Berita

PSB

Min Haitsu La Yahtasib

Sumber: https://free.facebook.com/orping.t7/posts/lembar-kisah-penjual-opakkamis-11-juni-2015-pukul-1545-1615-wibandika-tak-pernah/1100690586613150/?_rdc=1&_rdr
Sumber: https://free.facebook.com/orping.t7/posts/lembar-kisah-penjual-opakkamis-11-juni-2015-pukul-1545-1615-wibandika-tak-pernah/1100690586613150/?_rdc=1&_rdr

(Oleh: Qurrotun Ayun Wulandari)*

Be-songo.or.id – Sang penerang bumi memancarkan cahaya kemerahan, cahayanya begitu menyejukkan hati. Cahaya itu memikat para ayam untuk berkokok, dengan suara yang khas, Suara merdunya mampu membangunkan seisi penghuni desa, mereka mulai menjalankan aktifitas seperti biasanya, begitupun dengan anak kecil itu, dengan berat hati ia membuka mata mungilnya penuh hati-hati, dilihatnya jarum panjang di balik kaca kusam yang tergantung di dinding atas kamarnya, jarum itu menunjukkan ke arah angka lima. Dengan sigap ia bangun kemudian berlari keluar kamar yang berukuran tidak lebih besar dari kandang ayam belakang rumahnya, sembari tangan kokohnya menyibak kain pemisah antara ruang satu dengan lainnya yang tergelantung di depannya.

“Ibu…, ibu…..,” ia memanggil dengan suara seraknya.
Ia melihat ibunya sedang meniup benda panjang dengan lobang berdiameter kurang lebih 3 inch yang di arahkan ke bara api di depannya.

“Ibu sedang apa…? biar saya saja yang melalukannya,” ia merebut benda itu, kemudian membantu ibunya untuk duduk lebih jauh dari si jago merah dan asap yang hampir memenuhi seisi ruangan kecil itu.

“Uhuk…uhukkk, tidak apa-apa nduk kamu bersiap saja pergi ke sekolah biar ibu yang menggoreng kerupuknya,” jawab sang ibu dengan lirih.
Cahaya merah di langit mulai berganti warna menjadi putih bersih. Ia berdiri didepan benda putih bening dan tembus pandang yang bisa melukis dirinya dengan sisi yang terbalik. Ia terus melihat dirinya dibenda tersebut sembari merapihkan rambut hitam pekat yang menutupi dahi lebarnya, dengan seragam lusuh dan sepatu yang telah berubah warna yang ia kenakan, ia bergegas keluar menjemput masa depan yang akan merubah nasibnya. Dengan kaki kokohnya ia terus berjalan menelusuri jalan sempit dan kumuh, perlahan air mulai keluar dari sela pori-pori tubuhnya yang membasahi hampir sekujur tubuhnya. Ia berjalan lebih dari 2 kilometer, karena jarak rumahnya ke sekolah memang jauh, namun tidak ada rasa sedikitpun ia sesali.

Matanya yang hitam bulat terus memandangi papan hitam yang penuh dengan noda putih, tangannya dengan gesit menggoyang-goyangkan benda panjang yang bisa mengeluarkan tinta hitam. Dengan tenang dan keseriusan ia mengikuti semua pelajaran dengan baik, ia dijuluki murid emas yang selalu memancarkan kilauannya. Ia sering mendapat pujian dari semua guru karena kecerdasannya, ia mengikuti berbagai perlombaan, tak jarang juga ia berhasil mendapatkan juara, ia salah satu murid yang multitalenta.

“Kringgg….,kring…,” bel pulang berbunyi, ia langsung berlari dengan kaki kokohnya menelusuri lorong-lorong kecil menuju gubuk tempat ia tinggal.
Bu Sarmi namanya, ibu dari anak kecil berumur kurang lebih seperempat dari umurnya, Bu Sarmi menderita penyakit Multiple sclerosis, penyakit yang disebabkan karena mylin mengalami kerusakan, kondisi imun yang  mempengaruhi sel saraf dalam otak dan tulang belakang, penyakit ini bisa mengakibatkan kelumpuhan, hampir 2,1 juta orang mengalami penyakit ini. Hal ini yang membuat bu Sarmi diam di rumah, namun dengan kondisi yang kian hari makin memburuk semangat hidupnya kian hari kian besar, Bu Sarmi lah satu-satunya yang ia punya. Setelah sampai di rumah ia langsung berganti pakaian. Ia mengambil bakul bambu yang berisi beberapa bungkus krupuk yang terbuat dari nasi ketan yang telah ia goreng pagi tadi.

