Tidak hanya ulama laki-laki saja, tetapi banyak ulama perempuan yang berkontribusi dalam peradaban islam, kemajuan suatu peradaban tidak lepas dari perjuangan wanita yang ikut andil di dalamnya.
“Bahwasanya orang-orang saat ini kebanyakan mengetahui bahwa ulama identik dengan laki-laki,” ucap Arikhah Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Kota Semarang.
Arikhah menyampaikan hal itu secara daring melalui Live Siaran Digital TVRI Jawa Tengah dalam acara Nada dan Dakwah, Sabtu (25/03/2023).
Dikatakan, ulama perempuan itu berasal dari kata majemuk yaitu kata ulama dan perempuan. Ulama sendiri berasal dari bahasa arab yaitu jamak dari kata ‘alim yang artinya mengetahui, menguasai ilmu pengetahuan, yang itu tidak teroptasi oleh jenis ilmu atau gender tertentu. Sehingga, ilmu apa saja, jenis kelamin apa saja dia bisa menjadi ulama. Dalam pengertian ini sehingga kapasitasnya dalam memahami ilmu pengetahuan ini kemudian menjadikannya semakin takut kepada Allah dalam artian kemudian meningkatkan integritasnya.
“Sehingga ulama dalam pengertian ini punya arti, dia pemuka agama yang memahami sumber-sumber Islam secara baik. Sehingga, hal ini mewujudkan dia berakhlak mulia, kemudian juga melakukan tugas tugas bimbingan kepada umat secara baik dalam kehidupan sehari hari,” ujar Nyai Arikhah yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang.
Sedangkan perempuan, menurutnya dalam kongres ulama perempuan bisa bermakna secara biologis dan ideologis. Secara biologis dalam KBBI bahwa perempuan itu mahluk yang berkelamin perempuan, mengalami haid, kemudian hamil, melahirkan, menyusui. Maka dalam konteks keulamaan, muncul para ibu nyai yang punya kapasitas keulamaan.
“Tidak otomatis. Kalau dia istrinya pak kiai karena dinikahi oleh kiai, kemudian dia jadi bu nyai dalam konteks keulamaan karena kapasitasnya yang dihargai,” tuturnya.
Sedangkan dalam konteks ideologis bahwa ulama perempuan punya keberpihakan dalam memperjuangkan equality dalam kehidupan, kesamaan keadilan antara laki-laki dan perempuan, yang itu sesungguhnya harus dikembangkan.
Beliau menegaskan bahwa dalam Islam Allah menciptakan laki-laki dan perempuan tidak ada yang punya superioritas. Jadi, semua punya peran kebersamaan. Beliau menyontohkan hal tersebut bagaikan sepasang kasih dan sayap burung yang mengantarkan tubuh ke tempat tujuan.
Kemudian, lanjut beliau, dalam konteks ideologis ulama bisa laki-laki bisa perempuan yang punya perspektif pengembangan potensi laki-laki dan perempuan untuk tugas kebersamaan sebagai makhluk Allah sebagai Khalifah fil ardhi untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan bermartabat.
Beliau juga mengatakan bahwa kata orang jawa bagi perempuan ”suwargo nunut neroko katut” itu sudah mulai dikritisi. Karena sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan berjalan bersama-sama seiring dan sejalan, tidak saling menguasai, membantai atau memperdayakan, harus memberdayakan dan saling memberdayakan.
Oleh: Faiq Ridlo Al Amin (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)