Besongo.or.id – Menanggapi peristiwa asusila yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. Khususnya kasus pelecehan seksual terhadap wanita. Mulai dari remaja hingga orang dewasa, pekerja maupun pelajar, yang notabene masih di bawah umur. Mirisnya pelaku pelecehan seksual, bukan hanya berasal dari pihak asing saja, melainkan dari orang-orang terdekat dan berpengaruh bagi korban pelecehan.
Kasus seperti ini kerap terjadi di lingkungan keluarga, pendidikan, tempat kerja dan bahkan tidak jarang pelakunya sendiri merupakan sosok yang berperan penting dalam lingkungan tersebut. Sebagai contohnya, kasus pelecehan seksual orang tua terhadap anak gadisnya, dosen terhadap mahasiswinya, bahkan guru agama terhadap santriwatinya.
Nadiem Anwar Makarim mengatakan ini saat bincang bersama Narasi di acara Mata Najwa pada 10 November 2021, bahwa pelecehan seksual sudah menjadi pandemik yang menyebar, pemerintah harus mengambil posisi yang keras dalam penanganan kasus ini.
Artinya pelecehan seksual, kini bisa diibaratkan sebagai wabah yang siap menjangkit siapa saja, terkhusus para wanita di mana pun mereka berada melalui segala bentuk aksi yang sulit dihindari. Oleh karenanya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) akhirnya menerbitkan aturan terkait pencegahan kekerasan seksual yang tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Faktanya, segala bentuk kriminalitas dan tindak asusila berupa pelecehan seksual tidak pernah dibenarkan dari segala sisi. Baik dari sisi agama, normalitas atau bahkan hukum. Meskipun demikian, berdasarkan survei dari kemendikbud yang disampaikan oleh Nadiem Makarim angka kekerasan seksual terhadap perempuan tahun 2021 ini meningkat. Terhitung sejak Januari 2021 – Juli 2021 telah terjadi 2.500 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Dapat disimpulkan dari pernyataan di atas bahwa tindak pelecehan seksual masih marak terjadi hingga kini. Upaya pencegahan dan penumpasan kasus ini dianggap tidak cukup mampu membendung banyaknya kasus pelecehan yang semakin meningkat setiap harinya. Parahnya lagi dari kasus ini beberapa dari korban dipaksa bungkam dan diancam pelaku untuk tidak melapor atau sekedar bercerita pada orang lain.
Belum lagi, tersorot berita segar tentang tindak pemerkosaan terhadap 13 santri putri di Tasikmalaya, Jawa Barat oleh guru agama bernama Hery Wirawan yang tentu saja menuai banyak polemik dan kritik atas kasus ini. Kemudian disusul dengan berita guru agama yang mencabuli 15 siswi SD sejak September 2021 dengan iming-iming nilai bagus dan dengan mudahnya pelaku mengatakan bahwa ini kekhilafan. Dalam kedua kasus ini, korban jelas tidak dapat disalahkan, sebagian dari korban bahkan anak-anak di bawah umur. Hanya pelaku yang pantas dikenai hukum bahkan dieksekusi bila perlu. Sebab, bukan hanya fisik yang dirusak, tetapi juga psikis, kesehatan akal dan mental korban.
Mirisnya lagi, kasus pelecehan seksual brutal seperti ini terjadi diruang lingkup pendidikan berbasis agama atau oleh masyarakat biasanya dilabeli dengan kata pesantren, yang tentunya norma agama sangat dijunjung tinggi. Korban pelecehan pun dari golongan peserta didik yang sudah pasti usianya masih di bawah umur dan seharusnya tidak memungkinkan pelaku sebagai pendidik untuk melakukan hal yang tidak senonoh seperti ini. Kasus ini akan menimbulkan paradigma bahwa ranah pendidikan pun tidak aman dan bahkan menjadi salah satu pemicu terjadinya tindakan asusila.
Pendidikan dan Agama (bukan bagian) Tindak Asusila
Lantas, apakah pendidikan dan agama tidak cukup menjadi tameng bagi para wanita dari bentuk pelecehan seksual?
Bukan hanya menjadi tameng, pendidikan dan agama seharusnya mampu menjadi pegangan dasar yang dapat membatasi manusia dalam bertindak, khususnya dalam melindungi hak asasi manusia atas wanita. Sangat disayangkan jika pelaku pelecehan merupakan seseorang yang berpendidikan dan memiliki bekal agama yang kuat, tapi dengan sadar melakukan tindak asusila dan keji berbau seksualitas terhadap korban tanpa memikirkan akibat fatal yang berdampak sampai seumur hidup.
Yang terpenting kita bukan berbicara soal seberapa berat hukuman yang akan ditanggung oleh pelaku, tapi tentang kesehatan akal dan mental korban yang rusak akibat dilecehkan. Apalagi jika pelaku merupakan sosok yang berpengaruh dan dekat dengan korban. Bayangkan, sosok yang seharusnya bisa selalu melindungi dan menjaga, justru menjadi predator seksual yang menerkam korban secara tidak terduga.
Bahkan menurut Muyassarohtul Hafidzah, pegiat gender sekaligus penulis novel Hilda. Menjelaskan bahwa hukum bagi kejahatan pemerkosaan itu jauh lebih berat daripada hukum zina, karena tindakan ini membunuh mimpi seorang wanita, menghancurkan masa depannya, dan membuat luka yang tidak bisa disembuhkan. Oleh karena itu Muyassaroh memperjelas dalam bukunya bahwa pemerkosaan ini termasuk kategori hirabah (aksi tindakan kekerasan berkelompok yang dapat melukai bahkan menghilangkan nyawa korban).
Mari pikirkan jika kita berada diposisi yang sama, setidaknya sekedar membayangkan orang terdekat kita mengalami hal yang sama dengan korban. Tidak ada pembelaan yang pantas terhadap pelaku pelecehan, entah dari sisi agama, rasionalitas, maupun normalitas. Sedangkan masih banyak kasus pelecehan yang terbungkam, masih banyak korban yang tidak berani melapor bahkan pelakunya masih bebas berkeliaran. Mirisnya ketika korban melaporkan ke pihak berwenang prosesnya tidak mudah dan bahkan dipersulit karena dalih bukti-bukti yang harus ada ketika melaporkan, padahal bukti nyata dari tindakan kekerasan seksual ini adalah korban itu sendiri. Dan ketika bercerita kepada teman, kerabat atau bahkan keluarga itu hanya menjadi aib yang memalukan, padahal korban perlu dukungan dari orang-orang terdekatnya.
Isna Rahmah, Mahasantri Besongo angkatan 2021 dan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Editor: Qurrotun Ayun Wulandari