang bersifat lisan itu. Kita perlu mencoba gaya belajar berbasis kepenulisan. Santri tidak hanya dituntut untuk mampu menghafal sekian bait alfiyyah, menjenggoti kitab, atau mampu berdebat dalam forum bahtsul masa’il. Santri juga harus mampu membuat apa yang ia hafalkan, yang ia temukan dalam lipatan-lipatan halaman kitab, yang ia bincangkan di forum musyawarah, menjadi tulisan.

Pertama-tama kita harus sependapat, bahwa menulis adalah bagian dari cara untuk belajar. Dengan menulis, santri akan mengalami proses kreatif-intelektual; mencari informasi, berpikir, menganalisis, dan menuangkannya dalam tulisan. Menulis tidak sekadar menjadi keterampilan, tapi menjadi metodologi dalam belajar.

Kedua, kita juga perlu menjadi percaya, bahwa menulis adalah ibadah, jihad, pengabdian masyarakat. Tidak hanya memberikan mau’idhoh di panggung pengajian yang menjadi orientasi perjuangan santri di tengah masyarakat. Dengan menulis, santri juga dapat membangun masyarakat, melakukan dakwah lewat tulisan. Menulis menjadi sedekah, yang tidak sekali tampil. Ia adalah sedekah yang abadi, sekalipunn yang menulis telah mati, tulisan itu tetap hidup dan memberi “kehidupan”. Begitu yang terjadi dengan mahakarya para ulama’ kita.