Be-songo.or.id

PASCALIB 2022 : Peran Santri Ciptakan Ruang Aman Bebas Kekerasan

Ustazah Mutma’inah saat menyampaikan materi (gender equality) di B13 (foto/nada syifaur)

Be-songo.or.id – Semarang, Banyaknya tindak kekeraasan yang terjadi di indonesia, utamanya yang terjadi di pesantren menjadi hal yang tabu. Pesantren yang seharurnya menjadi ruang aman untuk belajar dan mendalami ilm agama menjadi tempat yang menyeramkan.

Itu menandakan bahwasanya tindak kekerasan berpotensi terjadi di manapun, termasuk salah satunya di Pesantren. Oleh karena itu pada serangkaian acara Pascalib 2022 Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang memasukkan sesi gender equality sebagai pemahaman mendasar bagi para santri, Senin (07/02/22) yang bertempat di Asrama B13.

Pada sesi kali ini materi yang disampaikan oleh Ustazah Mutma’inah menyinggung tentang optimalisasi peran santri dalam menciptakan ruang aman, bebas kekerasan di lingkungan masyarakat.

Kekerasan menjadi hal yang ramai diperbincangkan oleh media saat ini. Mulai dari kekerasan kekerasan fisik, psikologis, seksual, sosial, ekonomi. Dan Siapapun berpotensi menjadi korban, bahkan gender bukan menjadi perbedaan atas sasaran kekerasan tersebut.

“Karena yang ramai saat ini tindak kekerasan seksual terjadi di pesantren, kurang tertutup apa coba pakaian yang dikenakan oleh santriwati di pesantren. Dan mereka tetap saja menjadi korban,” jelasnya.

Peran pesantren disini adalah mengembangkan ajaran Islam dan pemeliharaan ortodoksi, karena pesantren dianggap sebagai representasi nilai-nilai keislaman. Dalam hal itu, perlu adanya wacana kesetaraan gender agar pengembangan bisa berjalan dengan baik.

“Kini sudah mulai banyak pesantren telah terlibat dalam penguatan wacana kesetaraan gender. Dan untuk melihat kesetaraan gender yang ada di pesantren itu salah satunya dengan melihat kurikulum yang diajarkan di pesantren tersebut,” ujar Beliau.

Kekhasan pesantren yaitu struktur hierarki beserta tradisi yang menopangnya menuntut kepatuhan dan sikap hormat para santri terhadap orang yang dinggap mulia di sana, seperti para Kiai, Gus, dan keluarga ndalem (keluarga kiai).

“Nah dari situ mematahkan sikap kritis para santri karena merasa apa saja yang dikatakan oleh mereka adalah benar,” teas dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora tersebut.

Langkah kita dalam menciptakan ruang anti kekerasan yakni, mengenali bentuk kekerasan, penguatan ideologi, implementasi nilai kesetaraan, sikap kritis, dan menyiapkan sistem pencegahan dan penanganan kekerasan.

Reporter: Salma Nuriya K.

Editor: Imam Mawardi