“Krupuk, krupuk…., Bu krupuk gendar nya?” ia menawarkan barang dagangan yang dibawanya ke salah satu gerombolan ibu-ibu.

“Boten cung,” saut salah satu diantaranya. Ia terus berjalan dengan sisa tenaga yang dimilikinya, keringat mulai bercucuran di tubuh kecilnya, matahari mulai memancarkan amarahnya, angin tidak lagi mengeluarkan O², seolah-olah ada benteng besar yang menghalangi angin masuk dalam tubuh kecil yang basah penuh dengan air yang kecut. Sudah hampir dua jam ia berkeliling namun baru satu bungkus kerupuk saja yang terjual. Dilihatnya pohon palem, ia berteduh sambil melamun meratapi nasibnya.

“Andai saja bapak masih hidup, dan ibu tidak sakit-sakitan mungkin aku tidak akan megalami hal seperti ini,” dengan raut sedih dan berat hati ia mengucapkan kata-kata itu.
“Fazkuruunii Azkurkum Wasykuruu Lii wa Laa Takfuruun.”

“Cklik…,” suara itu terdengar begitu jelas di telingnya, ia harap itu adalah suara rezekinya. Benar saja tak lama ia memandangi mobil merah yang cukup lama diam di bawah pohon palem yang jaraknya tak jauh dari tempat ia berteduh. Terlihatnya sepatu yang mengkilap, celana yang rapih, baju yang bersih dan ramput yang tertata rapi bak bunga di taman. Dari kejauhan aroma wangi dari tubuhnya bisa ia rasakan sampai menembus hidung mancungnya. Ia terus melihat langkah demi langkahnya sampai ia tak sadar bahwa pria muda itu menghampirinya.

“Hai nak, aku beli semua barang daganganmu yaaa…!”
Ia langsung terkejut dengan apa yang pria itu katakan, seperti dalam khayalan yang amat sangat hingga menembus terowongan batas maksimal kehayalannya.

“Hei nak, apakah kamu mendengarkan ku?” ia berucap lagi.
“Ehhhh… i…ya… bapak, ehh… om, mau beli semua kerupukku?, semuanya 50 ribu rupiah,” seketika suaranya menjadi gagu, namun tangannya dengan gesit membungkus semua kerupuk sambil matanya berbinar-binar penuh dengan kebahagiaan. Lalu ia menyodorkan plastik hitam lusuh yang berisi krupuk itu ke pria yang ada di depannya.

“Yaaa ini, ambil saja kembaliannya untuk mu,” sambil memberikan selembar uang berwarna merah jambu.
Matanya hampir mengeluarkan air, namun ia usap dengan jarinya sebelum pria itu melihatnya, ia tidak mau membiarkan air itu jatuh ke pipi kenyalnya. Ia langsung bangkit dari duduknya dan pulang menemui ibunya, setelah beberapa langkah ia berjalan.

“Hei nak… tunggu sebentar,” pria itu memanggil nya kembali, lalu berdiri dan berjalan menghampiri anak kecil itu.
Ia menoleh dengan penuh keraguan.
“Nak ikutlah denganku, aku ingin membalas semua kebaikan orang tua mu dulu,” menatap tajam wajahnya.

Anak manis itu heran dengan kata yang telah ia dengar tadi, ia mulai ketakutan, dan beranggapan bahwa ia akan diculik, ingin rasanya kaki berputar sembilan puluh derajat dan lari sekuat mungkin, namun ia berusaha memberanikan diri untuk tetap berdiri di hadapannya dan positif thinking. Jika apa yang ada di pikirannya itu terjadi ia baru akan melakukan sesuatu entah apa itu.

“Aku tau ayahmu sudah meninggal sejak 5 tahun yang lalu, dan ibumu mulai sakit-sakitan setelah 3 tahun di tinggal oleh ayahmu, dulu ayahmu berwasiat kepadaku, aku harus menjagamu dan ibumu. Ayahmu telah menyelamatkan ku dari kematian. Sekarang saatnya aku membalas budi semua perbuatan mulia ayahmu, aku akan mengobati penyakit ibumu dan akan menyekolahkanmu sampai lulus kuliah,” berbicara dengan penuh keyakinan dan pengharapan agar anak itu percaya dengan apa yang ia sampaikan.

Ia tidak percaya dengan semua itu, namun itulah sebenarnya, keajaiban datang dengan tiba-tiba, hal yang tidak pernah terfikirkan sebelumnya kini terjadi kepadanya. Dua laki-laki itu pun pergi menuju gubuk tempat ia tinggal.

 

*Mahasiswi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang & Mahasantri Darul Falah Besongo Semarang.